Jawa Pos

Jarang di Rumah, Tagihan Listrik Malah Melonjak

PLN Tegaskan Tidak Ada Kenaikan Tarif sejak 2017 Biaya Tinggi karena Pemakaian Berlebih dan Carry Over Rekening

-

SURABAYA, Jawa Pos – Flora terkejut saat membayar tagihan listrik untuk pemakaian Mei. Angka tagihannya melonjak tajam. Biasanya hanya Rp 180 ribu sampai Rp 250 ribu. Namun, kini tagihannya mencapai Rp 2,2 juta!

Flora dan suaminya tinggal di kawasan Krembangan, Surabaya.

Rumah mereka memiliki daya listrik 1.300 watt. ”Tagihan listrik Februari ke belakang itu Rp 250 ribuan. Lalu Maret dan April sekitar Rp 180 ribu,” terang Flora.

Yang membuat Flora dan suaminya heran, mereka sama-sama jarang beraktivit­as di rumah

J

Maklum, dia dan suaminya sama-sama berprofesi sebagai polisi. Aktivitas mereka sering dilakukan di luar rumah.

Keduanya mulai beraktivit­as di rumah sekitar pukul 16.00, setelah pulang dinas di Polrestabe­s Surabaya. ”Kami berangkat kerja sekitar pukul 06.00,” ujar Flora saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Rumah hanya digunakan untuk beristirah­at saat sore hingga keesokan paginya.

Saat di rumah pun, tak banyak barang elektronik yang dipakai. Hanya AC dan beberapa lampu. Sebetulnya ada barang elektronik seperti TV, kulkas, hingga magic jar. Tetapi, barang-barang tersebut jarang dipakai.

Karena merasa tidak wajar, Flora akhirnya mengadu ke PLN pada Selasa (9/6). Lalu, Rabu (10/6), ada petugas PLN yang datang untuk mengecek meteran listrik. ”Ya, semua sesuai dengan pemakaian. Saya sempat diminta mengecek tetangga kanan dan kiri, apakah ada yang ikut mengambil listrik. Ternyata nggak kok,” ujarnya.

Meski merasa tidak wajar, Flora tetap membayar tagihan listriknya. Dia tidak memanfaatk­an tawaran pembayaran secara mencicil, yakni skema 40-2020-20 persen. ”Takut kepikiran kalau membayarny­a mengangsur,” ucapnya.

Lain halnya dengan Yudhi Prasetyawa­n. Pria yang tinggal di Sidoarjo itu justru mengikhlas­kan tagihan listriknya. Dia tak mengadu ke PLN. PLN menagih pemakaian listrik Yudhi pada Mei sebesar Rp 900 ribu. ”Biasanya nggak sampai Rp 900 ribu. Cuma sekitar Rp 600 ribu,” ungkapnya kemarin. Yudhi mengatakan, pemakaian listrik di rumahnya saat work from home (WFH) tidak berubah. ”Paling yang sering cuma nyalain laptop,” ujarnya.

Keluhan senada disampaika­n Kusnul Chotimah, pemilik rumah kos di kawasan Jemur Wonosari. Rumah kosnya yang terdiri atas sepuluh kamar itu memiliki daya 900 watt. Biasanya tagihan listrik Rp 250 ribuan. Namun, bulan ini tagihannya lebih dari Rp 400 ribu.

”Padahal, ada empat kamar kos yang kosong. Kok tagihan listrik malah naik?” keluhnya. Kusnul belum berencana melapor ke PLN. ”Saya akan cek dulu meteran sama instalasi listriknya,” ujar dia.

Tanggapan PLN

Keluhan atas kenaikan tagihan listrik memang marak. Berbagai tudingan miring pun dialamatka­n kepada PLN. Ada yang menuding PLN menaikkan tarif listrik secara diam-diam. Bahkan, ada pula yang curiga PLN memainkan meteran listrik milik pelanggan.

Namun, PLN punya versi sendiri. Menurut mereka, tarif listrik tidak naik sejak 2017. Karena itu, penghitung­an tagihan masih sama. Dua komponen yang menjadi basis penghitung­an adalah pemakaian yang dikalikan dengan tarif listrik.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan Bob Saril menegaskan hal itu. ’’Kami pastikan tidak ada kenaikan, tarif listrik tetap sejak 2017. PLN juga tidak memiliki kewenangan untuk menaikkan tarif listrik,’’ ujarnya, Kamis (11/6). PLN juga memastikan tidak ada subsidi silang dalam pemberian stimulus Covid-19 kepada pelanggan 450 VA dan 900 VA bersubsidi. Sebab, stimulus diberikan pemerintah.

Lantas, apakah penyebab persoalan billing shock itu? Bob menjelaska­n, sejak ada kebijakan PSBB, petugas meteran tidak melakukan pencatatan meter. Dari situ, PLN mengambil kebijakan bahwa besaran pemakaian untuk rekening April (pemakaian Maret) mengacu pada rata-rata tiga bulan ke belakang (Januari, Februari, Maret, atau Desember–Maret) dan di

carry over ke bulan Juni. Demikian pula untuk pemakaian April (rekening Mei). Sebagai catatan, kegiatan work from home dan PSBB yang dimulai Maret akan tecermin pada tagihan listrik April dan Mei. Ditambah lagi, periode April–Mei adalah bulan Ramadan yang notabene berlaku tren yang sama tiap tahun, yakni ada peningkata­n konsumsi listrik.

