Malam Itu Tak Ada Lagi Suara Bayi Kelaparan
Bagi orang-orang yang empat bulan berjejalan di atas laut itu, nasi bungkus dan tidur di meunasah adalah kemewahan. Hasil rapid test mereka nonreaktif.
WAJAH para bocah itu lusuh, pucat. Satu per satu mereka diangkut keluar dari kapal, dibariskan di tepi pantai.
Seperti dilaporkan Rakyat Aceh, ada yang bahkan tidak mampu lagi berjalan. Mungkin karena saking lamanya menekuk kaki sembari berjejalan di kapal yang bersahaja.
Mereka, anak-anak itu, bagian dari rombongan orang-orang Rohingya yang sempat belasan jam terapung di lautan karena kehabisan bahan bakar. Sebelum akhirnya ditarik boat kecil para nelayan ke perairan Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara, pada Kamis pekan lalu (25/6).
Proses evakuasi itu dimulai dengan dilepaskannya jangkar kapal Rohingya. Tali mulai diulur ke boat kecil nelayan.
Suara teriak masyarakat di tepi pantai membahana menambah semangat para nelayan
J
”Tarik-tarik aja ke darat,” teriak mereka dengan suara histeris.
Ada 99 orang di dalam rombongan Rohingya yang mendarat di Aceh Utara itu. Lima tahun silam, rombongan serupa, dengan kondisi yang sama menyedihkannya, juga diselamatkan para nelayan Aceh. Ketika itu mereka terombang-ambing di lautan menyusul kegagalan masuk ke perairan Malaysia karena dihalau petugas.
Kali ini pun mereka sempat terombang-ambing 18 jam di perairan Seunadon sebelum ditarik para nelayan setempat ke Lancok. Awan gelap memayungi pantai saat orang-orang yang lapar, haus, dan terusir dari tanah kelahiran di Myanmar itu berhasil didaratkan ke pantai.
Berhasil sebenarnya perlu diberi tanda petik. Sebab, selama perjalanan menuju ”tanah harapan (Malaysia, Australia, atau mana pun itu yang penting lebih baik daripada negeri sendiri)”, setidaknya 15 orang meninggal. Jenazah mereka pun dibuang ke laut.
Awan gelap itu perlahan berubah menjadi hujan. Nasi bungkus hasil urunan warga setempat mulai mereka makan. Lahap sekali.
Barangkali itulah makanan layak pertama yang mereka santap sejak meninggalkan Rakhine, provinsi di Myanmar tempat warga Rohingya terkonsentrasi, pada akhir Februari lalu. Itu juga pastinya makanan pertama yang mereka santap sembari bisa melihat pohon, bangunan, orangorang (selain mereka sendiri). Sebelumnya hanya laut, laut, dan laut.
Malam itu mereka akan tidur di meunasah (madrasah) Gampong Lancok. Tak masalah, kata mereka. Bahkan, bisa jadi itu bakal jadi tidur terenak mereka dalam empat bulan terakhir.
Cukup makan, cukup minum. Malam itu tak akan ada suara bayi kelaparan.
***
PBB menyebut Rohingya sebagai salah satu kaum minoritas yang paling mengalami persekusi di dunia. Tercatat 900 ribu jiwa yang terusir dari Rakhine sejak 2015.
Padahal, sebelum 2015, tercatat sekitar 1 sampai 1,3 juta warga Rohingya yang mayoritas muslim tinggal di Rakhine. Terutama di bagian utara provinsi yang berbatasan dengan Bangladesh tersebut.
Orang-orang Rohingya menyebut diri mereka sebagai keturunan Arakan, sebuah kerajaan yang dulu berwilayah di antara Asia Tenggara dan sub-Benua India. Tapi, pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negara dan menganggapnya pendatang ilegal dari Bangladesh yang mayoritas juga berpenduduk muslim.
Ethnic cleansing atau pembersihan etnis yang dilakukan Myanmar lewat tangan-tangan militer mereka banyak disamakan dengan kekejaman rezim apartheid di Afrika Selatan. Yang membuat banyak orang kecewa, Aung San Suu Kyi, tokoh prodemokrasi Myanmar, pemenang Nobel Perdamaian, ternyata juga berdiri dalam barisan yang sama dengan rezim militer setempat terkait tragedi Rohingya.
”Saya melihat ASEAN tidak melakukan tindakan yang secukupnya untuk menekan Myanmar yang juga anggota ASEAN untuk menghentikan tindakan biadab,” ujar General Secretary International Concern Group for Rohingya Muhammad Adli Abdullah kepada Antara di Banda Aceh seperti dikutip dari Jawapos.com.
Pada akhirnya pertolongan justru lebih sering datang dari tangan-tangan di luar pemerintah. Seperti halnya yang dilakukan warga Pancok pada Kamis lalu itu.
Atas nama kemanusiaan, mereka menolong kapal yang terapung-apung belasan jam akibat kehabisan bahan bakar itu. Di pantai, orang-orang setempat spontan urunan sukarela yang hasilnya digunakan untuk membeli makanan dan minuman.
”Tindakan Panglima Laot (lembaga adat laut, Red) dan nelayan Aceh patut diapresiasi,” kata Adli.
Upaya kemanusiaan itu berhasil menyelamatkan 17 laki-laki, 49 perempuan, serta 33 anak-anak dan balita yang ada di atas kapal sederhana tersebut.
*** Di penampungan sementara di bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe di Peuntet, kabar melegakan itu datang. Hasil rapid test 99 warga Rohingya yang diadakan pada Jumat pekan lalu (26/6) nonreaktif.
Rapid test memang tidak bisa dijadikan pegangan pasti seseorang positif atau tidak Covid-19. Namun, di tengah kesengsaraan yang berlarat-larat, tidakkah mendengarkan cericit burung saja sudah merupakan kemewahan tersendiri?
Apalagi, Bupati Aceh Utara H Muhammad Thaib juga mengatakan bahwa pihaknya siap menampung warga Rohingya yang terdampar. Semua dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan dan sesuai dengan petunjuk Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
”Kami sangat mengapresiasi penanganan cepat oleh pihak UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) dan IOM (Organisasi Migrasi Internasional). Juga, kerja sama TNI-Polri serta imigrasi saat evakuasi dan pendataan pengungsi Rohingya,” ungkap Thaib.
Hari ini 99 warga Rohingya tersebut rencananya dipindahkan ke Balai Latihan Kerja (BLK) Kabupaten Aceh Utara di Meunasah Mee, Kandang, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe. ”Segala kebutuhan mereka telah kami siapkan di sana,” katanya.
Pejabat Protection Associate of UNHCR Oktina juga memastikan bahwa pihaknya siap membantu Pemda Aceh Utara dalam menangani warga Rohingya. ”Kami sangat mengapresiasi karena sudah dievakuasi. Yang penting mereka terselamatkan dulu, diberi bantuan air minum, makanan, karena mereka telah lama bertahan di laut,” ungkap Oktina.
Dalam waktu dekat, UNHCR akan mendatangkan staf dari Jakarta untuk melakukan verifikasi dan pendataan ulang terhadap semua pengungsi tersebut. Menurut Oktina, penanganan jangka panjang terhadap pengungsi luar negeri hanya ada tiga opsi: dipulangkan ke negara asal jika mereka mau, dilakukan integrasi lokal di negara penampung, atau dipindahkan ke negara tujuan.
Artinya, perjalanan dan penantian 99 warga Rohingya tersebut masih akan panjang. Belum tentu mereka akan sampai ke tanah harapan, apalagi di tengah pandemi seperti saat ini.
Tapi, setidaknya mereka sudah berada di tengah orangorang yang sukarela membantu. Uluran tangan yang menumbuhkan harapan kendati tanah harapan belum dalam jangkauan.