Optimisme di Tengah Ketidakpastian
SIAPA pun, baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku usaha, selalu menghadapi ketidakpastian. Apalagi dalam kondisi krisis. Pandemi Covid-19 saat ini menjadi salah satu bentuk ketidakpastian yang sedang kita hadapi bersama-sama. Untuk menghadapinya, harus punya pemikiran dan strategi yang baik.
Bagi kami sebagai pelaku usaha, all the time is uncertain
Tidak hanya di Indonesia. Pebisnis di seluruh dunia pun demikian. Kami memang harus punya cara untuk menghadapi kondisi tersebut. Di antaranya, harus memikirkan berbagai skenario. Bagaimana skenario konservatif, skenario optimistis, dan skenario pesimistis.
Sebagai contoh, saya ketika kali pertama memutuskan untuk bergabung dengan Pan Brothers 1997, kondisi perusahaan tengah menurun. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) kala itu juga penuh dengan ketidakpastian. Ditambah dengan krisis moneter yang menyerang negara-negara Asia.
Implementasi rencana dan strategi pengusaha harus adaptif sesuai dengan situasi. Bersama tim, saya berjuang mencari rekanan. Tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Penjualan PT Pan Brothers Tbk saat itu baru mencapai USD 12 juta per tahun. Namun, kami berhasil bangkit dari kondisi tersebut hingga sekarang penjualan perusahaan sudah di atas USD 600 juta.
Tantangan demi tantangan, mulai yang sifatnya ekonomi makro, regulasi, hingga permasalahan internal perusahaan, akan selalu menjadi ketidakpastian baru yang bisa datang kapan saja. Tak ada yang bisa menebak datangnya pandemi korona.
Kami bergerak cepat untuk memaksimalkan peluang-peluang yang ada supaya operasional perusahaan tidak mandek. Kami tidak menutup produksi sejak muncul kasus positif Covid-19 yang pertama di Indonesia. Kami justru melangkah cepat dengan membentuk divisi APD (alat pelindung diri) yang memproduksi masker dan hazmat.
Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi APD siap untuk melayani permintaan ekspor. Skenario optimistis adalah skenario yang kami jalankan sampai hari ini di tengah pandemi.
Dalam karir sebagai pengusaha, ada beberapa prinsip yang saya tekankan kepada semua orang.
Pertama, komitmen. Untuk bisa sukses, selain smart working, perlu hard working.
Kedua adalah compassion (perasaan sayang) pada bidang yang ditekuni. Sejak 1997 hingga sekarang, banyak sekali tantangan yang diberikan pemerintah maupun dunia. Kalau tidak punya compassion terhadap industri ini, akan mudah menyerah.
Yang tidak kalah penting adalah endurance. Dalam berbisnis diperlukan endurance atau daya tahan. Apalagi ekonomi Indonesia yang semakin terbuka dan adanya globalisasi. Kalau tak punya endurance, belum apaapa sudah menyerah. Maka, kami tidak bisa melihat prospek ke depan.
Saya percaya bahwa prinsipprinsip di atas juga berlaku untuk semua sektor. Saya bekerja di sektor forestry, woodworking, dan garmen. Prinsip-prinsip tersebut yang membawa saya bisa beradaptasi dengan kondisi apa pun.
Disarikan dari wawancara
dengan Agfi Sagittian