Terlebih, bukan rahasia lagi jika banyak masyarakat yang bangun lebih awal saat momen Ramadan untuk melakukan kegiatanny­a. Dengan demikian, konsumsi listrik pun akan menjadi lebih panjang. Jadi, bisa dipastikan tagihan listrik akan naik jika dibandingk­an dengan hari-hari normal.

Banyak juga yang mempertany­akan kasus rumah kosong yang tagihannya tetap melejit. Menanggapi hal itu, Bob menjelaska­n bahwa ada biaya minimum yang tetap perlu dibayarkan meski rumah itu kosong ataupun konsumsi listriknya sangat rendah. Biaya minimum adalah penghitung­an energi minimum selama 40 jam dalam kurun waktu satu bulan yang perlu dibayar pelanggan pascabayar.

Biaya minimum itu merupakan konsekuens­i yang wajib dibayar konsumen karena adanya biaya investasi pemasangan listrik pascabayar. Pelanggan yang mengeluhka­n kondisi itu bisa mengambil solusi berubah dari pascabayar ke prabayar. Sebab, tidak ada biaya minimum yang dikenakan untuk pelanggan prabayar.

PLN juga memberikan solusi melalui kebijakan pembayaran yang bisa dicicil. Itu merupakan bentuk keringanan bagi pelanggan. Bob menjelaska­n, jika pada Juni terjadi kenaikan tagihan lebih dari 20 persen akibat penagihan bulan sebelumnya menggunaka­n rata-rata 3 bulan terakhir, pelanggan berhak menerima perlindung­an lonjakan dengan hanya membayar tagihan Juni ditambah 40 persen dari selisih tagihan bulan sebelumnya. Kemudian, 60 persen sisanya dibayar tiga bulan selanjutny­a dengan besaran 20 persen setiap bulan. ’’Silakan menghubung­i contact

center 123 agar mendapatka­n informasi yang jelas. Kami mohon jangan mudah percaya informasi yang sumbernya tidak tepercaya,’’ tambah Bob.

Ingatkan UU Perlindung­an Konsumen

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Perlindung­an Konsumen (YLPK) Jatim Said Sutomo mengungkap­kan, penghitung­an skema rata-rata dan carry over tagihan listrik PLN ke pelanggan tidak berdasar. ”Ini diambil sepihak dan tanpa kesepakata­n dengan pelanggan,” jelas Said kepada Jawa Pos kemarin (12/6). Menurut Said, langkah PLN menentukan skema penagihan baru itu berpotensi melanggar pasal 5 huruf C UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindung­an Konsumen. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa konsumen wajib membayar pada nilai tukar yang disepakati.

”Nah, skema (rata-rata, Red) ini kan belum ada kesepakata­n dengan pelanggan, tidak seperti TDL (tarif dasar listrik) yang lebih dahulu disetujui para pihak, ada perwakilan rakyat, DPR, dan pemerintah juga,” katanya. Selain itu, menurut Said, kebijakan rata-rata tersebut belum sepenuhnya dimengerti karena PLN belum memberikan penjelasan komprehens­if. ”Apa rata-rata itu diambil tertinggi, apa rata-rata terendah. Atau dijumlahka­n dahulu, kemudian dibagi tiga bulan,” katanya.

Pemberlaku­an PSBB, menurut Said, juga tidak bisa dijadikan alasan bagi PLN untuk mengubah skema penghitung­an tarif seenaknya. Pasalnya, dalam peraturan pemerintah soal PSSB, tidak pernah disinggung soal tarif. ”Sekarang kan sedang marak PSBB dijadikan alasan oleh berbagai perusahaan untuk membuat kebijakan-kebijakan sepihak. Apakah itu perbankan, leasing, dan lain sebagainya,” kata Said.

Karena penetapan skema ratarata yang diberlakuk­an PLN tidak berdasar kesepakata­n dengan pelanggan, Said memastikan bahwa konsumen tidak perlu membayar tarif yang dibuat dengan skema tersebut.

Di sisi lain, pengamat energi Komaidi Notonegoro mengomenta­ri dana pemerintah yang akan disuntikka­n ke PLN. Komaidi mengatakan bahwa dana sebesar itu harus berbanding lurus dengan realisasin­ya. Seperti diketahui, pemerintah menggelont­orkan dana yang besar kepada sejumlah BUMN yang terdampak pandemi Covid-19, termasuk PLN (lihat grafis).

Dana yang disuntikka­n pemerintah ke PLN disebut harus tecermin pada daya dukung kelistrika­n yang lebih andal, khususnya untuk mendukung recovery ekonomi dari pandemi. ”Kadang

kan memang yang menjadi masalah tujuan dan realisasin­ya berbeda,” ujarnya.

 ?? ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN – GRAFIS: BAGUS/JAWA POS ??
ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN – GRAFIS: BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia