Jawa Pos

Kita Adalah Sehat, Sakit, dan Zona

- Oleh EKO TRIONO Novelis, Kini Bermukim di Kompleks Xian Internatio­nal Studies University

VIRUS yang menjengkel­kan ini telah membuat manusia di bandara tidak lagi ditandai, pertama-tama, dari ciri wajahnya, suku atau rasnya, negara atau busananya, bahasa atau aroma parfumnya. Melainkan dari berapa derajat suhu tubuhnya

Ketika suhunya menunjukka­n tanda demam, apalagi adanya ciri lain yang menyertai, dengan segera petugas mengambil tindakan isolasi. Bahkan, nama orang tersebut mulai jadi bisikan rahasia. Baru benar-benar menjadi rahasia, tanpa nama apalagi gelar, saat uji lab muncul dan menyatakan dia positif virus korona.

Pukul tiga sore seorang juru bicara pemerintah akan ganti memberinya nama baru melalui siaran televisi. Nama yang sama dengan ribuan orang lain, yakni Sdr/i Pasien dalam Pengawasan, PDP. Menyertai di sampingnya angkatan nomor induk kasus, disusul statistik merah meninggal yang semoga dihindarka­n dan hijau kesembuhan yang semoga dilimpahka­n.

Beberapa orang yang positif Covid-19 berkata, lebih baik publik mengetahui namanya. Namun, yang lain, juga pemerintah, masih khawatir.

Sejumlah ahli bahasa berpendapa­t bahwa nama pribadi manusia bukanlah bahasa, tapi dapat berasal dari bahasa dan mengandung arti kebahasaan. Orang tua boleh menamai anaknya dengan sesuka hati. Tapi, seringnya, hati mereka akan terdorong memberi doa dan harapan pada nama yang terpilih. Sekalipun namanya terdengar ugal-ugalan atau rumit ikut-ikut tren kekinian, bagi mereka itulah yang terbaik.

Sepanjang sejarahnya, nama selalu terlibat dalam persoalan manusia. Sejak konflik dalam kisah teologis setelah Tuhan mengajari Nabi Adam as nama benda dan iblis hingga terkait konflik nama pribadi dan referensi iman saat perang sipil dan terorisme.

Juga, nama pribadi dan penanda ras sosiologis, sampai macammacam konflik dan penipuan di era saat nama telah diringkus dengan diiringi tulisan ”real”, ”69”, dan lencana ”terverifik­asi”, karena ternyata banyak nama yang sama. Kini didahului pula dengan foto manusia sejati, citra bulat-bulat animasi pesona profesi, atau potret sepotong ketimun, serta dimulai dengan ”@” di area kebun akun media sosial kita.

Kebun internet memang membuat nama kita dengan gampang memanen bahasa pujian dan cacian dari orang yang tidak pernah bertemu muka atau berada di benua lain. Kita bahkan bisa keliru mengucapka­n selamat ulang tahun dan semoga panjang umur di akun orang yang ternyata sudah lama meninggal dunia.

Keunggulan­nya, dalam masa jaga jarak, kita sudah terbiasa terhubung tanpa kopi darat. Virus yang mematikan ini tidak hanya telah menenggela­mkan nama pribadi manusia di dalam kategori medis dan memisah identitasn­ya menjadi sehat atau sakit. Tapi juga mengubah referen imaji nama negara, provinsi, dan kota.

Ketika mengatakan nama negara Amerika Serikat, yang terbayang kasus infeksi tertinggi. Ketika menyebut nama provinsi Hubei, Tiongkok, yang muncul adalah korelasi awal mula pandemi merebak. Ketika mengutarak­an nama kota Jakarta, bukan lagi gambaran orang modern penuh gaya, tetapi malah kata-kata imbauan ”jangan mudik ke desa, ya, bahaya”.

Nama dalam konteks wilayah bukan sekadar mengacu pada ikon dan identitas kisah sebelumnya. Tergantika­n dengan zona dan statistik kasus yang dimilikiny­a.

Proses bentukan identitas baru manusia saat pandemi ini, dalam tataran individu maupun sosial, akan membuat kita saling memahami. Ketika suhu tubuh diukur di bandara atau di tempat lain dan seseorang diisolasi saat ada gejala, itu langkah pengobatan dan pencegahan wabah, bukan karena sentimen pribadi, asal negara, jenis busana, aliran agama, atau pilihan parfum.

Ketika orang dalam pengawasan tidak boleh keluar bebas dari daerahnya, orang datang dari zona merah harus isolasi diri dalam pantauan, bukan berarti sedang menghina trah keluarga atau melakukan diskrimina­si atas status dan pekerjaan. Melainkan agar angka merah maut tidak tambah merenggut, begitu juga saat tidak boleh membuat kerumunan. Hal sama nyatanya berlaku pada tim medis di desa, kota, provinsi, maupun lintas negara dalam memandang orang lain.

Kita sedang melawan virus, bukan umat manusia lainnya. Kita sedang dihadapkan pada identitas baru nama tubuh ini, yakni sehat atau sakit, ada virus atau normal.

Tidak boleh ada perasaan menang saat melihat statistik tingginya korban di negara lain. Sebab, ini bukan Olimpiade, peringkat korupsi, atau pengumpula­n poin game. Kemenangan global manusia justru saat kita mendapatka­n vaksin bersama dan melihat sedikit mungkin orang yang terinfeksi di seluruh bumi dan sebanyak mungkin yang selamat.

Supaya nanti dapat kembali saling memanggil dan memperkena­lkan nama di stasiun atau bandara. Tanpa jaga jarak, tanpa masker, dan tanpa termometer.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia