Iman yang Sosiologis dan Masyarakat Damai
Isi buku ini menjadi inspirasi dan spirit untuk mengembalikan pendulum politik pada tempatnya: sebagai usaha menciptakan kebaikan bersama.
PANDEMI Covid-19 yang menerpa seluruh pelosok bumi ini berlangsung dalam situasi masyarakat yang mengandung paradoks. Di satu sisi kita hidup dalam masyarakat sebagai sebuah tatanan sosial, di sisi lain dalam masyarakat itu pula justru terjadi gerakan dan peristiwa yang memorak-porandakan tatanan sosial.
Kita menjadi berjarak satu dengan yang lain. Bukan hanya situasi sosial kemasyarakatan, tapi juga dalam praktikpraktik keagamaan. Ritus-ritus keagamaan pun menjadi berjarak.
Ada banyak peristiwa sosial, politik, dan ekonomi yang berseberangan dengan hakikat masyarakat sebagai tatanan sosial. Peristiwa-peristiwa seperti Covid-19, konflik sosial bersentimen penghayatan agama yang dangkal, ujaran kebencian, serta arus informasi yang mengalami disinformasi dan kebohongan (hoaks) meretakkan dan merusak tatanan sosial.
Dalam masyarakat yang demikian, iman yang sosiologis diperlukan. Iman yang sosiologis merupakan praksis dari spiritualitas keagamaan. Dengan iman yang demikian, setiap orang dan setiap kelompok dari berbagai latar belakang
JUDUL BUKU: Kembalikan Damai untuk Kami PENULIS: Johanis Mangkey MSC
KATA PENGANTAR: Ignas Kleden PENERBIT: Penerbit Lamalera dan FMKI KAJ TEBAL: 260 halaman
UKURAN: 140 x 210 mm
agama yang berbeda-beda dapat menekuni kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat secara damai. Dalam kedamaian, terbangun kesalingterhubungan karena kepentingan bersama
(gesellschaft) sekaligus karena kebersamaan yang akrab (gemeinschaft).
Iman yang sosiologis merupakan suatu ungkapan spiritualitas perayaan sosial keagamaan, baik Ramadan, Idul Fitri, Waisak, Paskah, maupun Natal. Merayakan ritual keagamaan memiliki makna sosial dalam realitas kehidupan manusia di dunia ini, untuk mengembalikan manusia dari kondisi konflik satu sama lain ke dalam kondisi kesalingterhubungan dan kebersamaan yang akrab.
Paradoks Politik
Kencenderungan dan kemampuan bekerja sama serta kecenderungan untuk berkonflik dan kemampuan berdiri sendiri secara fenomenologis menyingkapkan watak paradoksal masyarakat. Jika ditarik ke titik yang paling mendasar, watak paradoksal masyarakat berakar pada watak paradoksal diri manusia.
Manusia makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Ia tidak mampu menjadi individu mutlak. Ia juga tidak mampu menjadi sosial secara mutlak. Manusia mampu berdiri sendiri sebagai individu dan bersamaan dengan itu, ia juga mau bekerja sama.
Ia mau bekerja sama karena tidak sanggup hidup sendirian. Tetapi, ketika berada dalam sebuah ikatan kerja sama, ia juga tidak betah berlama-lama di situ dan mau kembali kepada diri sendiri. Jadi, setiap orang memikul sebuah ironi eksistensial dan terperangkap dalam ironinya.
Sentimen identitas kolektif menjadi warna dalam sikap dan tindakan politik akhir-akhir ini. Sikap dan tindakan politik yang seharusnya bertujuan menciptakan kebaikan bersama (bonum
commune) seperti yang digagaskan dalam konsep republikanisme justru berubah menjadi sikap dan tindakan barbar yang menghancurkan tatanan sosial masyarakat dan manusia sebagai individu.
Dalam kondisi seperti itulah buku Kembalikan Damai untuk Kami menjadi sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Buku ini berisi warta perdamaian yang senada dengan spiritualitas dan praksis perayaan keagamaan.
Isi buku ini menjadi inspirasi dan spirit untuk mengembalikan pendulum politik pada tempatnya. Yakni, sebagai usaha menciptakan kebaikan bersama, juga untuk mengatasi tindakan penjerembapan masyarakat ke dalam konflik horizontal warga masyarakat.
Buku ini dibuka dengan pengantar oleh Ignas Kleden. Di bawah judul Iman, Politik dan Praksis, Ignas Kleden mengupas fenomena beriman dengan pisau sosiologi. Meskipun objek peneropongannya adalah iman Katolik, pengupasan itu dapat menjadi fondasi bagi penganut dari berbagai agama untuk merefleksikan imannya secara sosiologis.
Sosiologi iman merupakan sebuah pendekatan keilmuan yang tidak banyak ditekuni para pemikir sosial. Para pemikir sosial pada umumnya lebih banyak memotret agama sebagai sebuah sistem religius bersandingan dengan sistemsistem sosial lain dalam masyarakat. Dengan peneropongan seperti itu, agama merupakan sebuah produk sosial dan realitas sosiologis.
ALEXANDER AUR
Dosen filsafat pada Fakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten