Dokter Tidak Boleh Sakit
URUSAN kesehatan dokter dan tim medis di tengah membaranya supervirus Covid-19 perlu perhatian superserius. Merekalah brigade pasukan pemungkas untuk berperang dengan Covid-19 agar kita tidak kalah. Ketika pasien Covid-19 membanjir ke rumah sakit, berarti masyarakat sebagai garda depan sudah kocar-kacir. Mereka mundur ke benteng yang bernama rumah sakit.
Tak bisa ditawar lagi, pembenahan serius, sistemik, dan menyeluruh untuk memberikan jaminan kesehatan (dan tunjangan) tim medis (baca Jati Diri Jawa Pos kemarin). Jangan sampai sakit para dokter dan tenaga medis yang bertempur dengan Covid-19. Selain berisiko menuju kefatalan, kalau terinfeksi, mereka harus mengisolasi diri dari 14 hari atau lebih.
ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS
Ketika harus mengisolasi diri, tenaga-otak-hati yang sangat dibutuhkan itu tak bisa lagi menangani pasien. Padahal, untuk kasus Jatim, bil khusus Surabaya Raya, kekuatan pasukan penyerang itu tak boleh berkurang. Apalagi, pasiennya makin hari makin membanjir. Bahkan, kondisi itu diperkirakan belum sampai puncak.
Terkuaknya 41 PPDS atau peserta program pendidikan dokter spesialis di RSUD dr Soetomo terinfeksi Covid-19 itu jeritan nyaring warning
bell. Dan, kabarnya, yang terinfeksi sudah bertambah lagi. Angka tersebut juga tak termasuk para dokter non-PPDS dan tenaga medis lain. Bila ditambahkan dengan kasus-kasus tenaga medis terinfeksi maupun gugur di seluruh Indonesia, jumlahnya sudah menyesakkan.
Indikasi besar itu perlu menjadi titik kesadaran baru agar jaminan kepada awak medis menjadi prioritas tertinggi. Begitu pula tenaga pendukungnya (sopir ambulans, pemulasara jenazah, tenaga-tenaga pendukung di rumah sakit). Jangan sampai pasukan benteng terakhir tersebut mengalami demoralisasi karena pukulan bertubitubi secara fisik dan mental. Para pemangku kepemimpinan tidak boleh mengecilkan atau
ignorance atas situasi ini. Jangan sampai menganggap pengungkapan itu fitnah.
Bila pasukan rumah sakit sebagai benteng akhir berantakan, pasti chaos. Kita sudah menyaksikan itu di negara-negara yang mengalami puncak pandemi. Ketika para tenaga medis berguguran, pasien tak terurus. Wafat pun tak teritual semestinya.
Kita ingat, ada yang menyebut Surabaya bisa jadi ”Wuhan kedua”. Semoga peringatan tersebut tertuju pula kepada garda medis sendiri. Agar diperkuat. Agar dijaga, jangan sampai banyak yang terpaksa keluar dari barisan garda, entah karena terinfeksi, atau bahkan wafat. Ingat, saat kasus Covid-19 mengamuk di Wuhan, garda medis tetap solid. Tidak terlalu banyak yang terinfeksi atau gugur. Kita lihat ada gejala yang berbeda di pusat Jatim ini.