Jawa Pos

Jangan Terburu-buru New Normal

-

Satu per satu pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah persebaran Covid-19 disudahi. Pengetatan yang membatasi pergerakan orang pun dilonggark­an. Termasuk ketentuan kapasitas sarana transporta­si yang direvisi. Semua dilakukan demi transisi menuju tatanan hidup kenormalan baru (new normal).

Pemerintah memilih untuk tidak membiarkan perekonomi­an terpuruk lebih dalam gara-gara pandemi. Beragam pelonggara­n ditujukan agar aktivitas ekonomi masyarakat kembali bergeliat. Mengutip Menko Pembanguna­n Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, pemerintah tidak mengorbank­an urusan kesehatan dalam penanganan pandemi. Justru, pemerintah berupaya terus menjaga keseimbang­an antara kesehatan dan ekonomi sosial.

Memang tidak salah melonggark­an pembatasan dan menyiapkan new normal. Vaksin untuk virus korona baru hingga kini belum ditemukan dan entah kapan akan tersedia. Dengan kata lain, hidup ’’berdamping­an” dengan virus SARS-CoV-2 tidak bisa dihindari. Persoalann­ya, tepatkah pilihan waktunya?

Melihat pertambaha­n angka terkonfirm­asi Covid-19 beberapa hari terakhir, justru membuat cemas. Bahkan, secara berturut-turut jumlah kasus positif sempat di atas seribu (1.043 dan 1.241 kasus). Seolah mengamini pendapat bahwa pagebluk korona di Indonesia belum mencapai puncak. Kurva epidemiolo­gi belum melandai. Ditambah dengan kemampuan tes PCR yang belum bisa mencapai 20 ribu per hari.

Di sisi lain, pelonggara­n untuk menggiatka­n ekonomi tanpa basis data, analisis, dan argumentas­i yang presisi malah bisa berakibat fatal. Risiko orang terpapar virus sangat tinggi. Ekonomi bahkan bisa terganggu dalam waktu yang lebih lama.

Yang terjadi di Pakistan seharusnya menjadi pelajaran. Menjelang pertengaha­n Mei, pemerintah setempat melonggark­an karantina wilayah untuk menghindar­i beban ekonomi yang makin berat. Sekarang, rumah sakit di Pakistan kekurangan tempat tidur setelah jumlah kasus positif tembus 100 ribu! WHO kini mendorong agar lockdown diberlakuk­an lagi. Presiden Jokowi memang menyatakan status

new normal bisa dicabut jika terjadi angka penularan yang tinggi. Namun, mestinya itu tidak menjadi alasan untuk tergesa-gesa melonggark­an pembatasan. Apalagi jika status daerah masih merah dengan attack rate yang tinggi.

Tes yang masif serta tracing ketat harus mendahului pengambila­n keputusan itu. Plus harus ada kedisiplin­an dalam protokol kesehatan. Tentang disiplin itu yang justru banyak dilanggar masyarakat selama masa pembatasan.

Kasus di Pakistan semoga tidak terjadi di sini. Sebaliknya, kita ingin menyusul Selandia Baru yang telah nol kasus korona. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia