Pakai Baju Hazmat, Tembus Episentrum, ”Bonusnya” Diajak Foto-Foto
Mereka bernegosiasi, mendistribusikan bantuan, dan mengurus pemulangan WNI dari berbagai negara di tengah kuntara dan ketatnya penerbangan. Ada yang menelepon satu per satu ribuan mahasiswa untuk memastikan kondisi.
BELUM genap dua bulan Eko Hartono menempati pos barunya, tugas berat sudah menunggu. Dia harus mengurus lebih dari 45 ribu jamaah umrah yang terdampak kebijakan penutupan penerbangan oleh pemerintah Arab Saudi
Padahal, konsul jenderal Republik Indonesia di Jeddah, Arab Saudi, itu juga mesti memastikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) dari ancaman Covid-19.
”Saya ingat betul, 27 Februari 2020 tiba-tiba diumumkan kebijakan (penutupan penerbangan, Red) tersebut,” ujar dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin (27/6).
Dia bersama dengan tim KJRI Jeddah langsung bergerak cepat. Mendata semua jamaah umrah untuk kemudian dicarikan penerbangan pulang ke Indonesia. Sebab, masih ada beberapa penerbangan yang dibolehkan keluar.
Tim mendatangi penginapan para jamaah. Berkoordinasi dengan muasasah untuk memastikan mereka mendapat pelayanan yang sesuai setiap hari.
Sayang, ada saja jamaah umrah yang tak menghiraukan. Menganggap santai imbauan. Meminta agar KJRI dapat memfasilitasi dan dibantu untuk bisa masuk.
”Kadang suka gemes dengan yang begini ya,” tutur Eko, kemudian tertawa.
Pandemi Covid-19 memang membuat para diplomat Indonesia di penjuru dunia bekerja keras. Siang-malam. Meski mungkin, sebagaimana umumnya kerja diplomasi, kiprah mereka tak ”kasatmata” di depan publik.
Di wilayah kerjanya di Arab Saudi, Eko tak cuma harus mengurus para jamaah umrah yang sempat tertahan. Tapi, juga para pekerja Indonesia yang harus mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja). Atau yang gajinya tak cair penuh. Dan, semua ingin pulang di saat penerbangan keluar dari Arab Saudi begitu sulitnya.
Merujuk data KJRI Jeddah, setidaknya sudah lebih dari 3 ribu WNI yang dipulangkan sejak 9 April sampai 13 Juni 2020. Eko menjelaskan, pihaknya berupaya menjalin kerja sama dengan
Saudi Arabian Airlines untuk memulangkan mereka.
Prosesnya pun tak mulus. Ada proses negosiasi yang terus dilakukan dalam hal biaya tiket. Aturan social distancing membuat keterisian pesawat dibatasi maksimal 60 persen. Hal tersebut tentu membuat harga tiket melambung. Satu tiket dihargai SAR 4.000 atau sekitar Rp 14 juta.
KJRI pun mencari cara agar harga bisa ditekan. ”Kami menjalin komunikasi dengan Kemenlu Saudi. Kami jelaskan ini repatriasi, apakah memungkinkan untuk seluruh seat diisi,” papar pria asal Klaten itu.
Diplomasi mereka berhasil. Harga tiket pun bisa ditekan hingga SAR 2.800. Perjuangan tak berhenti di situ. KJRI harus mengumpulkan WNI yang ingin pulang dan memastikan pesawat terisi penuh. Termasuk soal urusan pembayaran.
Itu tentu sangat menguras tenaga. Sebab, ada saja WNI yang ternyata tak memiliki exit permit. Yang kemudian harus didampingi untuk pembuatannya.
Bukan hanya bantuan pemulangan, KJRI Jeddah juga turut menyalurkan bantuan langsung tunai dan bantuan sembako untuk para WNI di sana. Tantangan terbesar ialah lebih dari separo WNI di wilayahnya undocumented.
Seperti para kolega mereka di Jeddah, para diplomat di KBRI Seoul, Korea Selatan, juga harus bekerja sama kerasnya. Kedekatan wilayah dan lalu lintas pekerja antara Tiongkok –negara tempat virus korona pemicu Covid-19 berasal– dan Korea Selatan membuat mereka sudah waspada sejak jauh-jauh hari. Tim kecil pun dibentuk untuk penanganan Covid-19.
”Saat itu kami sudah mulai melakukan sosialisasi ke titiktitik WNI setiap minggu. Misal ke restoran Indonesia, gereja, hingga pengajian di masjid,” ungkap Sekretaris Pertama Urusan Protokol dan Konsuler
KBRI Seoul Purno Widodo.
Benar saja, tak lama Daegu menjadi salah satu episentrum Covid-19 dengan persebaran yang cukup mengerikan pada Februari 2020. Dalam satu hari, penambahan kasus mencapai ratusan setelah adanya pasien yang menjadi super spreader dan menularkan ke banyak orang.
KBRI Seoul langsung merespons cepat. Tim diperbesar. Semua diplomat kebagian tugas dalam hal perlindungan terhadap Covid-19. Tidak hanya memastikan mereka aman dengan terus mengingatkan soal protokol kesehatan, tapi juga bagaimana amunisi dan persediaan masker tersedia.
Apung –begitu Purno Widdo biasa disapa– yang dirasa dekat dengan para mahasiswa langsung kebagian mengurus mereka. Setidaknya ada sekitar 1.500 mahasiswa di sana. ”Saya langsung kontak satu per satu, tiap hari. Hehehe, lumayan ya,” katanya.
Dia mengakui sempat panik ketika masker langka. Padahal, kebutuhan terus membeludak. Saking bingungnya, dia nekat membeli dari pasar gelap.
Yang miris lagi, ketika dia kesulitan untuk menyalurkan bantuan ke Daegu. Karena Daegu telah menjadi episentrum, warga dari luar tentu dilarang masuk.
KBRI Seoul telah membuka posko di perbatasan untuk mengantisipasi segala kondisi yang tidak diinginkan. ”Lucunya, saya pernah masuk dan wajib pakai hazmat lengkap. Ini wajib ya. Eh sama mereka malah diajak fotofoto,” ungkapnya, lalu terbahak.
Kerja keras mereka selama tiga bulan terbayar. Tak ada WNI di sana yang terpapar Covid-19. Semuanya dalam kondisi sehat hingga saat ini. ”Gak libur selama tiga bulan rasanya ya udah. Mereka semua sehat,” tutur pria yang hobi memasak itu.
Hayyu Imanda juga sempat merasakan bantuan yang luar biasa dari perwakilan pemerintah
Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan (Afsel). Inda –sapaan akrabnya– ingat betul bagaimana para diplomat di KJRI Cape Town membuka tangan selebarlebarnya untuk dirinya selama enam minggu di sana.
”Saya beruntung sekali,” ujar perempuan 26 tahun itu.
Inda menjadi salah seorang WNI yang terdampak kebijakan kuntara di Afsel pada akhir Maret lalu. Kejadian itu bermula ketika dia bersama teman-teman satu kampusnya dari Universitas Oxford, Inggris, datang ke sana pada pertengahan Maret untuk urusan kampus.
Selama enam minggu tersebut, Inda diminta tinggal di wisma Indonesia yang menjadi kediaman Konjen KJRI Cape Town Mohamad Siradj Parwito bersama keluarga. Di sana Inda diperlakukan seperti keluarga.
”Nah, ini yang saya rasa benarbenar Indonesia sekali. Diplomat luar negeri menjadikan ini sebagai personal, tidak hanya tugas bagi mereka,” katanya.
Bahkan, yang membuatnya meneteskan air mata, ketika sampai berhasil pulang, dia mendapat pesan sangat menyentuh. Istri Siradj berterima kasih karena Inda sudah menjadi bagian dari keluarga besar KJRI Cape Town selama enam minggu.
”Padahal, saya yang minta tolong. Saya sangat merasakan kebaikan dan kehangatan dari mereka,” paparnya.
Inda memang berhasil pulang pada 6 Mei 2020 dari Johannesburg, Afsel. Lokasinya kurang lebih 18 jam perjalanan dari Cape Town.
Inda akhirnya terbang ke Indonesia bersama 26 WNI lainnya. Dalam kerja sama itu, disepakati pula bahwa pesawat bisa memulangkan warga negara Afsel di Indonesia setelah tiba.
”Ini pasti hasil koordinasi luar biasa antara pemerintah Indonesia dan otoritas Afsel dan South African Airways,” katanya.