Jawa Pos

Surabaya Paling Banyak Korban Virus Korona

Tiap 100 Ribu Penduduk, 18 Orang Meninggal karena Covid-19 Kemenkes Tetapkan Tarif Rapid Test Tertinggi Rp 150 Ribu

-

JAKARTA, Jawa Pos – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharin­i dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa telah pontang-panting berupaya meredam persebaran Covid-19

Namun, hingga kini angka penularan masih saja tinggi. Bahkan, Surabaya menjadi kota dengan angka kematian pasien positif korona tertinggi di Indonesia.

Fakta memprihati­nkan tersebut mengacu pada data terbaru Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC-19) kemarin (8/7). Surabaya mencatatka­n total angka kematian sebanyak 525 orang. Dengan rasio 17,8 kematian per 100 ribu penduduk. Itu berarti tiap 100 ribu penduduk terdapat 17–18 orang yang meninggal karena kasus positif korona.

Peringkat kedua ditempati Kota Makassar dengan jumlah yang jauh di bawah Surabaya, yakni 156 kematian. Diikuti empat kota administra­tif di Provinsi DKI Jakarta. Yakni, Jakarta Timur 142 kematian, Jakarta Pusat (141), Jakarta Selatan (135), serta Jakarta Barat (124).

Dari sisi rasio per 100 ribu penduduk, di bawah Surabaya adalah Kota Banjarmasi­n (16,27) dan Kota Manado (14,5). Kota tetangga sebelah selatan Surabaya, yakni Kabupaten Sidoarjo, berada di peringkat ke-9 dengan 5,87 kematian per 100 ribu penduduk. Sedangkan untuk akumulasi kasus, Sidoarjo menempati peringkat ketujuh dengan 113 kematian.

Jika diteliti secara nasional, ahli epidemiolo­gi Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah mengatakan, hanya 67 kota/kabupaten di Indonesia yang mencatatka­n angka kematian lebih dari 5 orang per 100 ribu penduduk. Sementara itu, 82 kabupaten/kota memiliki 2 hingga 5 kematian per 100 ribu penduduk. Diikuti 81 kabupaten/kota dengan 1 kematian. Lalu, 284 sisanya tidak ada kematian sama sekali. ’’Jadi, hanya 67 kota/kabupaten yang angka kematianny­a tinggi. Sedangkan yang kematianny­a rendah atau tidak ada sama sekali sebanyak 514 kota/kabupaten,” jelas Dewi.

Di tingkat provinsi, Jawa Timur (Jatim) juga tetap menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak di Indonesia (lihat grafis). Jatim memerlukan tes PCR lebih banyak untuk meningkatk­an kualitas pemetaan penularan. Dengan pemetaan tersebut, pemda bisa mengambil langkah yang tepat untuk menangani pandemi Covid-19.

Koordinato­r Tim Data Kawal Covid-19 Ronald Bessie menjelaska­n, yang paling utama harus dikejar pemerintah saat ini adalah meningkatk­an kapasitas tracing dan testing. Pemerintah harus memastikan bahwa mereka yang terjaring dalam tracing wajib menjalani tes swab. ’’Kalau tidak mau swab, dia harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari,’’ terangnya.

Dia mencontohk­an Jatim yang rasio tesnya ada di kisaran 4 pada pekan ketiga Juni lalu. Artinya, untuk 1 kasus baru, hanya ada 4 orang yang dites setelahnya. Padahal, sangat mungkin yang kontak dengan si pasien lebih dari itu. ’’Jatim ini tracing-nya belum jalan dengan baik, testingnya juga,’’ lanjutnya.

Karena itu, seharusnya pemda dipacu untuk memperbany­ak tes PCR bila ingin memetakan penularan. Tidak hanya mengandalk­an rapid test. Sebab, bagaimanap­un, yang dijadikan acuan seseorang tertular Covid-19 atau tidak adalah hasil tes PCR.

Data dwiminggua­n Kemenkes menunjukka­n, pada periode 20 Juni–3 Juli, Provinsi Jatim mencatatka­n penularan harian ratarata 285 kasus. Jauh di atas DKI Jakarta yang sebenarnya juga tinggi, yakni 168 kasus. Meski demikian, untuk jumlah penularan per 100 ribu penduduk, DKI Jakarta memang masih tinggi. Yakni, 1.132,91 per 100 ribu penduduk. Sedangkan Jatim 328,68 per 100 ribu penduduk. Sebab, jumlah penduduk Jatim empat kali lipat Jakarta.

Tarif Rapid Test

Kemenkes mengeluark­an Surat Edaran Nomor HK.02.02./I/2875/ 2020 tentang batas tarif tertinggi pemeriksaa­n rapid test antibody. Penetapan itu diberlakuk­an mulai 6 Juli lalu. Batas tarif tertinggi pemeriksaa­n rapid test adalah Rp 150 ribu.

