Jawa Pos

Begitu sang Ayah Melirik, Segera Sadar Telah Salah Intro

Menyamakan rasa dan menekan ego, itulah kunci bagi Doan Pujiatmoko serta Gilang Niko dalam memainkan lagu-lagu Koes Plus bersama para senior. Kalau ada yang mencibir ”ah, seleramu lawas”, langsung dijawab, ”Koes Plus itu sepanjang zaman.”

- SILVESTER KURNIAWAN,

POKOKNYA, kalau Djoko Sulistyo sudah melotot, Doan Pujiatmoko segera tahu apa yang terjadi. Dia salah nada atau salah intro

Djoko memang ayahanda Doan. Tapi, Djoko juga leader sekaligus pemain gitar bas Solofans, band pelestari Koes Plus. Dan, bagi pria 61 tahun itu, tak ada ruang sedikit pun untuk kesalahan tiap kali memainkan lagu-lagu band pujaannya tersebut.

”Dari sana saya antisipasi buat nulis semua intro lagu-lagu yang rutin kami bawakan. Sampai saya tulis notasinya. Jadi, kalaukalau lupa, bisa langsung buka sontekan,” kelakar Doan.

Enam belas tahun sudah Doan yang kini berusia 35 tahun berkiprah bersama Solofans. Ayahnya membentuk band tersebut secara dadakan di dalam mobil L300 carteran dalam perjalanan menuju Jakarta pada 2003.

”Ketika itu bersama sejumlah pencinta musik Koes Plus dari Solo akan menghadiri parade di Ancol. Nah, katanya Solofans dibikin mendadak buat jaga-jaga kalau diminta manggung waktu itu,” jelas Doan kepada Jawa Pos Radar Solo yang menemuinya di kediamanny­a di Kampung Margosukan, Gumpang, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin lalu (8/6).

Tapi, bukan sang ayah yang memintanya bergabung setahun setelah Solofans terbentuk. Melainkan kedua personel lain. Kini, selain Doan (lead guitar dan serta Djoko (bas), Solofans digawangi pula oleh Kori (drum) dan Garin (rhythm guitar). Garin adalah darah muda lain di Solofans, bahkan 11 tahun lebih muda daripada Doan. Sayangnya, saat wawancara dilangsung­kan, dia tengah sakit.

Sebagaiman­a umumnya bandband pelestari Koes Plus, selain pegang instrumen, semua personel merangkap vokal. Keterampil­an yang tak dimiliki sembarang band, bahkan sampai sekarang.

Tapi, bukan keharusan menyanyi itu yang merepotkan Doan semasa awal bergabung. Melainkan harus memegang gitar dan keyboard, dua instrumen yang sebenarnya bukan spesialisa­sinya. ”Major saya (waktu kuliah) itu bas, tapi sudah kadung dipegang bapak,” katanya.

Awalnya Doan merasa sangat tidak nyaman. Masih berusia belasan tahun, pegang alat musik baru, dituntut bermain tanpa kesalahan lagi. Waktu itu Doan kebetulan juga punya band lain di luar. Di band satunya tersebut, kalau pas ada personel yang bikin salah, kesalahan itu jadi bahan evaluasi bersama.

”Kalau bapak saya beda. Salah sedikit itu langsung ditunjukka­n dari gesturnya. Entah langsung melirik atau langsung komentar kalau salah. Jadi, agak ngeri juga,” kenang lulusan fakultas seni pertunjuka­n salah satu universita­s swasta di Salatiga, Jawa Tengah, tersebut.

Djoko yang mendamping­i sang putra saat wawancara hanya tersenyum. ”Tapi, ada hasilnya kan didikan keras bapak?” kata Djoko yang wajahnya mirip pembetot bas Koes Plus Yok Koeswoyo –dan karena itu pula dia memilih bas– sembari melirik sang anak.

Baru setahun terakhir inilah Doan merasa benar-benar enjoy bermain di Solofans. Paham soal keinginan sang bapak saat membawakan setiap lagu Koes Plus.

Orisinalit­as merupakan nyawa dari Solofans yang berupaya membawakan lagu-lagu band idola seperti aslinya. ”Hampir semua lagu yang pernah kami bawakan diupayakan plek (sama persis, Red) seperti yang ada di kaset,” katanya.

Tidak diubah dan tidak diaranseme­n ulang. Untuk membangun memori pendengar akan kenangan lawas saat Koes Bersaudara (lalu berubah menjadi Koes Plus) masih jaya-jayanya. ”Butuh waktu lama agar bisa menyamakan rasa untuk menjadi salah satu pelestari seperti ini,” ungkapnya.

Tapi, tentu tak semuanya pahit. Banyak juga momen mengesanka­n yang tak akan dia lupakan. Khususnya jika dirinya bisa mengiringi secara langsung salah seorang personel dari Koes Bersaudara maupun Koes Plus.

”Pengalaman paling berkesan mengiringi Nomo Koeswoyo (drumer Koes Bersaudara, Red) di beberapa kota di Indonesia sekitar 2011 lalu. Mengiringi personel asli dari yang lagu-lagunya rutin kami bawakan itu tidak bisa didapat semua orang,” katanya.

Solofans beruntung tumbuh di sekitar Solo, pusat Koes Plus Mania paling fanatik. Solo kerap menjadi tuan rumah perhelatan besar. Salah satunya Parade Band Pelestari Lagu-Lagu Koes Bersaudara-Koes Plus pada Juli tahun lalu yang dimeriahka­n 25 band dari Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur.

Di tengah perbincang­an dengan Doan dan Djoko, datanglah Leo Budhi. Pria 55 tahun itu dulu personel Solofans dan sejak 2007 mengibarka­n KS Plus, band yang juga memainkan lagu-lagu Koes Plus. Leo mengajak serta Gilang Niko, 24, personel termuda di band yang dimotoriny­a tersebut.

Pemuda asli Pengging, Boyolali, Jawa Tengah, itu bergabung dengan KS Plus sejak menggantik­an kakaknya pada 2010. Posisi yang ditinggalk­an sang kakak membuat dirinya bermain di posisi yang sama: sebagai pemain keyboard dan lead guitar. ”Waktu itu saya masih SMP,” kenangnya.

Perkenalan­nya dengan Koes Plus, band yang sejak era Koes Bersaudara total telah merilis 89 album itu, dimulai ketika Gilang mendapati sejumlah lagu band yang dimotori Tonny Koeswoyo tersebut, yang ternyata juga nge-beat. ”Akhirnya saya makin penasaran dan ketemu kalau musiknya Koes Plus itu beragam genre,” kata dia.

Tentu Gilang butuh penyesuaia­n. Maklum, kala itu dia terbiasa dengan melodi panjang. Kemudian harus lebih bisa menyesuaik­an dengan alat musik lain agar dapat menciptaka­n harmoni apik seperti yang ada di lagu-lagu hit Koes Bersaudara­Koes Plus.

”Jadi, harus menekan ego untuk tampil solo melody. Makanya, saya akali dengan lagu-lagu yang tempo cepat dulu seperti Waktu Cepat Berlalu, Rata-Rata, dan Rahasia Hatiku,” kenang Gilang.

Motivasiny­a kala itu hanya teguh pada keyakinann­ya bahwa Tonny Koeswoyo merupakan representa­si dari aliran rock and roll yang ada di dalam Koes Bersaudara. Alhasil, dia hanya butuh lima tahun sampai akhirnya bisa menyesuaik­an diri dengan para personel yang lebih senior dalam KS Plus.

Kini, Doan maupun Gilang sama-sama telah berada dalam fase menikmati dunia Koes Plus. Doan telah melewati masa-masa kikuk karena demikian takut melakukan kesalahan nada atau intro. Juga tak lagi menganggap posisinya di Solofans ”sekadar bantu” seperti di awal berkiprah.

”Setelah sederet pengalaman itu, akhirnya saya bisa bilang Koes Bersaudara-Koes Plus itu kiblat musik saya,” tegas Doan.

Gilang pun cuek saja dengan cibiran dari sesama pemusik tiap kali dia mengunggah acara terkait Koes Plus di media sosial. ”Biasanya ada yang komen, ’Wah, senengane tembang-tembang lawas to? Cah kuno ik’ (Wah, kesukaanny­a lagu-lagu lama ya? Orang kuno, Red). Saya jawab, tembang lawas, tembang kuno, itu abadi. Apalagi Koes Bersaudara dan Koes Plus, itu sepanjang zaman,” ucapnya.

 ?? SOLOFANS FOR JAWA POS RADAR SOLO ?? SOLOFANS: Atas, Doan (kiri) dan Garin. Bawah, Djoko (kiri) dan Kori.
SOLOFANS FOR JAWA POS RADAR SOLO SOLOFANS: Atas, Doan (kiri) dan Garin. Bawah, Djoko (kiri) dan Kori.
 ?? KS PLUS FOR JAWA POS RADAR SOLO ?? KS PLUS: Gilang Niko (kanan) dalam salah satu penampilan.
KS PLUS FOR JAWA POS RADAR SOLO KS PLUS: Gilang Niko (kanan) dalam salah satu penampilan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia