Sidang Virtual Berpotensi Maladministrasi
JAKARTA, Jawa Pos – Sejak akhir Maret 2020, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran pelaksanaan sidang secara virtual. Metode sidang yang dirumuskan karena Covid-19 itu pun mendapat evaluasi setelah berjalan selama kurang lebih dua bulan. Ombudsman menyampaikan bahwa ada potensi maladministrasi.
Hal tersebut dideteksi dari pantauan ombudsman pada Mei. Saat itu mereka memantau 16 pengadilan negeri (PN) yang dianggap merepresentasikan seluruh satuan kerja (satker) di bawah MA. Ombudsman juga mengadakan focus group discussion (FGD) bersama 51 orang, termasuk para penasihat hukum dan tenaga hukum di lapas/rutan.
Hasilnya dipaparkan ombudsman kemarin (9/6). Asisten Utama I Ombudsman Nugroho Andriyanto menyebutkan, dari proses persidangan online, terdapat kendala yang dikeluhkan penasihat hukum. Umumnya masalah teknis seperti jaringan internet dan kesiapan saranaprasarana telekonferensi. ’’Ini membuat sidang tidak berjalan baik sebagaimana mestinya,’’ jelas Nugroho.
Permasalahan berikutnya adalah kurangnya koordinasi antarinstansi penegak hukum. Komunikasi kerap dilakukan hanya dengan pihak kejaksaan. Tenaga hukum di lapas/rutan terkadang tidak mendapat info jadwal persidangan sehingga terjadi miskomunikasi. Jalannya sidang menjadi terhambat.
Pramulya melanjutkan, ombudsman mengambil kesimpulan adanya potensi maladministrasi dari sidang virtual tersebut. Yakni, penundaan berlarut dan sidang yang tidak kompeten. Hal itu bisa memengaruhi putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Anggota ombudsman Adrianus Meliala menegaskan, pantauan kali ini ditujukan khusus untuk sidang pidana. Mereka belum menyentuh sidang kamar lain seperti perdata dan tata usaha negara (TUN). ’’Tapi, kami sepintas melihat perkara perdata juga dan ada dimensi perkara perdata dalam temuan kami. Mungkin ke depan ada pantauan TUN juga,’’ jelasnya.