Simalakama Pandemi Butuh Tertib Sosial
Ketertiban menjadi kuncinya. Mengapa Taiwan dan Selandia Baru berhasil memotong persebaran Covid-19 lebih cepat? Karena masyarakat dan pemerintahnya sama-sama tertib.”
DALAM sebuah diskusi kelas komunikasi melalui daring (online) terungkap bahwa para mahasiswa mulai rindu belajar di kampus. Ihwal sama juga dirasakan kalangan pelajar. Mereka berharap bisa segera kembali bersekolah. Demikian juga mereka yang biasanya bekerja di luar rumah, ketika sekian waktu menjalani work from home, sudah mengalami perasaan bosan di rumah. Ternyata, sekalipun orang bisa bertemu dalam ruang komunikasi virtual, tetap tidak cukup memenuhi kerinduan bertemu secara fisik. Jika pandemi ini tak kunjung selesai, bisa dibayangkan tingkat stres menjalani protokol kesehatan untuk di rumah saja.
Pandemi Covid-19 memang perkara terumit dalam sejarah manusia. Rumit itu sudah ruwet, ditambah sulit. Bayangkan, orang tiba-tiba harus menghentikan aktivitas rutinnya. Berganti dengan cara baru. Alangkah sulitnya. Seorang guru, misalnya, biasanya bangun pagi, lalu berkemas dan pergi ke sekolah. Di sekolah bertemu murid-muridnya, bersalaman, dan mengajar. Tiba-tiba kini di rumah saja. Tetap mengajar, sendirian di depan kamera komputer, tanpa mendengar keriuhan suara muridnya secara alamiah. Begitu juga seorang pedagang pasar. Biasa berangkat sebelum matahari terbit, kini mereka hanya berjualan dari rumah dan harus menjual secara online. Itu pun pedagang yang tidak gaptek.
Dampak pandemi memang benarbenar meluluhlantakkan cara hidup manusia. Secara ekonomi mungkin bisa dihitung kerugian dengan tata kebiasaan baru ini. Tapi, dalam konteks sosial budaya, kerugiannya tak terhitung (uncountable). Dengan kuatnya desakan berbagai pihak, apakah perlu dilonggarkan aktivitas publik? Ini sangat dilematis. Apalagi, laporan kasus Covid-19 tak kunjung landai.
Melonggarkan aktivitas sosial di tengah persebaran virus Covid-19 belum mereda pastilah berisiko. Tetapi, melakukan pembatasan terus-menerus juga menimbulkan masalah baru. Sangat dilematis. Apa pun alasannya, baikmembatasimaupunmelonggarkan, masing-masing menyangkut nyawa dan kehidupan manusia. Kompleksitas Pandemi
Pandemi ini memang bukan melulu soal kesehatan. Sangat kompleks, sangat multidimensional. Menyangkut banyak aspek kehidupan, demikian juga dampaknya. Pemerintah mana pun saat ini pastilah mengalami kesulitan untuk mengambil kebijakan. Sejumlah negara kini pun akhirnya melakukan pelonggaran pembatasan aktivitas sosial. Meski, jumlah orang yang terkena Covid-19 belum landai. Banyak negara yang telah mempersiapkan untuk masuk ke fase normal baru (new normal), termasuk Indonesia.
Pelonggaran pembatasan itu diperdebatkan karena sejumlah ahli kesehatan belum sepenuhnya merekomendasikan pelonggaran aktivitas sosial. Bisa dipahami, karena jika dilakukan pelonggaran, potensi pandemi gelombang kedua diprediksi muncul. Risikonya lebih besar. Insan medis dan epidemiolog pastilah tidak setuju pelonggaran tanpa perhitungan ketat. Mereka pasti memilih kebijakan pembatasan aktivitas sosial. Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesu juga memperingatkan bahwa pelonggaran pembatasan sosial akan memicu gelombang kedua persebaran Covid-19. Bahkan sekalipun vaksin ditemukan, masih memerlukan waktu tak sebentar untuk memproduksinya.
Pemerintah Indonesia selama ini telah melakukan berbagai ikhtiar untuk mengatasi wabah Covid-19. Tetapi, mengatasi jumlah penduduk yang besar, tersebar di berbagai wilayah dan beragam kultur memerlukan kebijakan yang komprehensif. Karena itu, tentu tak cukup hanya mengandalkan ikhtiar pemerintah, tetapi juga diperlukan keberdayaan masyarakatnya.
Saat ini laporan kasus Covid-19 di beberapa wilayah di Indonesia belum menampakkan hasil yang diharapkan. Salah satu evaluasinya, masyarakat belum secara tertib menjalankan protokol kesehatan. Padahal, kedisiplinan adalah kunci utama memutus mata rantai persebaran virus. Disiplin Mutlak
Menyiapkan tata berkehidupan baru (new normal) membutuhkan waktu yang panjang. Sementara itu, persebaran Covid-19 sulit dipotong. Apalagi jika tidak ada disiplin masya
rakatnya. Tak salah jika para ahli epidemiologi mewanti-wanti soal perilaku sosial masyarakat yang sembrono menghadapi pandemi ini.
Kehidupan baru memerlukan tradisi baru. Tradisi berprotokol kesehatan. Harus rajin cuci tangan pakai sabun, memakai masker jika keluar rumah, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain minimal 1 meter. Tradisi baru yang sedikit antagonis dengan tradisi lama bangsa Indonesia, utamanya memakai masker dan menjaga jarak interaksi. Bermasker hal yang baru, berjauhan berlawanan dengan kebiasaan berkumpul-kumpul. Pendek kata, protokol kesehatan dianggap ’’merepotkan”. Padahal, itulah yang harus dijalankan jika mau pandemi usai.
Ketertiban menjadi kuncinya. Mengapa Taiwan dan Selandia Baru berhasil memotong persebaran Covid19 lebih cepat? Karena masyarakat dan pemerintahnya sama-sama tertib. Masyarakatnya tunduk pada aturan yang ditetapkan pemerintah, dan pemerintahnya juga konsisten menjalankan amanat rakyatnya.
Ada tiga kemungkinan orang bertertib sosial (social order). Tertib karena ketundukan (compliance), orang menjadi tertib lantaran takut sanksi hukum. Tertib peniruan (identification), karena merasa malu jika ia berbeda dengan orang lain. Maka, ia berdisiplin seperti yang lain. Dan tertib internalisasi, karena ia merasa yakin dengan tertib tersebut mendapatkan manfaat bagi hidupnya.
Sangat mungkin bahwa kedisiplinan masyarakat menjalankan protokol kesehatan selama ini masih pada kategori takut dan merasa malu atau sungkan jika tak mengikutinya. Belum pada kategori benar-benar yakin bahwa cara baru dengan berprotokol kesehatan memberikan manfaat bagi hidupnya.
Jika kualitas ketertiban masyarakat dalam berperilaku baru dengan protokol kesehatan masih rendah, melonggarkan aktivitas sosial sama saja dengan membiarkan maut menjemput. Tapi, memang berada di rumah saja bisa mematikan naluri kehidupan bersama. Maka, jawaban atas dilema itu hanya berdisiplin menjalani protokol kesehatan.
Senyampang belum ditemukan vaksin penangkal, protokol kesehatan adalah tindakan mutlak yang harus diterapkan. Jadi, jangan berharap bertemu dan berkumpul sebelum terbangun disiplin menjalankan protokol kesehatan. Simpan rindu untuk bertemu, tetap jaga jarak agar tidak terkoyak. Itu harga yang harus kita bayar jika tidak ingin ambyar! (*)
*) Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga