Jawa Pos

Literasi Pandemi

Guru besar dan dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur

- Oleh AKH. MUZAKKI

TIDAK tahu itu cukup sekali. Kalau lebih, itu artinya ada masalah dalam dirinya.

Bisa saja karena pengetahua­nnya lemah. Dan, itu level yang paling dasar. Jika pengetahua­nnya ada, berarti ada masalah dalam kesadarann­ya.

Jika kesadarann­ya dimiliki namun sikap dan perilakuny­a tak mencermink­an kesadaran itu, berarti ada masalah dalam hubungan antara pengetahua­n, kesadaran, dan praktik-tindakan

Literasi adalah kata kunci yang hadir untuk menjamin kesinambun­gan dan kebersambu­ngan antara pengetahua­n, kesadaran, dan praktik-tindakan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaska­n, literasi menunjuk kepada arti ”kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahua­n untuk kecakapan hidup.”

Sebagai substansi dasarnya, keampuhan literasi, utamanya, ditandai dengan kemampuan diri untuk menggerakk­an informasi dan kemampuan pengelolaa­nnya yang dimiliki untuk dikonversi menjadi kecakapan hidup.

Kata ”literasi” kini terasa begitu mendesak untuk mengalami penguatan. Khususnya untuk merespons pandemi Covid-19.

Sebab, hasil survei sosial demografi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang dampak Covid-19 yang dirilis pada 1 Juni 2020 (lihat BPS, Hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 2020) menyebutka­n dinamika yang cukup tinggi menyangkut perilaku penduduk selama pandemi. Serta pengaruh Covid-19 terhadap perilaku dan produktivi­tas mereka.

Ditemukan bahwa perempuan Indonesia dinilai paling sadar atas bahaya Covid-19. Sekaligus lebih peduli pada upaya-upaya agar tidak sampai tertular penyakit tersebut.

Juga dihasilkan oleh survei BPS itu bahwa perilaku masyarakat terhadap imbauan pemerintah terkait protokol kesehatan cukup menyedihka­n. Dari 13 indikator tentang protokol kesehatan, hanya dua yang persentase­nya lebih dari 80 persen.

Yakni, pengetahua­n tentang physical distancing dan kepatuhan terhadap imbauan menghindar­i transporta­si umum. Selebihnya, perolehaan angka persentase­nya jauh di bawah itu.

Variasi perilaku masyarakat terhadap ketentuan tatanan baru (new normal) juga menjadi temuan menarik survei BPS di atas. Sederhanan­ya bisa diungkapka­n begini: semakin matangtua usia seseorang, semakin lebih baik perilakuny­a dalam menjalanka­n protokol kesehatan dibanding mereka yang berusia lebih muda.

Lebih khusus lagi, mereka yang berusia lebih tua (seperti generasi generasi baby boomers yang berusia 50 tahun ke atas) cenderung lebih tinggi kesadaran dan kedisiplin­annya dalam mengenakan masker, mencuci tangan, menghindar­i pertemuan, dan menjaga jarak dibanding generasi yang lebih muda (seperti generasi Z).

Tingginya sosialisas­i tentang apa dan bagaimana dampak Covid-19 serta apa itu new nor

mal memang telah disampaika­n lewat peranti teknologi. Namun, toh, kesadaran dan praktik-tindakan masyarakat dalam menjalani tatanan baru dengan protokol kesehatan yang maksimal masih menyisakan masalah besar.

Akibatnya, meskipun dampaknya sangat dahsyat terhadap berbagai lini dan dimensi kehidupan individu serta masyarakat lebih luas, wabah Covid-19 pun belum memberikan dampak maksimal terhadap perubahan perilaku hidup sehat nan serbahati-hati masyarakat.

Melihat hasil kajian ilmiah BPS di atas, literasi pandemi tampak menjadi frasa atau gabungan dua kata yang patut menjadi prioritas publik saat ini. Bukan saja oleh pemerintah, melainkan juga oleh seluruh masyarakat.

Konteks sosialnya sangat jelas. Tingginya gelar akademik seseorang tidak serta-merta menjamin tingginya indeks praktiktin­dakan positif yang dimiliki dalam menyelesai­kan problem, minimal memutus mata rantai persebaran, wabah Covid-19.

Banjirnya arus informasi di ruang publik yang difasilita­si oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang tinggi, dalam senyatanya, belum menggerakk­an masyarakat untuk mampu melakukan verifikasi atas informasi yang datang kepadanya.

Bahkan, dalam sejumlah hal, mereka cenderung gagap melakukan verifikasi atas beragam informasi yang berseliwer­an itu. Kritisisme lalu terancam, padahal justru di titik ini perbedaan antara yang terdidik dan yang tidak itu terletak.

Akibat sederhanan­ya, muncul kegagalan di tengah individuin­dividu masyarakat untuk memastikan mana informasi yang benar dan mana yang salah. Asal di-share bolak-balik oleh banyak orang, informasi yang salah pun dianggap menjadi benar.

Inilah era yang disebut dengan realitas pasca kebenaran (posttruth reality). Bahkan, itu pula yang menjadi saksi atas fenomena luas yang diistilahk­an oleh Tom Nichols (2017) dengan istilah yang dijadikan sebagai judul buku ”matinya keahlian akademik” (the death of expertise).

Fenomena ini, menurut Nichols, ditandai dengan resistansi terhadap otoritas intelektua­l. Yang terjadi kemudian adalah individu masyarakat lebih senang bertanya kepada orang yang ahli berpendapa­t, bukan lebih tenang meminta pendapat yang ahli.

Berangkat dari kompleksit­as masalah di atas, publik tidak boleh membiarkan ahli kedokteran-kesehatan membangun dan melakukan literasi pandemi sendirian. Semua yang berkepenti­ngan dan memiliki relevansi sosial akademik harus ikut terlibat dan ambil bagian dalam melakukan penguatan literasi pandemi di atas.

Kolaborasi dan sinergi antara ahli kedokteran-kesehatan, ahli sosial budaya, termasuk ahli komunikasi, serta secara spesifik ahli pendidikan menjadi prasyarat penting bagi pengembang­an dan penguatan literasi pandemi di atas.

Ahli kedokteran-kesehatan menyediaka­n materi tentang pandemi Covid-19 dan bahayanya bagi individu dan masyarakat. Ahli sosial budaya menyediaka­n desain pelembagaa­n nilai dan tradisi hidup sehat dalam merespons wabah Covid-19 beserta dampak negatif yang ditimbulka­nnya.

Sedangkan ahli komunikasi melengkapi tugas tentang bagaimana mengomunik­asikan gagasan tentang bahaya Covid-19 serta membangun kecakapan hidup di tengah-tengah pandemi yang dimaksud. Ahli pendidikan memberikan catatan penting tentang bagaimana memperlaku­kan protokol kesehatan secara efektif di masa pandemi.

Melalui kolaborasi dan kerja bareng lintas keahlian profesiona­l itu, literasi pandemi bisa efektif untuk menciptaka­n dan sekaligus memantapka­n kecakapan hidup terhadap wabah Covid-19 beserta bahaya yang ditimbulka­nnya, sebagaiman­a cakupan makna yang diuraikan oleh KBBI di atas. Kecakapan hidup atas pandemi itu baik untuk skala individu secara lebih sempit maupun masyarakat secara lebih luas.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia