Kemuraman dan Kelucuan dalam Satu Tarikan Napas
Ben Sohib begitu luwes dalam menyusun narasi dan dialog. Umpama seorang pelawak tunggal, dia tak terburu-buru mengemukakan punch line.
SEORANG bijak bilang hidup cuma perputaran antara tragedi dan komedi. Dalam semesta Ben Sohib, orang bijak itu hanya setengah benar.
Sebab, lebih tepat hidup adalah tragedi sekaligus komedi. Kita bisa menyebutnya tragikomedi –sebentuk istilah dalam dunia drama untuk menunjukkan cerita yang menggabungkan unsur tragedi dan komedi. Dalam kisah tragikomedi, kita bisa menemukan kemuraman dan kelucuan dalam satu tarikan napas.
Sebelas cerita dalam kumpulan cerpen perdana Ben adalah sehimpun kisah tragikomedi yang merentangkan tema khas, mengenai kehidupan tokoh-tokoh Arab-Betawi beserta pelbagai problematikanya. Kita akan dibawa menyelami kehidupan makelar tanah licik dan pedagang batik yang hobi ”jajan perempuan”. Juga, penipu ulung yang memanfaatkan kematian orang untuk mengeruk uang hingga pedagang-pedagang bernasib malang yang ironisnya disebut sebagai ”kisah-kisah perdagangan paling gemilang”.
Hanya dua cerpen (Don Quixote Tak Lagi Memerangi Kincir dan Kafe Rossana) yang polanya agak berbeda. Don Quixote merupakan parodi atas kisah Don Quixote de la Mancha yang masyhur itu. Adapun Kafe Rossana menceritakan seorang pria kelas menengah yang baru tahu istrinya berselingkuh setelah bertahun-tahun menikah.
Dalam setiap cerita yang sebagian pernah tayang di media massa itu, Ben begitu luwes dalam menyusun narasi dan dialog. Umpama seorang pelawak tunggal, dia tak terburu-buru mengemukakan punch line dan selalu melempar bit-bit pada waktu yang tepat.
Kita akan mudah tergelak dengan
bagian-bagian kocak yang terhampar sepanjang buku. Namun, sebagaimana lazimnya tragikomedi, bagian lucunya bisa berubah jadi menyedihkan jika kita lihat dari sisi lain.
Dalam semesta cerpen Indonesia kontemporer, tak banyak cerpenis yang lihai menyusun cerpen penuh humor tanpa harus mengorbankan kualitas cerpen sebagai karya sastra. Sebelum Ben, hanya Yusi Avianto Pareanom dengan dua bukunya (Rumah Kopi Singa
Tertawa dan Muslihat Musang Emas) yang cerpen-cerpen kaya humornya cukup menarik perhatian.
Sebetulnya ada juga nama A.S. Laksana dan Dea Anugrah. Akan tetapi, cerpencerpen A.S. Laksana kelewat gelap sebagai humor, sedangkan cerpen-cerpen Dea terlampau sinis.
Cerpen-cerpen Ben berdiri di tempat yang berbeda dengan pendekatan lebih santai dan jauh dari kesan gelap. Ceritaceritanya terang benderang, baik sisi tragisnya maupun lucunya.
Kendati bergaya komedi, bukan berarti cerita-cerita dalam buku ini tak mengusung nilai apa-apa. Ia bukan sekadar sekumpulan bualan yang kebetulan punya sisi lucu dan menyedihkan. Dengan
mengambil Jakarta sebagai latar tempat kebanyakan cerita, Ben juga mengangkat sekaligus mengkritik kehidupan sosial-budaya ibu kota.
Cerpen Haji Syiah menyuguhkan cerita getir tentang sepasang pemabuk yang hijrah menjadi orang yang menekuni ilmu agama. Namun, alih-alih membaik, kehijrahan mereka malah membuat mereka terjebak dalam sikap beragama yang kaku dan berlebihan. Agaknya cerita itu relevan dalam kehidupan sehari-hari kita belakangan ini, di mana banyak orang yang mengaku hijrah tiba-tiba mengecap jelek semua orang yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka.
Bagaimanapun, Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang adalah kumpulan kisah tragikomedi –kisah-kisah tragikomedi paling gemilang. Kita bisa berdebat soal kata paling dalam frasa paling gemilang, tapi saya tidak akan menarik kata-kata selainnya. Dan, kita bisa merasakan tragikomedi gemilang itu sejak cerita Para Penjual Rumah Ustazah Nung hingga 10 cerita setelahnya.