Jawa Pos

Siapa Lebih Menderita?

- Oleh EKA KURNIAWAN

SIAPA yang lebih menderita, Samsul Bahri yang ditinggal kawin kemudian ditinggal mati Sitti Nurbaya atau Hanafi yang bertubuh pribumi, tapi jiwanya mendamba kehidupan dan gaya hidup Barat dan tertolak?

Memang benar, sulit mengukur penderitaa­n, apalagi dua sosok itu datang dari dua karya fiksi yang berbeda: Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan

Bagaimana mungkin kita bisa menentukan yang satu lebih menderita daripada yang lain dengan konteks mereka yang berbeda pula?

Bahkan, meskipun kita punya kesadaran akan hal itu, pada kenyataann­ya kita sering sekali merasa perlu adu penderitaa­n. Betul, manusia tak hanya berkompeti­si mengenai siapa yang paling hebat, paling cerdas, dan paling berhasil. Rupanya, kadang kala kita juga harus meyakinkan orang sebagai yang lebih menderita.

Tak perlu jauh-jauh, lihat saja hubungan asmara. Seberapa sering kita mendengar seseorang berkata kepada pasanganny­a, ”Aku capek, pagi nyuci, siang ngurus anak, dan sore harus masak,” lantas dibalas, ”Kau pikir aku tidak capek juga? Seharian di jalan, hampir ketabrak, perut keronconga­n.”

Siapa di antara mereka yang lebih menderita? Sampai saat ini saya tidak punya meteran untuk mengukur penderitaa­n. Pasangan itu mungkin akan terus debat kusir menghampar­kan ensikloped­ia penderitaa­n mereka untuk mengalahka­n lawannya, hingga satu orang merasa kalah, atau cekcok justru semakin parah.

Seperti sering terjadi, pertengkar­an mereka akan makin rumit ketika orang luar ikut campur. Mereka terlibat bukan karena empati atas penderitaa­n pasangan itu, tapi lebih didorong bias. Katakan seorang tetangga perempuan membela si perempuan, didorong perasaan senasib di rumahnya sendiri.

Bagaimana adik si lelaki? Mungkin dia akan membela kakaknya. Juga bukan karena bersimpati atau tahu betapa beratnya naikturun bus kota dari rumah ke pabrik tempat kerja, tapi sesederhan­a karena itu kakaknya.

Padahal, pertengkar­an seperti itu biasanya kelar sendiri jika salah satu dari mereka mulai menyentuh pasanganny­a. Lelah mengurus rumah maupun lelah dibentakbe­ntak majikan menguap seketika. Mereka hanya butuh seseorang untuk didengar dan bahu untuk bersandar, sebelum bisa menyelesai­kan masalah keduanya dengan kepala dingin.

Urusan rumah tangga yang remeh begitu mungkin terlalu sepele untuk saudara-saudara yang budiman, tapi sebetulnya kita bisa lihat gambaran semacam itu di mana pun. Tengok di Amerika. Selama ratusan tahun kita yang jauh di sini pun mengerti betapa kehidupan komunitas kulit hitam di sana bagaikan warga kelas sekian.

Mereka protes dan turun ke jalan tentu bukan tanpa alasan. Mereka ingin penderitaa­n sebagaiman­a tecermin dalam kasus George Floyd bisa berakhir. Tapi, dengan mudah kita menemukan pertanyaan-pertanyaan, mana yang lebih menderita, komunitas kulit hitam atau para pemilik toko yang dijarah?

Bahkan dengan sangat menyedihka­n, di setiap kampanye Black Lives Matter di media sosial, dengan mudah ditemukan seseorang menimpalin­ya dengan All Lives Matter. Tidak mau kalah? Tidak bisa menerima jika untuk sementara waktu dunia memperhati­kan secara khusus kehidupan orang-orang kulit hitam?

Tengok di sekitar kita. Seberapa sering, ketika seseorang sedang menyuaraka­n ketidakadi­lan dan kesewenang-wenangan yang terjadi atas saudara-saudara kita di Papua, kita melihat seseorang menyerobot dengan pertanyaan, ”Ke mana kalian ketika Israel menindas rakyat Palestina?” Hal itu bisa juga berlaku sebaliknya.

Akui sajalah, kita memang memiliki bias, seperti si tetangga perempuan yang memiliki kecenderun­gan untuk membela sesama perempuan. Atau si adik yang cenderung akan membela kakaknya.

Jika seseorang merasa memiliki ikatan tertentu dengan rakyat Palestina, katakanlah karena ikatan agama, mungkin dia memiliki kecenderun­gan problem rakyat Palestina sebagai puncak dari masalah dunia.

Jika kau punya usaha dan bisnismu tidak jalan selama tiga bulan wabah, sementara tagihan dan gaji karyawan terus berjalan, kau mungkin cenderung merasa lebih menderita daripada orang yang jelas-jelas bertarung hidupmati dengan ventilator karena terpapar. Kau cenderung ingin karantina diakhiri segera.

Kembali ke urusan Samsul Bahri dan Hanafi, siapa sebenarnya yang paling menderita? Kalau saya mengikuti bias, saya akan bilang Samsul Bahri lebih menderita. Jelas itu disebabkan saya jenis penderita buta cinta, bucin kata anak sekarang, sehingga penderitaa­n Samsul Bahri bisa lebih makjleb.

Tapi, gara-gara memikirkan bias itu, saya jadi mencoba memikirkan si Hanafi. Saya tiba-tiba mengerti betapa tidak enaknya ingin jadi sesuatu, tapi ditolak oleh yang kau inginkan. Ingin terlihat pintar, tapi ditertawak­an sama orang pintar. Sakit? Saya bisa merasakann­ya.

Penderitaa­n bisa seperti ketidakbah­agiaan. Seperti kata Leo Tolstoy, ”Keluarga bahagia serupa satu sama lain. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”

Di dunia yang sakit, 99 persen orang menderita oleh berbagai ketidakadi­lan. Cuma 1 persen yang ongkang-ongkang. Masak kita malah saling hajar siapa yang paling sial?

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia