Ekonomi Asia Masih Akan Tertekan
Baru Bisa Rebound Tahun Depan
JAKARTA, Jawa Pos – Perekonomian negara-negara di kawasan Asia masih akan sulit tumbuh meski beberapa di antaranya sudah kembali menjalani kehidupan normal baru. World Bank alias Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur dan Pasifik tahun ini berada di kisaran 0,5 persen.
Dalam pernyataan resminya kemarin (8/6), Bank Dunia menegaskan bahwa itu merupakan level terendah sejak 1967. Itu juga menjadi bukti besarnya tekanan ekonomi akibat persebaran virus SARS-CoV-2. Tahun ini perekono
mian Tiongkok diprediksi melambat menjadi 1 persen. Tetapi, tahun depan akan rebound ke level 6,9 persen.
Fenomena yang sama terjadi di Indonesia. Tahun ini perekonomian tidak akan tumbuh atau tumbuh 0 persen. Namun, dalam proyeksinya, Bank Dunia menyebut perekonomian Indonesia akan rebound menjadi 4,8 persen pada 2021. ’’Aktivitas ekonomi Indonesia diperkirakan landai tahun ini,’’ ungkap Bank Dunia dalam rilisnya.
Aktivitas ekonomi di negara-negara Asia juga bakal turun signifikan. Terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan ekspor, UMKM, dan sektor yang berbasis pariwisata. Negaranegara yang paling terdampak, antara lain, Kamboja, Laos, Fiji, dan Kepulauan Pasifik lainnya.
Di tengah proyeksi tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewaspadai pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina mengungkapkan bahwa perekonomian dunia berpotensi tertekan hingga negatif 3 persen. Ramalan International Monetary Fund (IMF) berkaitan erat dengan pandemi Covid-19.
IMF memprediksi perdagangan dunia tumbuh negatif 11 persen tahun ini. Namun, menurut Srie, perdagangan Indonesia masih tumbuh positif sejauh ini. Neraca dagang Januari–April 2020 masih mencatatkan surplus USD 2,2 juta (sekitar Rp 30,62 miliar). Surplus tersebut disumbang peningkatan ekspor produk Indonesia sebesar 0,44 persen (YoY) menjadi USD 53,95 miliar atau setara dengan Rp 751,49 triliun.
Sementara itu, impor mengalami penurunan 7,78 persen (YoY) menjadi USD 51,71 miliar (sekitar Rp 720,29 triliun). ’’Kalau kita lihat impor April, ternyata turun cukup dalam. Minus 18,6 persen,’’ katanya.
Hal itulah yang menurut Srie patut diwaspadai. Dia menjelaskan bahwa penurunan sejumlah impor bahan baku dan barang modal merupakan indikator terganggunya produksi industri akibat pandemi. ”Perlu kita waspadai karena menunjukkan kegiatan industri dalam negeri tidak bergerak,” ucapnya.