Jejak Jokpin dalam Celana
TANPA celana saya bukan siapa-siapa. Demikian penuturan Joko Pinurbo setiap disinggung tentang ihwal kemasyhuran namanya di kesusastraan Indonesia. Celana yang dimaksud penyair yang dikenal dengan panggilan Jokpin itu adalah puisi berjudul Celana yang terbit
21 tahun lalu.
”Saya ciptakan sebuah karya yang tidak jauh dari jangkauan saya, bukan menjangkau surga, tapi hanya yang ada di dekat manusia,” kata Jokpin. Misalnya saja di Celana. Puisi itu, kata Jokpin, dibuat dalam menyambut demam celana jins di Indonesia.
Perawakannya yang kecil membuat Jokpin kerap kesulitan mencari busana yang pas untuk tubuhnya. Termasuk mencari celana jins. Jadi, bait Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya di puisi yang terbit pada 1999 itu bukan semata-mata kata-kata tanpa kosong tanpa makna.
”Saya itu kalau cari celana tidak cukup hanya di satu atau dua toko,” ujar Jokpin. Sebab, menurut dia, mencari celana jadi untuk laki-laki dengan size 27 sulit. Padahal, sejujurnya, ukuran 27 itu pun masih terbilang longgar saat dikenakan penyair kelahiran 11 Mei 1962 itu. Nah, pengalaman sulitnya mencari celana membuat Jokpin tak bosan mengeksplorasi tema celana dalam karya-karyanya. Menurut pengakuan Jokpin, dari ratusan karyanya, ada sekitar sepuluh yang bertema celana.
Selain celana, Jokpin memiliki ikatan batin dengan kopi. Dia pernah menciptakan Kopi Koplo. Itu adalah puisi yang dia ciptakan pada 2018 dan berkisah tentang kerinduan. Kopi juga menjadi tema yang dibahas dalam Perbincangan Sastra Blak-blakan yang disiarkan lewat kanal Instagram @ sastragpu pada Jumat (3/7).
Pada diskusi yang dipandu Tri Sukma Dewi itu, Jokpin meluruskan paradigma masyarakat yang menyebutkan bahwa arus utama puisi Indonesia saat ini bertema senja, kopi, dan hujan yang dikemas menjadi puisi romantis melankolis.
Misalnya, puisi berjudul Dia Menyeduh Kopi karya Nezar Patria. Di mata Jokpin, ini adalah karya yang keren. Nezar menghadirkan kopi sebagai ingatan kolektif yang buram masyarakat di sana.
’’Kopi sudah menjadi bahasa orang Aceh untuk mengingat sejarah penindasan dan kekerasan,” jelas Jokpin.
Puisi lain soal kopi juga dibacakannya untuk memberikan perbandingan makna berbeda. Yakni, puisi Barangkali karya Aan Mansyur dan Secangkir
Kopi karya Sapardi Djoko Damono. Lewat dua puisi tersebut, pria 58 tahun itu menjelaskan bahwa dalam menggambarkan ritual meminum kopi yang singkat bisa menjadi sebuah kesempatan seseorang untuk berakrabakrab dengan dirinya sendiri sebelum memulai hari yang padat.