Sinar Matahari, Sterilisator, dan Penguat Imun
PADA Desember 2019, kasus pneumonia misterius kali pertama dilaporkan di Wuhan, Tiongkok. Sumber penyakit itu dinamai sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Selanjutnya, pada 11 Februari 2020, WHO mengumumkan nama baru penyakit yang muncul, yaitu coronavirus disease 19 (Covid-19). Virus tersebut dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan dengan cepat menyebar secara luas di Tiongkok dan lebih dari 200 negara sehingga WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi.
Berdasar data Worldometer per 12 Juni 2020, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 7,5 juta orang dari 215 negara dengan jumlah kematian lebih dari 424 ribu jiwa. Sedangkan di Indonesia, kasus positif terinfeksi tercatat lebih dari 36 ribu jiwa dengan kasus kematian lebih dari 2.000 jiwa.
Saat ini persebaran Covid-19 dari manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama sehingga persebarannya menjadi lebih agresif. Transmisi terjadi dari pasien positif Covid-19 melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. Virus akan menempel pada permukaan benda dan kulit manusia. Pada permukaan logam, karet, dan plastik, virus tersebut mampu bertahan selama 9 jam. Pada aerosol dapat bertahan sekitar 3 jam.
Indonesia merupakan negara tropis yang mendapatkan paparan cahaya matahari sepanjang tahun. Sinar matahari merupakan gelombang elektromagnetik yang memancarkan energi cahaya pada berbagai spektrum panjang gelombang dari ultraviolet (UV), sinar tampak, sampai inframerah (IR). Dalam perjalanan ke bumi, sinar matahari melalui berbagai lapisan atmosfer bumi sehingga mengalami pelemahan.
Pada lapisan stratosfer terdapat ozon yang akan menyerap sinar matahari UV-C (short wave) dengan spektrum 290 nanometer (nm). Pada lapisan lebih bawah, yaitu troposfer, terdapat uap air, CO2, dan awan yang melindungi dari sinar UV energi tinggi. Sehingga cahaya matahari yang sampai ke bumi adalah sinar UV-A (blacklight) sebesar 5 persen, sinar UV-B (medium wave) sebesar 0,5 persen, cahaya tampak sebesar 40 persen, dan sinar IR sebesar 54 persen.
Berjemur di bawah sinar matahari telah menjadi kebiasaan masyarakat di negara-negara tropis. Sinar matahari memberikan efek yang menguntungkan, antara lain efek bakterisidal, terapeutik, dan sintesis vitamin D. Tetapi, berjemur sinar matahari yang berlebihan juga merugikan. Paparan sinar UV-A spektrum 320– 400 nm yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan kulit jangka panjang seperti keriput, penuaan kulit, dan katarak serta meningkatkan risiko kanker kulit.
Sinar UV-B spektrum 290–320 nm dapat membantu tubuh mendapatkan vitamin D dan pigmentasi. Tetapi, paparan berlebihan mengakibatkan kulit terbakar (sunburn), fotokeratitis, dan eritema kanker. UV-C spektrum 290–100 nm mengakibatkan fotokeratin dan anemia kanker. Untungnya, pancaran UV-C dari sinar matahari diserap lapisan ozon di atmosfer sehingga tidak sampai ke permukaan bumi.
Lampu sinar UV-C buatan dengan intensitas tinggi telah banyak digunakan sebagai sterilisator alatalat laboratorium maupun alat kesehatan. Sinar UV-C memiliki kemampuan untuk penetrasi ke dinding sel mikroorganisme. Energi yang diabsorpsi asam nukleat akan mengakibatkan terjadinya ikatan antara molekul-molekul timin yang bersebelahan dan menjadi sebab terbentuknya dimer timin sehingga fungsi dari asam nukleat terganggu dan mengakibatkan kematian.
Absorpsi energi UV oleh DNA (atau RNA pada virus) dapat menyebabkan mikroorganisme tersebut tidak mampu melakukan replikasi akibat pembentukan ikatan rangkap dua pada molekul-molekul pirimidin sehingga kehilangan sifat patogenitasnya. Efektivitas sinar UV sebagai daya bunuh virus dan bakteri dipengaruhi panjang gelombang, luas ruangan, intensitas cahaya yang digunakan, lama waktu penyinaran, jarak sumber cahaya, dan jenis mikroorganisme.
UV-C intensitas tinggi sangat baik dalam menghancurkan materi genetik, baik pada bakteri atau partikel virus, sehingga dapat digunakan sebagai sterilisator untuk Covid-19, tetapi berbahaya jika dipaparkan secara langsung pada manusia.
Cahaya tampak (visible) adalah spektrum matahari yang tampak oleh mata kita dari warna ungu (400 nm) hingga merah (750 nm). Spektrum cahaya tampak pada matahari memiliki kesesuaian dengan bahan penyerap cahaya (fotosensitiser) pada berbagai mikroba patogen sehingga energi cahaya akan diserap dan dihasilkan produk radikal
(reactive oxygen species) yang akan membunuh mikroba patogen. Fototerapi telah dimanfaatkan pada bidang medis untuk penyembuhan luka dan sterilisator ruang operasi dengan sumber berupa laser atau LED (light emitting diode).
Porsi terbesar cahaya matahari adalah sinar IR, yang terdiri dari IR dekat pada spektrum 0,75–1,5 mikrometer, IR menengah spektrum 1,5–10 mikrometer, dan IR jauh spektrum 10–100 mikrometer. Pigmen kulit merupakan fotosensitiser yang menyerap sinar IR. Sinar IR sangat bermanfaat bagi kesehatan. Antara lain menghasilkan panas yang dapat melebarkan pembuluh darah sehingga melancarkan sirkulasi darah serta meningkatkan metabolisme dan imunitas tubuh. Sinar IR digunakan untuk terapi rehabilitasi medis dan akupunktur.
Hasil penelitian Adjie dan Astuti menunjukkan, potensi IR jauh sebagai sterilisator mikroba bakteri berspora yang mengontaminasi alat-alat kesehatan, bahan obat, dan tenaga medis. Spora memiliki ketahanan terhadap gaya mekanik maupun kekeringan sehingga spora Bacillus digunakan sebagai bioindikator sterilisasi. Efek panas sinar IR dan produk radikal yang dihasilkan mampu berperan sebagai sterilisator mikroba bakteri berspora yang lebih baik dibanding alkohol, UV, dan ozon, juga sangat potensial sebagai pembunuh virus yang aman bagi manusia.
Pada masa new normal saat ini, ketika berbagai aktivitas di luar rumah, mobilitas, dan interaksi sosial mulai dilakukan, sangat penting membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) untuk mencegah penularan Covid-19. Salah satunya adalah pemanfaatan sinar matahari yang melimpah. Sinar matahari merupakan media sterilisator yang alami dan paling murah untuk membunuh virus dan meningkatkan metabolisme serta imunitas tubuh.
Daerah tropis dengan sinar matahari penuh memiliki temperatur berkisar 28–32 derajat Celsius dan kelembapan udara 60–80 persen merupakan suatu kondisi yang baik untuk memperpendek kelangsungan hidup virus dan bakteri. Sehingga kebiasaan berjemur di bawah sinar matahari sangatlah baik untuk kesehatan. Waktu berjemur yang aman dan bermanfaat bagi pembentukan vitamin D dan sistem imun tubuh adalah 10 menit di pagi hari pukul 07.30–09.30 atau sore hari pukul 15.00–16.00 di mana terdapat paparan UV-B intensitas rendah dan IR tinggi yang baik bagi tubuh. (*)