15 Juli, Batas Pemda Lunasi NPHD Pilkada
Baru 10 Daerah Yang Tuntas
JAKARTA, Jawa Pos – Lambatnya proses pencairan anggaran naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pilkada dikeluhkan para penyelenggara pemilu. Pasalnya, keterlambatan anggaran berpotensi mengganggu jalannya tahapan dan persiapan lainnya.
Merespons keluhan itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menginstruksi pemerintah daerah mempercepat proses pencairan. ”Sebelum 15 Juli, semua daerah yang menyelenggarakan pilkada harus sudah 100 persen mencairkan dana pilkada ke penyelenggara,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar kemarin (1/7).
Ketentuan 15 Juli diambil berdasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tentang Pendanaan Pilkada. Dalam pasal 16 ayat (4) disebutkan, pencairan tahap pertama sebesar 40 persen dilakukan 14 hari setelah penandatanganan NPHD. Sementara tahap kedua sebesar 60 persen dicairkan paling lama 5 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Pertimbangan lainnya adalah jadwal dan tahapan. Pada tanggal tersebut proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih sudah berjalan. Ribuan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) pun sudah aktif dan perlu digaji.
Dari 270 daerah penyelenggara pil
kada, data Kemendagri mencatat baru sepuluh daerah saja yang sudah ”melunasi” anggaran NPHD 100 persen kepada KPU dan Bawaslu daerahnya. Kemudian, ada enam daerah lainnya yang sudah mencairkan untuk Bawaslu 100 persen, tapi untuk KPU belum penuh. Sementara mayoritas daerah lainnya belum mencairkan 100 persen, baik kepada KPU maupun Bawaslu.
”Kemendagri mengapresiasi daerah yang sudah mentransfer 100 persen dana pilkada kepada penyelenggara. Untuk daerah lain kami dorong segera cairkan sisanya,” imbuh dia.
Terpisah, Sekjen DPN Partai Gelora Mahfuz Sidik mengatakan, KPU harus membuat terobosan model pilkada yang lebih efisien. Sebab, kondisi perekonomian Indonesia saat ini berat. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Menurut Mahfuz, tetap melaksanakan pilkada dengan pola high cost di tengah kondisi saat ini menjadi tidak rasional dan tidak logis. ”Maka, jalan tengahnya harus dicari KPU. Jangan hanya membelanjakan APBN,” tutur dia.
Mantan anggota DPR itu mengatakan, dalam kondisi pandemi seperti sekarang, hasil pilkada juga tidak sertamerta memperbaiki kondisi masyarakat di daerah. Apabila tidak ada terobosan, sebaiknya pilkada diundur hingga 2021.
Namun, kata Mahfuz, risikonya akan banyak pelaksana tugas (Plt) kepala daerah. Tetapi, Plt tidak bisa mengambil keputusan strategis di daerahnya. ”Jadi, jangan sampai malah mengganggu kepentingan masyarakat yang lebih besar,” tutur dia.
Mahfuz menambahkan, Presiden Joko Widodo bisa menerbitkan perppu untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah jika pilkada digelar pada 2021 agar tidak ada Plt. Sehingga kepala daerah tetap dapat mengambil keputusan strategis. Sebab, masa jabatan kepala daerah selama lima tahun.
Namun, apabila pilkada tetap digelar pada 9 Desember 2020, KPU perlu merumuskan terobosan yang efisien demi mencegah persebaran Covid-19. ”Misalnya, tidak ada kampanye tatap muka dan mendatangi pemilih saat pencoblosan,” terang dia.