Rapid test bisa dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Bisa juga di luar fasilitas layanan kesehatan, tapi tetap harus dilakukan tenaga kesehatan.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo mengatakan, besaran tarif tersebut berlaku untuk masyarakat yang menjalani rapid test atas permintaan sendiri. Selama ini harganya bervariasi. Dengan alasan itu, Kemenkes menetapkan batasan tarif tertinggi.

”Kementeria­n Kesehatan telah mengirimka­n surat edaran kepada seluruh kepala dinas kesehatan kabupaten atau kota dan provinsi,” ungkapnya. Surat itu juga dikirim kepada ketua organisasi bidang kesehatan di seluruh Indonesia.

Pada bagian lain, Gugus Tugas Pemprov Jatim menyatakan bahwa tes Covid-19 secara masif masih berlangsun­g. Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Rumpun Kuratif dr Kohar Santoso mengatakan, tes tersebut bertujuan mengungkap kasus di bawah permukaan. Awalnya, program itu diutamakan untuk PDP dan ODP di daerah. ’’Semua bergantung kebutuhan masing-masing,’’ katanya. Kohar menjelaska­n, tes PCR dilakukan ketika hasil rapid test reaktif. Karena itu, kapasitasn­ya bergantung dari hasil rapid test tersebut.

Dia tidak bisa mengungkap­kan jumlah orang yang telah menjalani tes PCR. Namun, jumlah itu bisa dilihat dari penambahan kasus positif selama beberapa hari di Jawa Timur. Cukup tinggi. Sebab, hasil tes masif dan tes PCR juga tinggi. ”Pengungkap­an kasus positif juga tinggi,” ungkapnya.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pernah menyampaik­an, kapasitas tes PCR di Jawa Timur mencapai 2.500 spesimen per hari. Hingga kini, jumlah warga yang menjalani tes masif sudah lebih dari 450 ribu orang. Angka tersebut merupakan hasil tes yang diadakan tim gugus tugas provinsi dan dinas kesehatan daerah. Bisa jadi, jumlah di lapangan berbeda. Sebab, ada warga yang menjalani tes mandiri untuk keperluan pribadi.

Untuk mendukung percepatan tes, 38 laboratori­um telah beroperasi. Dokter Makhyan Jibril, anggota tim gugus tugas, mengatakan bahwa semua laboratori­um itu standar BSL 2. Artinya, tingkat keamananny­a terjamin. ”Sesuai aturan yang ditetapkan tentang tingkatan laboratori­um,” ucapnya.

Serapan Anggaran Kesehatan Baru 5,12 Persen

Pemerintah terus berupaya menggenjot serapan anggaran kesehatan untuk penanggula­ngan pandemi Covid-19. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluara­n Negara Kunta Wibawa Dasa Nugraha menyebutka­n, hingga kini anggaran kesehatan yang terserap mencapai 5,12 persen (setara Rp 4,48 triliun) dari total anggaran Rp 87,55 triliun. Meski naik dari sebelumnya, penyaluran tersebut terbilang lambat. Hal itulah yang menjadi puncak kekesalan Presiden Joko Widodo belum lama ini.

Kunta mengungkap­kan, beberapa persoalan menjadi pemicu lambannya penyaluran anggaran kesehatan. ’’Kendalanya terutama adalah keterlamba­tan klaim, sebenarnya sudah dilaksanak­an, tapi pencairann­ya belum,’’ ujar dia melalui video conference kemarin (8/7).

Seperti diketahui, anggaran kesehatan Rp 87,55 triliun terdiri atas belanja penanganan kesehatan Rp 65,8 triliun, bantuan iuran JKN Rp 3 triliun, insentif tenaga medis Rp 5,9 triliun, santunan kematian untuk tenaga kesehatan Rp 0,3 triliun, gugus tugas Covid-19 Rp 3,5 triliun, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan Rp 9,05 triliun.

Kunta melanjutka­n, pemerintah terus melakukan percepatan agar anggaran tersebut segera terserap. Salah satu caranya adalah merevisi peraturan di Kementeria­n Kesehatan dan Kementeria­n Keuangan.

Direktur Dana Transfer Khusus Direktorat Jenderal Perimbanga­n Keuangan Kemenkeu Putut Hari Satyaka menambahka­n, insentif kepada tenaga kesehatan telah tersalur Rp 1,3 triliun untuk 542 daerah.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Badan Pusat Pengembang­an Sumber Daya Manusia (PPSDM) Pengawasan Obat dan Makanan Kemenkes Trisa Wahyu Putri membenarka­n adanya keterlamba­tan penyaluran anggaran kesehatan. Lalu, ada kebijakan baru yang diharapkan memangkas proses dan tidak ada lagi keterlamba­tan. ”Kami perbarui keputusan menteri kesehatan (KMK) yang bisa mempercepa­t penyaluran dana,” katanya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia