Perawat Komunitas di Era New Normal
JUMLAH kasus Covid-19 belum menunjukkan gambaran yang landai di tengah rencana pemberlakuan new normal. Mayoritas masih khawatir dan sebagian lagi menyambut dengan senang karena perekonomian akan bangkit. Sangat wajar sekali bagi yang khawatir pemberlakuan new normal, jika benarbenar diterapkan, jika tidak diiringi keseriusan semua masyarakat dan pemerintah dalam pengendalian persebaran Covid-19 karena semua aktivitas akan kembali normal seperti sekolah, kampus, pertokoan, pekerja kantoran, pabrik, pasar, dan berbagai sektor lain.
Dalam konteks new normal, semua bidang perlu diperhatikan. Baik aspek sosial, pendidikan, politik, keagamaan, keamanan, pangan, transportasi, maupun kesehatan masyarakat. Aspek kesehatan masyarakat menjadi prioritas karena berperan strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya, penanggulangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi. Karena itu, kesehatan dimasukkan dalam indeks pembangunan manusia selain pendidikan dan pendapatan. Khusus sektor kesehatan masyarakat itu, jika tidak disiapkan secara khusus sumber daya yang cukup dan kualitas (termasuk tenaga perawat di puskesmas), pandemi Covid-19 ini akan lama, bahkan sulit dikendalikan dan bisa jadi muncul lagi pandemi-pandemi lain.
Bagi perawat, new normal menjadi momentum untuk merevitalisasi peran, khususnya yang bekerja di puskesmas, yang saat ini sebagian masih ada peran perawat yang lebih dominan, yaitu upaya-upaya pengobatan (kuratif). Perlu dipahami, puskesmas memiliki enam dasar pelayanan. Yakni, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, serta pengobatan. Selain itu, ada upaya pengembangan yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Di antaranya, upaya kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, keperawatan kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan mata, kesehatan lanjut usia, serta pembinaan pengobatan tradisional.
Dari sejumlah upaya kesehatan tersebut, perawat perlu merevitalisasi peran barunya. Utamanya sebagai perawat kesehatan komunitas saat new normal menghadapi Covid-19. Peran itu, antara lain, mengajarkan upaya-upaya peningkatan kesehatan alias promosi kesehatan dan pencegahan penularan Covid-19.
Peran dalam upaya peningkatan kesehatan dapat dilakukan dengan memperbaiki imunitas fisik, kesehatan jiwa, dan psikososial. Menggunakan istilah dari Keliat, BA (2020) bahwa imunitas fisik dapat diperoleh melalui makanan bergizi, minum yang cukup, olahraga teratur minimal 30 menit sehari, berjemur di pagi hari, dan istirahat yang cukup. Imunitas kesehatan jiwa dan psikososial dapat diperoleh dengan fisik yang rileks, mengatur emosi yang positif, membangun pikiran yang positif, perilaku yang positif, relasi yang positif, dan spiritual yang positif.
Sementara itu, peran dalam pencegahan Covid-19 dilakukan melalui edukasi tentang physical distancing, cuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, dan lain-lain. Dengan menitikberatkan pada 5 fungsi kesehatan keluarga, yaitu mengetahui masalah, dilakukan dengan memahamkan setiap anggota keluarga agar dapat mengutarakan pemahaman dan permasalahan yang dirasakan terkait Covid-19. Mengambil keputusan, dilakukan dengan membantu keluarga dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah berdasar masukan dari anggota keluarga yang lain dan informasi resmi dari pemerintah. Merawat anggota keluarga, dilakukan dengan mengadakan kegiatan sehari-hari dalam keluarga yang saling menguatkan. Menciptakan suasana yang kondusif, dilakukan dengan saling menghormati, menghargai, dan memberikan harapan satu dengan yang lain sehingga ikatan emosi dan tali kasih semakin baik. Terakhir menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia, seperti puskesmas, dokter keluarga, praktik perawat, klinik, rumah sakit, dan berbagai informasi kesehatan dari pemerintah.
Dua peran tersebut saat ini menjadi penting karena hingga kini vaksin belum ditemukan, tindakan terkait perilaku kesehatan adalah menjadi esensial. Mengapa? Dalam konteks teori perilaku kesehatan, kita ingat dalam sejarah Susan Blackburn yang menyebutkan salah satu contoh terjadinya epidemi kolera di Hindia Belanda pada 1820-an, yang menurut sejarah telah diidentifikasi dokter dari Yunani Kuno, yaitu Hippocrates dan Galen, diperkirakan berasal dari dataran di sekitar delta Sungai Ganggi dan Brahmaputra di India. Dalam konteks ini, ada teori yang menjadi dasar pencetus kondisi sakit kala itu adalah teori ekologi lingkungan yang oleh John Gordon menyebutkan ada tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi terjadinya sehat dan sakit di masyarakat. Yaitu, A/agent (penyebab penyakit), P (host)/populasi berisiko tinggi, dan L (lingkungan). Namun, dalam perkembangannya, tidak hanya tiga hal yang menjadi sakit, yang menurut teori klasiknya H.L. Bloom ternyata derajat kesehatan, dalam hal ini penyakit masyarakat, dapat ditentukan empat faktor: lifestyle (gaya hidup) serta lingkungan bisa sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kemudian, faktor pelayanan kesehatan dan faktor genetik. Melihat faktor tersebut, lagi-lagi perilaku adalah yang bisa menjadi prediktor utama penyebab derajat kesehatan, maka tidak ada upaya lain yang menjadi prioritas selain harus berfokus pada perilaku.
Kemudian, mengapa peran perawat keluarga dan perawat komunitas penting? Tentu itu didasari paradigma ilmu keperawatan yang memahami individu sebagai klien, keluarga sebagai klien, dan masyarakat sebagai klien. Khusus memahami masyarakat sebagai klien, tentu masyarakat memiliki ciri seperti adanya interaksi antarwarga, diatur oleh adat istiadat, norma, hukum, dan peraturan yang khas serta memiliki identitas yang kuat mengikat semua warga. Dari sinilah dibutuhkan pendekatan dalam menyelesaikan masalah kesehatan komunitas dengan pendekatan etnonursing, dalam bahasa sederhanya adalah keperawatan berbasis budaya, karena permasalahan kesehatan tidak terlepas dari masalah budaya dan perilaku.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya peran perawat komunitas dengan fokus pada pendekatan budaya melalui tiga komponen sebagaimana dalam konsep tindakan keperawatan oleh Andrew dan Boyle (1995). Pertama, dengan cultural care preservation atau mempertahankan budaya kesehatan, jika budaya/perilaku kesehatan yang dilakukan masyarakat tidak bertentangan dengan kesehatan. Kedua, cultural care accommodation/negotiation, yaitu membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Ketiga, cultural care repatterning/reconstruction atau melakukan rekonstruksi budaya apabila klien memiliki budaya yang merugikan kesehatan.
Dengan tiga upaya tersebut, hidup new normal berdampingan dengan Covid-19 dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, semua peran tidak dapat dijalankan dengan mudah jika kebijakan pemerintah tidak menambah jumlah perawat kesehatan komunitas dan menempatkan posisi perawat yang bekerja di puskesmas untuk difungsikan menjadi perawat kesehatan komunitas yang memiliki otoritas dalam upaya pelayanan keperawatan kesehatan komunitas. Terlebih dalam menghadapi new normal. (*)
*) Dosen ilmu keperawatan, wakil rektor 1 Universitas Muhammadiyah Surabaya