Potensi Banjir Politik Uang
HASIL survei politik uang yang baru dirilis Sindikasi Pemilu dan Demokrasi benar-benar sangat memprihatinkan. Lebih dari 60 persen pemilih pilkada 2020 siap menerima sogokan dari para calon kepala daerah. Bahkan, mereka sudah menganggap money politics semacam itu sudah biasa. Meski terancam pidana.
Angka 60 persen adalah hasil survei di Jawa. Sementara itu, di Sumatera mencapai 62,95 persen. Di Kalimantan lebih tinggi lagi, yakni 64 persen. Money politics adalah rezeki. Pengganti penghasilan lantaran hari itu harus pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Begitulah anggapan mereka.
Tingginya persentase penerima politik uang saat ini tak lepas dari tekanan ekonomi akibat Covid-19. Kisah-kisah warga yang kesulitan keuangan begitu mudah ditemui. Yang terpukul tak lagi hanya orang-orang yang mengandalkan penghasilan harian. Jutaan karyawan turut merasakan hal yang sama.
Data Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan, hingga awal bulan ini, sudah lebih dari 3 juta pekerja di-PHK karena dampak Covid-19. Bahkan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia punya perkiraan yang jauh lebih tinggi. Yakni, 15 juta pekerja kena PHK.
Menurut mereka, angka yang masuk ke pemerintah hanya yang dilaporkan. Sebaliknya, yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Contohnya, UMKM yang gulung tikar dan mengakibatkan para pekerjanya jadi penganggur. Mereka itu, termasuk keluarga yang ditanggung, berpotensi bersikap menerima apa pun pemberian uang meski bernuansa politis.
Tengok saja, betapa banyak orang yang nekat berkerumun untuk antre mengambil bantuan sosial beberapa waktu lalu. Padahal, kala itu sedang tinggi-tingginya angka persebaran Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan saat itu tak digubris. Asal bisa terima bantuan, tertular virus mematikan pun tak lagi peduli.
Ditambah lagi, para calon kepala daerah petahana tak malu-malu memolitisasi bansos. Hingga Mei lalu, sudah ada 23 kasus politisasi bansos dari 11 provinsi. Para calon petahana menempelkan gambar wajah mereka di berbagai bentuk kemasan bansos.
Berbagai realitas tersebut tentu sangat mengancam kualitas demokrasi yang dihasilkan oleh pilkada 2020. Apalagi kalau kecenderungan itu tak diantisipasi mulai sekarang. Mengandalkan pengawasan oleh Bawaslu jelas tidak cukup. Diperlukan partisipasi seluruh pihak, termasuk para tokoh masyarakat, untuk mencegah perilaku yang sebenarnya diharamkan oleh agama itu.