Bank Bermasalah Temuan Lama
OJK Pastikan Kinerja Industri Perbankan Nasional Stabil Pemerintah Subsidi Bunga Kredit UMKM Terdampak Covid-19
JAKARTA, Jawa Pos – Perbankan nasional menghadapi sejumlah tantangan risiko akibat tekanan pandemi. Namun, saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa sektor perbankan dalam kondisi stabil dan terjaga J
Industri perbankan saat ini dalam kondisi stabil dan terjaga. Hal itu tecermin dari rasio keuangan hingga April yang berada dalam batas aman (threshold).”
ANTO PRABOWO Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo menyatakan, hingga kini sektor perbankan di tanah air tetap sehat dari berbagai aspek kinerja. ”OJK menyampaikan bahwa industri perbankan saat ini dalam kondisi stabil dan terjaga. Hal itu tecermin dari rasio keuangan hingga April yang berada dalam batas aman (threshold),’’ ujar Anto di Jakarta kemarin (11/6).
Pernyataan OJK tersebut sekaligus menampik kabar yang menyebutkan ada tujuh bank yang bermasalah. Hal itu berawal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyoroti fungsi pengawasan OJK terhadap perbankan. BPK menilai pengawasan terhadap tujuh bank belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna juga menegaskan bahwa informasi tersebut merupakan temuan lama yang dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab. Temuan itu merupakan hasil audit BPK terhadap pelaksanaan pengawasan bank umum yang diselenggarakan OJK pada 2017–2019 dan termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2019. Dengan kata lain, informasi sejumlah bank bermasalah tersebut tidak mencerminkan kondisi yang terjadi saat ini.
BPK maupun OJK mengimbau nasabah agar tenang. Juga, tidak perlu ragu pada kinerja perbankan. ”OJK berharap masyarakat tetap tenang dan melakukan transaksi perbankan secara wajar,” tegas Anto.
Menurut dia, kondisi industri perbankan saat ini stabil dan terjaga. Berdasar rasio keuangan hingga April, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) tercatat 22,13 persen dan kredit macet (non performing loan/NPL) gross 2,89 persen (NPL nett 1,09 persen).
Sementara itu, rasio kecukupan likuiditas alat likuid/non-core deposit sebesar 117,8 persen dan dana pihak ketiga (DPK) 25,14 persen. Angka tersebut jauh di atas batas aman (threshold), yakni masing-masing 50 persen dan 10 persen.
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa ada bank yang mengalami tekanan, bahkan sebelum pandemi. Secara umum, Bhima melihat bahwa kesehatan perbankan nasional memang dihadapkan pada sejumlah risiko karena pandemi. Terutama bankbank BUKU (bank umum kelompok usaha) 1, 2, dan BPR.
Bagi bank-bank kecil, kata Bhima, ada risiko yang meningkat. Nah, kondisi itu semestinya mendapat perhatian lebih pemerintah dengan memberikan stimulus lanjutan. ”Bank-bank kecil yang harusnya bisa lebih diperhatikan karena ada gap dan tekanan yang harus dihadapi. Kalau bank-bank besar tentu mereka masih stabil dan terjaga di kondisi seperti ini meski ada risiko NPL yang naik,’’ tuturnya.
NPL pada April jauh meningkat daripada Desember tahun lalu, yakni 2,53 persen. Dengan kondisi itu, bank akan selektif memilih debitor untuk dilakukan restrukturisasi kredit. ”Mana yang eligible dan mana yang kalau dilonggarkan justru akan bermasalah di kemudian hari,” ulas Bhima kepada Jawa Pos tadi malam.
Jika semua nasabah atau debitor direstrukturisasi kreditnya, perbankan akan kesulitan mengatur likuiditas. Mengingat, perebutan dana makin mahal di pasar. Menurut dia, tren tersebut akan berlangsung sampai akhir 2020.
Sementara itu, Direktur Finance, Planning, dan Treasury Bank Tabungan Negara (BTN) Nixon L.P. Napitupulu memastikan bahwa kondisi BTN stabil dan terjaga. BTN menjadi satu di antara tujuh bank yang sempat disebut bermasalah akibat lemahnya pengawasan OJK.
Nixon menuturkan, likuiditas BTN saat ini mencapai Rp 35 triliun. Bahkan, BTN juga menyediakan likuiditas yang lebih tinggi hingga 30 persen jika dibandingkan dengan kondisi biasa. Itu dilakukan karena pada kondisi pandemi saat ini ekspansi kredit cenderung direm lantaran tak ada pertumbuhan. Kecuali di lini penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi yang permintaannya cukup besar. ”Di bulan Mei saja ada akad sekitar Rp 800 miliar untuk KPR subsidi,’’ ungkapnya.
Dari sisi permodalan, emiten dengan kode perdagangan BBTN itu terbilang baik. Nixon memerinci, CAR berada pada level 18–19 persen. Lebih tinggi daripada posisi tahun lalu sekitar 16–17 persen. ”Likuiditas BTN sangat aman, begitu juga fundamental sangat kuat. Apalagi, dari sisi permodalan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu,” tegas Nixon.
Bank lain yang sempat disebut bermasalah adalah Bukopin. Namun, hal itu berangsur mereda seiring adanya pernyataan yang diterima OJK dari grup finansial terbesar di Korea Selatan, Kookmin Bank. Yakni, menyatakan kesiapannya menjadi pemegang saham pengendali mayoritas dengan mengambil alih sekurang-kurangnya 51 persen saham Bank Bukopin.
Saat ini Kookmin Bank memiliki 22 persen saham Bank Bukopin. ”OJK menyambut baik dan mendukung rencana Kookmin Bank yang akan memperkuat permodalan, tata kelola, dan mendorong peningkatan bisnis Bank Bukopin di Indonesia,” jelas Anto Prabowo.
Kookmin Bank menduduki peringkat 10 besar bank di Asia. Per 31 Desember 2019, total asetnya mencapai Rp 4.675 triliun. Kookmin Bank telah menyediakan sejumlah dana di escrow account (akun pihak ketiga) untuk menjadi pemegang saham pengendali dalam memperkuat permodalan dan likuiditas Bukopin. ”Hal tersebut mencerminkan kepercayaan investor terhadap kinerja industri perbankan dan prospek perekonomian nasional,” imbuh Anto.
Pemerintah kembali memberikan dukungan dalam bentuk subsidi bunga untuk menanggulangi kredit UMKM yang terdampak Covid-19. Pemberian subsidi itu merupakan bagian program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Program itu sudah bisa dimanfaatkan per 1 Mei 2020 dan berlaku 6 bulan.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rahayu Puspasari mengatakan, ada beberapa kriteria UMKM yang dapat memperoleh subsidi bunga. Pertama, UMKM bersangkutan memiliki plafon kredit atau pembiayaan paling tinggi Rp 10 miliar. Kedua, UMKM yang memiliki sisa pokok (baki debit) kredit sebelum masa pandemi Covid-19 (terdapat baki debit sampai dengan 29 Februari 2020).
”Lalu, tidak masuk daftar hitam nasional, memiliki kategori performing loan lancar (kolektibilitas 1 atau 2) dihitung per 29 Februari 2020, dan terakhir, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau mendaftar untuk mendapatkan NPWP,” ujar Rahayu.
Besaran subsidi bunga terbagi atas dua program. Pertama, kredit dari lembaga penyalur program kredit pemerintah. UMKM yang memiliki kredit sampai dengan Rp 10 juta diberi subsidi sebesar bunga yang dibebankan paling tinggi 25 persen atau disesuaikan dengan suku bunga flat yang setara untuk jangka waktu 6 bulan. Sedangkan UMKM yang memiliki kredit di atas Rp 10 juta–Rp 500 juta diberi subsidi bunga sebesar 6 persen selama 3 bulan pertama. Kemudian, sebesar 3 persen selama 3 bulan kedua atau disesuaikan dengan suku bunga flat yang setara.
Kedua, kredit dari perbankan atau perusahaan pembiayaan. UMKM yang memiliki kredit kurang dari atau sama dengan Rp 500 juta diberi subsidi bunga sebesar 6 persen selama 3 bulan pertama. Kemudian, 3 persen selama 3 bulan berikutnya atau disesuaikan dengan suku bunga flat yang setara.