Manggung Bentrok Hari Kerja, Harus Izin Pimpinan
Personel Dindaphobia berlatar belakang beragam profesi. Bahkan, dua di antaranya ASN di Pemprov Jatim dan Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka bisa menjalani dua dunia yang berbeda. Ada kalanya sebagai pelayan publik. Ada kalanya pula berjingkrakjingkrak di
”ALHAMDULILLAH, sampai sekarang kami tetap menjalani profesi asli di samping tetap ngeband,” tutur Iman Utomo Haryogi saat ditemui awal pekan lalu. Ya, dia merupakan vokalis dan gitaris grup band asal Surabaya Dindaphobia.
Band tersebut memiliki empat personel dengan latar belakang profesi yang berbeda. Misalnya, pria yang akrab disapa Ogie itu. Dia bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di lingkup Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Begitu pula para personel yang lain dengan profesi masingmasing. Mereka menceritakan pengalaman menjalani dua profesi yang berbeda itu.
Dindaphobia merupakan band pop punk yang terbentuk pada 1996 di Surabaya
Berawaldaripersahabatanalumni SMAN 14 Surabaya. Yakni, Ogie, Antok,danHendro.Saatitu,masingmasing baru saja menyelesaikan kuliahdanmulaibekerja.Disela-sela itu, mereka sering bertemu untuk membicarakanhobiyangsama.”Pas SMAdankuliahkamijugangeband. Tapi,bedagrupdankebetulanenggak lanjut lagi,” ucap Ogie.
Mereka merasa masih membutuhkan wadah untuk menyalurkan hobi bermusik. Sejak itulah Dindaphobia terbentuk. Mereka kerap membawakan lagu dari Indonesia maupun luar negeri. Tak lama setelah dibentuk, Dindaphobia mulai dikenal banyak kalangan.
Dengan formasi baru Ogie, Antok, Ferry, dan Edel. Mereka memang sempat mengalami pergantian dan penambahan personel. Dindaphobia pun mulai tampil dari panggung ke panggung. Mengisi berbagai acara sekolah, kampus, dan komunitas. Tak jarang, ada tawaran manggung di luar kota. Di samping itu, mereka tetap menekuni profesi utama. Itu merupakan komitmen sejak awal Dindaphobia terbentuk.
Misalnya, Ogie yang diterima sebagai aparatur sipil negara (ASN) sejak 1998. Selama menjalani dua aktivitas itu, dia tidak merasa terbebani. Bahkan, bapak dua anak tersebut merasa musik adalah penyeimbang hidupnya. Sebab, sehari-hari sudah bergelut dengan pekerjaan administrasi. Namun, bukan berarti tidak ada hambatan saat menjalani keduanya.
Misalnya, saat jadwal manggung bentrok dengan hari kerja. Hal itu kerap kali terjadi. Jika jadwal tak bisa ditawar, dia menerapkan skala prioritas. Sesekali, pria 47 tahun tersebut juga meminta izin kepada pimpinan kala jadwal manggung tepat pada hari kerja. ”Alhamdulillah, semua mendukung penuh. Bisa memaklumi dan memberi izin,” imbuh pria yang juga memiliki hobi masak dan gowes itu.
Hampir sama dengan Ogie, personel Dindaphobia yang berada di posisi basis, Ferry, juga ASN. Dia merupakan juru sita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Saat menjalani dua profesi itu, Ferry mengaku berkomitmen penuh. Dia baru berkenan manggung jika sudah mendapat izin pimpinan. Misalnya, jadwal rutin manggu di event Jakarta Fair. ”Saya harus mengantongi cuti tahunan dulu, baru mau manggung,” imbuh pria bernama asli Ferry Isyono Purwowirawan itu.
Dia mengaku aktivitas ngeband bukan penghalang sama sekali. Bahkan, dia masih sempat menimba ilmu pascasarjana.
Ada juga Antok yang berposisi gitaris. Di samping ngeband, dia menjalankan usaha milik pribadi di bidang travel. Sebelumnya, dia merupakan karyawan di sebuah perusahaan swasta. Namun, Antok mengundurkan diri karena merasa tidak bebas. ”Saya masih tetap ingin ngeband dan traveling. Kalau jadi karyawan swasta, susah dapat izinnya,” imbuh pria bernama asli Agus Wahyudianto itu.
Personel terakhir adalah Edel di posisi drum. Pria bernama asli Cagar Edelwaysa Admet itu merupakan karyawan swasta. Posisinya pun cukup tinggi, yakni manager logistic and purchasing. Dia bertempat tinggal di Sidoarjo, sedangkan kantornya berlokasi di Surabaya. Namun, Edel tak menjadikan itu sebagai halangan.
ProduktivitasngebandDindaphobia telah terbukti meski masingmasing personel memiliki kesibukan. Sampai saat ini, Dindaphobia memiliki lima album.