Tak Panik Hadapi Orang Panik
Semua orang pasti pernah dijadikan dan menjadikan seseorang sebagai tempat curhat. Hal itu membuktikan bahwa pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya keluar dari masalah.
BERHADAPAN dengan orang yang berniat bunuh diri adalah pengalaman berharga dan paling berkesan dalam hidup Lady Noor Chita Mawardi, 26. Sebab, kala itu, dia masih berstatus mahasiswi psikologi di Universitas Pelita Harapan Tangerang, Banten. Dalam artian, ilmu psikologi yang dia punya masih dangkal. Belum ’’sekaya’’ sekarang.
’’Temanku R (sebut saja begitu) nelpon, ngabarin kalau temannya, M, mau bunuh diri. R udah desperate banget, makanya nelpon aku minta tolong,’’ kenang Chita. Dia pun memberi sejumlah saran penanganan pertama yang harus dilakukan R ketika tiba lebih dulu.
Singkat cerita, Chita dan R berhasil menggagalkan aksi bunuh diri M. Kemudian, Chita merayu sekaligus mengantar M untuk menyelesaikan masalahnya dengan bantuan profesional (psikolog atau psikiater). ’’Wah, deg-degan banget waktu itu. Posisiku kan juga masih belajar,’’ ujar perempuan kelahiran Pacitan tersebut.
Chita mengakui, dirinya juga panik saat itu. Namun, sebagai calon psikolog, dia harus bisa mengendalikan emosi agar tidak ikut panik. ’’Jadi, kalau mau bantu orang lain yang lagi ngadepin masalah, kita harus yakinin diri dulu supaya terdengar dan terlihat tenang. Kalau kita panik, orang malah ikutan panik,’’ jelas perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan tersebut.
Bukan hanya itu. Orang-orang di sekitar terkadang menjadikannya tempat untuk berkeluhkesah.Entahitumasalahdirisendiri, keluarga,percintaan,pekerjaan,atauapapun yang bisa membuat mental seseorang tidak stabil.’Artinya,sebenarnyabanyakorangyang butuh orang lain buat bantu nyelesaiin permasalahan yang dialami,’ terang peraih penghargaanBestInspiringWoman2018dari Majalah Penghargaan itu.
Chita melanjutkan, pertolongan pertama pada seseorang yang sedang lemah mental menunjukkan bahwa dia tidak sendiri. ’’Dia harus tahu kalau ada orang yang menemani dan ada untuknya. Itu sih yang paling penting,’’ tegasnya.
Selanjutnya, berikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan. Jika masalah yang dihadapi sangat serius, Chita menyarankan orang itu berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sayang, ada stigma negatif bagi orang yang mendatangi psikolog. ’’Takut dicap orang gila,’’ ucap Chita yang berulang tahun setiap 9 Juni.
Berbekal pengalaman-pengalaman itu, Chita membangun layanan kesehatan mental online di akhir kuliahnya. Tujuannya, orang-orang bisa meluapkan isi hati tanpa takut mendapat penilaian negatif. Privasi pun terjaga.
Pada 2015, Chita meluncurkan platform digital yang diberi nama Ibunda.id. Alasannya, sosok ibu adalah tempat bersandar ternyaman dan terbaik bagi mayoritas orang di muka bumi ini untuk bercerita. ’’Ibu kan dekat dengan kehidupan kita semua. Makanya, aku pikir itu cocok untuk platform ini,’’ paparnya.
Mengembangkan Ibunda.id sembari menyusun tugas akhir tentu tidak mudah. Chita sampai cuti kuliah setahun. Dia menggandeng Arif Fajar Saputra sebagai co-founder. Bersama setidaknya 70 psikolog dan 2 psikiater, Ibunda.id menjadi ’’bahu’’ ternyaman untuk berbagi cerita.