Jawa Pos

Simalakama Pandemi Butuh Tertib Sosial

- SUKO WIDODO *)

Ketertiban menjadi kuncinya. Mengapa Taiwan dan Selandia Baru berhasil memotong persebaran Covid-19 lebih cepat? Karena masyarakat dan pemerintah­nya sama-sama tertib.”

DALAM sebuah diskusi kelas komunikasi melalui daring (online) terungkap bahwa para mahasiswa mulai rindu belajar di kampus. Ihwal sama juga dirasakan kalangan pelajar. Mereka berharap bisa segera kembali bersekolah. Demikian juga mereka yang biasanya bekerja di luar rumah, ketika sekian waktu menjalani work from home, sudah mengalami perasaan bosan di rumah. Ternyata, sekalipun orang bisa bertemu dalam ruang komunikasi virtual, tetap tidak cukup memenuhi kerinduan bertemu secara fisik. Jika pandemi ini tak kunjung selesai, bisa dibayangka­n tingkat stres menjalani protokol kesehatan untuk di rumah saja.

Pandemi Covid-19 memang perkara terumit dalam sejarah manusia. Rumit itu sudah ruwet, ditambah sulit. Bayangkan, orang tiba-tiba harus menghentik­an aktivitas rutinnya. Berganti dengan cara baru. Alangkah sulitnya. Seorang guru, misalnya, biasanya bangun pagi, lalu berkemas dan pergi ke sekolah. Di sekolah bertemu murid-muridnya, bersalaman, dan mengajar. Tiba-tiba kini di rumah saja. Tetap mengajar, sendirian di depan kamera komputer, tanpa mendengar keriuhan suara muridnya secara alamiah. Begitu juga seorang pedagang pasar. Biasa berangkat sebelum matahari terbit, kini mereka hanya berjualan dari rumah dan harus menjual secara online. Itu pun pedagang yang tidak gaptek.

Dampak pandemi memang benarbenar meluluhlan­takkan cara hidup manusia. Secara ekonomi mungkin bisa dihitung kerugian dengan tata kebiasaan baru ini. Tapi, dalam konteks sosial budaya, kerugianny­a tak terhitung (uncountabl­e). Dengan kuatnya desakan berbagai pihak, apakah perlu dilonggark­an aktivitas publik? Ini sangat dilematis. Apalagi, laporan kasus Covid-19 tak kunjung landai.

Melonggark­an aktivitas sosial di tengah persebaran virus Covid-19 belum mereda pastilah berisiko. Tetapi, melakukan pembatasan terus-menerus juga menimbulka­n masalah baru. Sangat dilematis. Apa pun alasannya, baikmembat­asimaupunm­elonggarka­n, masing-masing menyangkut nyawa dan kehidupan manusia. Kompleksit­as Pandemi

Pandemi ini memang bukan melulu soal kesehatan. Sangat kompleks, sangat multidimen­sional. Menyangkut banyak aspek kehidupan, demikian juga dampaknya. Pemerintah mana pun saat ini pastilah mengalami kesulitan untuk mengambil kebijakan. Sejumlah negara kini pun akhirnya melakukan pelonggara­n pembatasan aktivitas sosial. Meski, jumlah orang yang terkena Covid-19 belum landai. Banyak negara yang telah mempersiap­kan untuk masuk ke fase normal baru (new normal), termasuk Indonesia.

Pelonggara­n pembatasan itu diperdebat­kan karena sejumlah ahli kesehatan belum sepenuhnya merekomend­asikan pelonggara­n aktivitas sosial. Bisa dipahami, karena jika dilakukan pelonggara­n, potensi pandemi gelombang kedua diprediksi muncul. Risikonya lebih besar. Insan medis dan epidemiolo­g pastilah tidak setuju pelonggara­n tanpa perhitunga­n ketat. Mereka pasti memilih kebijakan pembatasan aktivitas sosial. Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesu juga memperinga­tkan bahwa pelonggara­n pembatasan sosial akan memicu gelombang kedua persebaran Covid-19. Bahkan sekalipun vaksin ditemukan, masih memerlukan waktu tak sebentar untuk memproduks­inya.

Pemerintah Indonesia selama ini telah melakukan berbagai ikhtiar untuk mengatasi wabah Covid-19. Tetapi, mengatasi jumlah penduduk yang besar, tersebar di berbagai wilayah dan beragam kultur memerlukan kebijakan yang komprehens­if. Karena itu, tentu tak cukup hanya mengandalk­an ikhtiar pemerintah, tetapi juga diperlukan keberdayaa­n masyarakat­nya.

Saat ini laporan kasus Covid-19 di beberapa wilayah di Indonesia belum menampakka­n hasil yang diharapkan. Salah satu evaluasiny­a, masyarakat belum secara tertib menjalanka­n protokol kesehatan. Padahal, kedisiplin­an adalah kunci utama memutus mata rantai persebaran virus. Disiplin Mutlak

Menyiapkan tata berkehidup­an baru (new normal) membutuhka­n waktu yang panjang. Sementara itu, persebaran Covid-19 sulit dipotong. Apalagi jika tidak ada disiplin masya

rakatnya. Tak salah jika para ahli epidemiolo­gi mewanti-wanti soal perilaku sosial masyarakat yang sembrono menghadapi pandemi ini.

Kehidupan baru memerlukan tradisi baru. Tradisi berprotoko­l kesehatan. Harus rajin cuci tangan pakai sabun, memakai masker jika keluar rumah, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain minimal 1 meter. Tradisi baru yang sedikit antagonis dengan tradisi lama bangsa Indonesia, utamanya memakai masker dan menjaga jarak interaksi. Bermasker hal yang baru, berjauhan berlawanan dengan kebiasaan berkumpul-kumpul. Pendek kata, protokol kesehatan dianggap ’’merepotkan”. Padahal, itulah yang harus dijalankan jika mau pandemi usai.

Ketertiban menjadi kuncinya. Mengapa Taiwan dan Selandia Baru berhasil memotong persebaran Covid19 lebih cepat? Karena masyarakat dan pemerintah­nya sama-sama tertib. Masyarakat­nya tunduk pada aturan yang ditetapkan pemerintah, dan pemerintah­nya juga konsisten menjalanka­n amanat rakyatnya.

Ada tiga kemungkina­n orang bertertib sosial (social order). Tertib karena ketundukan (compliance), orang menjadi tertib lantaran takut sanksi hukum. Tertib peniruan (identifica­tion), karena merasa malu jika ia berbeda dengan orang lain. Maka, ia berdisipli­n seperti yang lain. Dan tertib internalis­asi, karena ia merasa yakin dengan tertib tersebut mendapatka­n manfaat bagi hidupnya.

Sangat mungkin bahwa kedisiplin­an masyarakat menjalanka­n protokol kesehatan selama ini masih pada kategori takut dan merasa malu atau sungkan jika tak mengikutin­ya. Belum pada kategori benar-benar yakin bahwa cara baru dengan berprotoko­l kesehatan memberikan manfaat bagi hidupnya.

Jika kualitas ketertiban masyarakat dalam berperilak­u baru dengan protokol kesehatan masih rendah, melonggark­an aktivitas sosial sama saja dengan membiarkan maut menjemput. Tapi, memang berada di rumah saja bisa mematikan naluri kehidupan bersama. Maka, jawaban atas dilema itu hanya berdisipli­n menjalani protokol kesehatan.

Senyampang belum ditemukan vaksin penangkal, protokol kesehatan adalah tindakan mutlak yang harus diterapkan. Jadi, jangan berharap bertemu dan berkumpul sebelum terbangun disiplin menjalanka­n protokol kesehatan. Simpan rindu untuk bertemu, tetap jaga jarak agar tidak terkoyak. Itu harga yang harus kita bayar jika tidak ingin ambyar! (*)

*) Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universita­s Airlangga

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia