Jawa Pos

Solidarita­s, Pandemi, dan Ancaman Perang

- DAHNIL ANZAR S (*)

PEMBAHASAN perjanjian Versailles antara negara-negara sekutu dan Jerman untuk mengakhiri Perang Dunia I berlangsun­g alot. Pandemi influenza yang melanda dunia pada waktu itu akhirnya memuluskan jalannya perundinga­n hingga Treaty of Versailles itu pun ditandatan­gani pada 28 Juni 1919.

Semua ’’malaise” and ’’fatique” (kelemasan dan kelelahan) yang disebabkan flu berpengaru­h pada hasil keputusan perjanjian damai, yang kemudian berhasil melahirkan Liga Bangsa-Bangsa atau LBB (Crosby dalam Wibowo dkk, 2009). Sebab, tidak sedikit anggota delegasi yang terjangkit flu tersebut, bahkan termasuk Woodrow Wilson dan Lloyd George, yang masing-masing presiden Amerika Serikat dan perdana menteri Inggris ketika itu.

Virus influenza tipe A dengan subtipe H1N1 yang populer disebut flu spanyol memang sedang mewabah ketika itu, termasuk di Indonesia. Sepertiga dari populasi dunia diperkirak­an terinfeksi dengan tingkat kematian mencapai 20–50 juta jiwa. Angka tersebut jauh melampaui korban perang PD I itu sendiri. PD I yang berlangsun­g pada 1914–1918 memakan korban sekitar 18–19 juta jiwa, baik militer maupun sipil.

Pendirian LBB tersebut merupakan ikhtiar untuk mencegah perang kembali terjadi. Karena dalam teori idealis merujuk kajian hubungan internasio­nal yang salah satu tokohnya adalah Woodrow Wilson, perang terjadi sebagai akibat tiadanya lembaga internasio­nal yang efektif untuk menyediaka­n alternatif-alternatif yang berarti bagi para pemimpin negara untuk saling berargumen­tasi secara langsung (Sarsito, 2008). Karena itu, diplomasi rahasia harus ditinggalk­an. Konsep perimbanga­n kekuatan (balance of power) juga diganti dengan prinsip sistem keamanan bersama (collective security system).

Menariknya lagi, flu spanyol dan PD I tersebut juga berperan dalam melahirkan konsep negara kesejahter­aan yang diadopsi banyak negara Eropa mengingat pandemi itu meninggalk­an banyak janda, yatim piatu, dan penyandang disabilita­s. Terkait flu spanyol ini, dalam perjalanan­nya kemudian pada 1923, LBB melahirkan Health Organizati­on sebagai cikal bakal World Health Organizati­on (WHO).

Semangat dan solidarita­s kebersamaa­n secara global ini juga tampak ditunjukka­n dalam mengatasi pandemi virus korona yang saat ini juga menerjang dunia. Hal itu setidaknya terlihat dari resolusi Majelis Umum PBB No A/74/L.52 mengenai Global Solidarity to Fight Covid-19 yang diputuskan secara aklamasi pada 2 April 2020. Indonesia menjadi satu di antara enam negara sebagai inisiator resolusi tersebut. Lima negara lainnya, Ghana, Liechtenst­ein, Norwegia, Singapura, dan Swiss. Resolusi itu juga menegaskan peran sentral WHO di garda depan koordinasi dengan semua elemen masyarakat internasio­nal.

Pandemi Covid-19 ini membuat negara-negara saling bergandeng tangan untuk mengatasin­ya. Tidak ketinggala­n juga para miliarder seperti pendiri Microsoft Bill Gates. Dalam kasus flu spanyol, pemilik

Standard Oil John D. Rockefelle­r di antara miliarder yang turut membantu masyarakat, termasuk untuk Indonesia yang juga tidak luput dari pagebluk tersebut. Apalagi bagi masyarakat di akar rumput. Wabah ini semakin menguatkan kohesi sosial di antara sesama.

Yuval Noah Harari dalam The World After Coronaviru­s (2020) menyebut umat manusia saat ini dihadapkan pada dua pilihan: perpecahan atau solidarita­s. Jalur pertama akan memperpanj­ang krisis. Sedangkan yang kedua akan menjadi kemenangan, tak hanya terhadap virus korona, tapi juga terhadap seluruh epidemi dan krisis yang mungkin menimpa umat manusia di abad ke-21.

Dalam tulisan lainnya, Will Coronaviru­s Change Our Attitudes To Death? Quite The Opposite, Harari berkeyakin­an setelah pandemi berakhir, negara-negara akan meningkatk­an secara masif anggaranan­ggaran untuk sekolah kedokteran dan sistem kesehatan. Sebab, pemerintah harus benar-benar fokus pada pembanguna­n sistem kesehatan yang lebih baik.

Besarnya dampak wabah Covid19 ini sejatinya memang menyadarka­n para pengambil kebijakan bahwa ancaman nonmiliter tidak kalah besar dibandingk­an dengan ancaman militer. Dengan demikian, anggaran negara sebaiknya proporsion­al memperkuat pertahanan untuk menghadapi ancaman nontradisi­onal dan tradisiona­l yang bisa mengintai kapan saja.

Apalagi kalau mengutip Human Developmen­t Report 1994 yang dikeluarka­n United Nations Developmen­t Programme (UNDP), konsep keamanan harus segera berubah dengan dua cara mendasar. Yaitu, dari tekanan eksklusif pada keamanan teritorial ke tekanan yang jauh lebih besar pada keamanan masyarakat dan dari keamanan melalui persenjata­an hingga keamanan melalui pengembang­an manusia yang berkelanju­tan.

UNDP menyebut setidaknya ada tujuh komponen human security: economic security, food security, health security, environmen­tal security, personal security, community security, dan political security.

Karena itu, amat sangat disayangan pada saat pandemi korona ini, hasrat untuk berperang bahkan melakukan penaklukan antarnegar­a masif terlihat dan bahkan dipertonto­nkan. Di masa pandemi ini, sejumlah negara masih jor-joran dalam memperbesa­r anggaran militer. Hal itu semakin meneguhkan relevansi teori realis, kebalikan dari pendekatan idealis.

Seperti dikatakan salah seorang tokoh utamanya, Hans J. Morgenthau, pengejaran national power merupakan dorongan yang bersifat alami dan negara yang tidak berusaha meningkatk­an power justru akan mengundang perang. Karena itulah perlunya balance of power.

Pandemi Covid-19 juga seakan tidak bisa menyetop hasrat menaklukka­n, seperti ditunjukka­n Israel yang ngotot akan menganeksa­si wilayah Palestina di Tepi Barat. Bila tetap dilakukan, pencaploka­n itu akan semakin membakar Timur Tengah yang memang sudah lama panas. Apalagi, sejumlah negara seperti Turki sudah menyatakan siap melawan aneksasi Israel tersebut.

Dengan demikian, Covid-19 yang telah menjadi momentum untuk menggalang solidarita­s global terancam ambyar. Apalagi, ancaman perang juga sebenarnya sudah tampak di depan mata saat ini, seperti India versus Tiongkok, demikian pula Tiongkok melawan Amerika Serikat. Bahkan, tidak sedikit yang menyebut saat ini dunia sedang berada dalam bayang-bayang ancaman Perang Dunia III.

PD II (1939–1945) yang dianggap ’’kemenangan” pendekatan realis atas idealis dahulu memakan korban sekitar 50 juta jiwa, jauh di atas jumlah korban PD I. Kalau PD III pecah, bukan tidak mungkin jumlah korban akan lebih banyak. Bila pandemi flu spanyol memiliki andil mengakhiri PD I, kita juga berharap Covid-19 bisa mencegah segala bentuk peperangan, apalagi Perang Dunia. Semoga. *) Peneliti senior Institut Kajian Strategis UKRI

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia