’’Cat Calling’’
BADAK-BADAK percaya pada culanya. Kijang-kijang percaya pada kaki belakangnya. Macan-macan percaya pada belangnya. Bulusbulus percaya pada akalnya. Seluruh kobra percaya pada bisanya.
Entah masih percaya entah tidak kepada FIFA dan PSSI, para trenggiling masih percaya bola. Mereka menggulung diri menjadi bola setiap disergap oleh ancaman. Tak satu pun mamalia bersisik ini yang ketika terpojok atau dimarah-marahi di depan publik lantas menyulap tubuhnya membentuk kubus, prisma, atau apem.
Setiap binatang percaya kepada apa yang masing-masing mereka miliki. Demikianlah negeri rimba raya itu dibangun di atas fondasi ragam kepercayaan yang dipeluk oleh tiap-tiap pemiliknya.
Seekor monyet betina masih memeluk setandan pisang ambon ketika malam berseru, ’’Negeri ini semula tenang bagai permukaan sungai di samping rumpun pisang itu, semua toleran kepada kepercayaan pihak lain... tenang ...tenang...damaiiii... sampai datang manusia yang melakukan studi banding. Mereka membanding-bandingkan kepercayaan kami dan membuat harga bahwa cula badak lebih mahal dibanding seluruh gigi kami sehutan.’’
’’Manusia sejak dulu memang selalu bikin repot,’’ gumam capung. ’’Pandemi menurunkan polusi udara. Tapi polusi lain muncul: sampah masker, sampah plastik sarung tangan dan alat pelindung diri.’’
Hewan yang sangat rentan pada polusi itu segera terbang dengan suara kepak sayap yang lebih sunyi dibanding rindu.
’’Hai, manis!’’ sapa cebong kepadanya. Monyet betina yang masih menggerutu dan memeluk setandan buah penopang kesehatan tulang itu tak menyahut.
’’Hai, sayang!’’ sapa kampret. Masih juga si betina jambul kuning kecokelatan itu tak merespons.
Hewan-hewan lain berhadiran. Ada yang melirik monyet itu dengan mata kelincinya. Mereka berkedip-kedip pada betina manis berjambul kuning kecokelatan itu. Cicak-cicak berdecak-decak. Burung murai batu bersiul-siul.
’’Ini pelecehan!!!’’ Akhirnya monyet betina itu mana tahan. Ia berteriak sambil menghamburkan tandan pisang ambonnya. Pisang-pisang beterbangan di angkasa. ’’Memanggil perempuan dengan ’manis’, ’sayang’, itu melecehkan. Melirik perempuan, berkedip-kedip, berdecak-dedak, apalagi sampai bersiul-siul kepadanya, itu juga pelecehan!!!’’
Pasangan Raja-Ratu Singa Sastro-Jendro belum mendengar laporan yang lengkap tentang peristiwa malam itu. Bahwa mata kelinci memang bagus, apalagi kalau melirik. Kepercayaan cicak adalah decaknya. Seperti kepercayaan murai batu adalah siulnya. Mereka akan berdecak dan bersiulan secara alami setiap menyaksikan keindahan wajah Tuhan pada alam semesta, termasuk segala isinya.
’’Kami tak punya niat melecehkan apa-apa!’’ bela cicak.
’’Apalagi berniat melakukan pelecehan seksual!’’ tambahan pembelaan dari murai batu.
Wajah monyet kian meradang. Mata merahnya kian menjadijadi. ’’Kalian memang tidak melakukan pelecehan seksual,’’ berangnya. ’’Tapi, kalian melecehkan kami para monyet secara membanding-bandingkan kami dengan kucing. Seolah-olah kucing lebih baik dibanding kami.’’
Hah? Seluruh hewan bingung. Mereka tak tahu apa yang dimaksud monyet?
’’Jangan pura-pura tidak tahu! Ketahuilah, sekarang panggilan ’manis,’ ’sayang,’ melirik, berkedip, berdecak, dan bersiul-siul itu dinamai cat calling. Panggilan untuk kucing. Aku dan teman-temanku kan jelas-jelas bukan kucing. Kalian jangan tiru-tiru manusia. Hargailah keanekaragaman dan kepercayaan isi rimba.’’
Tak jauh dari cekcok pelecehan itu ada rombongan milenial yang sedang kamping. Seorang cowok mengupingnya. Saat itu juga ia membatalkan gitarannya untuk menyanyi:
Di wajahmu kulihat bulan Menerangi hati gelap rawan Biarlah beta mencari naungan Di wajah damai rupawan Tembang legendaris karya Mochtar Embut itu cuma tercekat di tenggorokannya, batal ia lantunkan untuk milenial perempuan yang melenggang dari tenda sebelah. Takut dituduh pelecehan.