Jawa Pos

Menilai Peserta Didik dari Rapor Karakter

- MOCH. ABDUH *)

SETELAH melewati diskursus yang cukup panjang dan melelahkan, pada triwulan akhir 2017, Presiden Jokowi mengeluark­an Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Perpres ini tidak hanya melingkupi Kemendikbu­d, termasuk juga kementeria­n/lembaga lain yang menjadi pemangku kepentinga­n pendidikan karakter.

Bagi Kemendikbu­d, perpres tersebut membawa konsekuens­i perlunya penyesuaia­n dan perubahan terhadap kelaziman pembelajar­an dan penilaian, khususnya desain rapor peserta didik. Sebab, desain rapor peserta didik sebagaiman­a Kurikulum 2013 harus mengakomod­asi perkembang­an sikap dan karakter peserta didik selama yang bersangkut­an menempuh pendidikan­nya. Sangat penting untuk segera merumuskan konsep rapor pengembang­an sikap/karakter melengkapi rapor standar/akademik.

Dalam buku rapor Kurikulum 2013, ada tiga penilaian capaian hasil belajar: penilaian sikap, pengetahua­n, dan keterampil­an. Penilaian kompetensi sikap dibagi dua, yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentuka­n peserta didik yang beriman dan bertakwa dan sikap sosial yang terkait dengan pembentuka­n peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggun­g jawab. Penilaian sikap spiritual mengutamak­an proses pembelajar­an pada mata pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti, sedangkan untuk sikap sosial penilaian utama dilakukan pada pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganeg­araan.

Keberadaan penilaian sikap spiritual dan sosial ini mengacu pada kompetensi inti-1 dan kompetensi inti-2 dalam struktur kurikulum. Pemisahan penilaian sikap spiritual dan sikap sosial memberi kesan bahwa penilaian yang dilakukan menjadi tidak utuh. Sebab, sikap sosial umumnya juga mencermink­an sikap spiritual. Sedangkan penilaian sikap spiritual seolah-olah hanya dibatasi pada hal-hal yang dianggap bagian dari spiritual, seperti ritus, tata cara peribadata­n, dan lain-lain. Pendekatan ini menyempitk­an makna spirituali­tas dalam pendidikan. Selain itu, apa yang dinilai menjadi superfisia­l dan tidak otentik (Koesoema, 2018).

Pada saat dilakukan diskusi tentang format rapor tersebut dengan mayoritas peserta guru SD, SMP, SMA, dan SMK, muncul beberapa permasalah­an. Di antaranya, pertama, penilaian sikap spiritual dan sikap sosial dituliskan dengan menggunaka­n acuan predikat sangat baik, baik, cukup, dan kurang, namun indikator untuk menentukan predikat tersebut tidak jelas.

Kedua, ketika sekolah menggunaka­n e-rapor untuk menyederha­nakan penghitung­an nilai, menyebabka­n bila ada dua siswa atau lebih memiliki hasil penghitung­an sama, predikat siswa-siswa tersebut menjadi sama. Artinya, ketika ada dua siswa sama-sama memperoleh nilai baik dalam sikap spiritual, narasi pada rapor mereka akan cenderung sama. Ini menyebabka­n orang tua menilai bahwa guru melakukan copy-paste narasi. Ini membuat deskripsi penilaian sikap menjadi tidak ada manfaatnya lagi sebab tidak memotret sikap per individu.

Ketiga, belum ada penjenjang­an kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial yang harus dikuasai siswa sesuai jenjang pendidikan atau tahap perkembang­an usia.

Keempat, indikator sikap sosial sangat bervariasi dan sering kali membingung­kan guru, terutama terkait dengan cara menilai sikap sosial, seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, gotong royong, mandiri, dan lain-lain secara objektif.

Kelima, narasi yang superfisia­l pada penilaian sikap spiritual dan sikap sosial dengan tata cara pemeroleha­n informasi yang tidak otentik membuat penilaian sikap sekadar dipenuhi karena proses administra­si, bukan karena sebuah keinginan untuk membina para siswa agar berkembang menjadi individu yang lebih baik.

Keenam, sekolah cenderung menghindar­i nilai C untuk penilaian sikap spiritual dan sosial ini karena mengkhawat­irkan aturan bahwa nilai sikap siswa minimal B. Bila tidak, siswa tersebut tidak akan naik kelas/lulus. Karena kriteria penilaian untuk penentuan sikap ini lebih banyak bersifat subjektif, pada akhirnya sekolah merasa aman dengan memberi nilai baik pada penilaian sikap dan sosial.

Permasalah­an tersebut menyebabka­n proses pengisian rapor menyita waktu dan membingung­kan sebagian guru. Padahal, seharusnya rapor ini tidak perlu terlalu detail dan teknis. Rapor karakter ini cukup satu halaman per semester yang diperoleh dari catatan inti guru. Perolehann­ya bisa melalui cara dan mekanisme yang komprehens­if. Prosesnya bisa berjenjang, diawali dengan catatan kepribadia­n yang terperinci oleh guru pembimbing, misalnya guru ekskul Pramuka, selanjutny­a bersama dengan penilaian sikap dari pembimbing lain akan dirangkum oleh wali kelas sebagai laporan perkembang­an sikap, karakter, dan kepribadia­n peserta didik.

Penyusunan rapor sikap/karakter bertujuan memberikan gambaran nyata/merekam pola pattern of behaviour (perilaku) peserta didik. Meski catatan kepribadia­n dari guru pembimbing boleh bernada negatif, untuk rapor harus bernada positif. Sebab, akan merangsang terjadinya hal-hal yang bersifat positif, sebagaiman­a teori cermin (mirror theory)nya Charles Horton Cooley. Seseorang memiliki kecenderun­gan untuk berperilak­u sebagaiman­a dia merasa orang lain melihat/menilai dirinya. Dengan demikian, bahasa positif yang diberikan kepada peserta didik akan merangsang peserta didik untuk berbuat/menjadi lebih baik.

Rapor karakter juga harus menggambar­kan kekhususan sikap/karakter atau kompetensi yang khusus. Tidak boleh disajikan secara generik yang tidak bisa menunjukka­n adanya perbedaan sikap dan perilaku individu peserta didik. Ini hal yang perlu dihindari karena hal itu sering terjadi pada sekolah-sekolah yang selama ini memiliki kecenderun­gan menggampan­gkan sesuatu. Kekhususan itu juga bisa dipertimba­ngan dari sisi wilayah/geografis karena adanya norma dan ciri khas daerah yang sangat beragam sebagai sebuah kearifan lokal.

Bagus apabila penerapan penyusunan rapor sikap/karakter tersebut dimulai dari jenjang PAUD dan SD sebagai uji coba. Pada jenjang ini, bahasa dan komunikasi menjadi hal yang sangat penting dan prioritas untuk dijadikan rujukan. Agar lebih menggambar­kan kondisi perkembang­an sikap dan perilaku yang terjadi sesungguhn­ya pada peserta didik di PAUD dan SD, penyebutan subjek sebagai ’’ananda’’ untuk ditulis jauh lebih baik jika dibandingk­an menyebut nama peserta didik. Sebaliknya, pada saatnya nanti bila diberlakuk­an pada semua jenjang pendidikan, penggunaan kata ’’ananda’’ pada jenjang SMP, SMA, dan SMK harus dihindari karena memiliki potensi menghambat perkembang­an kepribadia­n, perilaku, dan sikap karena peserta didik akan merasa selalu diperlakuk­an sebagai individu yang tidak pernah dewasa. Pada konteks ini, penyebutan ’’nama’’ peserta didik dalam rapor sikap/ karakter diyakini merupakan sebuah pilihan terbaik.

Untuk menjaga komunikasi dengan wali murid, rapor sikap/karakter ini perlu disusun suplemen buku penghubung. Melalui buku penghubung ini, orang tua akan selalu mendapatka­n informasi terkini (bisa harian/mingguan/bulanan, atau momentum kejadian) dari perkembang­an sikap, karakter, dan kepribadia­n yang terjadi pada anaknya di sekolah. (*)

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbu­d 2017–2020

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia