Tindakan, Amar, dan Ruang Kosong
PUTUSAN hakim terhadap dua terdakwa, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, yang menyerang Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memercikkan kontroversi
Meskipun dalam putusan dijelaskan bahwa penyiraman air keras terhadap Novel yang pernah bertugas di Bengkulu direncanakan dan tergolong kejahatan berat, hukuman yang ditetapkan hanya dua dan satu setengah tahun. Bukan tujuh tahun sebagai ketetapan maksimal sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
Masalahnya, putusan itu terkait penafsiran. Jadi, betapa pun bahasa hukum menggunakan bahasa secara ketat, mereka yang membacanya menyodorkan interpretasi. Di sini, banyak kejanggalan dari pernyataan hakim terkait dengan perbuatan terdakwa.
Dalam buku Truth and Method, Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa dulu hakim tidak hanya membaca kitab undangundang atau hukum, tetapi juga harus mengambil mata kuliah hermeneutika. Nah, di sini, betapa seni memahami teks tidak hadir dalam pembacaan hakim.
Dakwaan jaksa menyebutkan, perbuatan itu dilakukan atas dasar kebencian serta memandang Novel mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Anehnya, atas dasar inilah hakim menjatuhkan vonis. Sehingga betapa pun melebihi tuntutan setahun jaksa, yakni 2 tahun dan 1,5 tahun, putusan itu menyisakan bau yang tak sedap. Setebal apa pun (amar putusan sebanyak 232 halaman), aroma itu akan mengotori seluruh lembaran.
Tulisan ini tidak hendak mengungkap apa yang diungkapkan oleh tim advokasi Novel bahwa hakim harus memberikan alasan yang kukuh dengan berdasar dua bukti. Justru keduanya tidak hadir secara utuh dalam persidangan. Bila dalam amar putusan kedua terdakwa melakukannya secara terencana dan mempunyai akibat kecederaan yang berat dan fatal, tentu hukuman semestinya maksimal.
Kita lihat dalam amar bahwa Rahmat yang menambahkan air aki yang merupakan air keras itu ke mug sebenarnya tidak menghendaki luka berat pada korban. Apalagi, anggota Brimob yang terlatih secara fisik itu ingin memberikan pelajaran kepada saksi korban karena hendak membela korps tempat terdakwa bekerja. Dari pernyataan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Djuyamto, jelas dua alasan itu tidak masuk akal.
Secara linguistik, ia justru bertentangan dengan pernyataan selanjutnya bahwa itu dilakukan secara besama-sama dan terencana. Sehingga apa pun motifnya, hukuman berat tidak bisa dielakkan. Apalagi, tindakan main hakim sendiri dilakukan oleh dua orang yang seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan peraturan dan perundangan.
Secara psikologis, sebuah perbuatan itu didorong hasrat (desire) dan pengetahuan (kepercayaan, kode etik, agama, dan adat istidat). Novel Baswedan sendiri menegaskan bahwa putusan itu tidak lebih daripada lelucon (berita RRI Pro-1, 17/7/2020).
Jadi, penilaian hakim bahwa pelaku tidak berniat menimbulkan luka berat adalah sumir. Sebagai warga yang terpelajar serta menjadi aparat yang telah melalui pendidikan dan penyaringan secara kognitif dan kejiwaan, tentu muskil bila anggota Brimob itu tidak menyadari perbuatan jahatnya sejak awal.
Dalam banyak kasus, penyiraman air keras terhadap korban telah menimbulkan luka berat. Jadi, penjelasan hakim menyandarkan perilaku dengan ketiadaan niat tampak janggal.
Sebagai warga terpelajar, tentu anggota Brimob itu telah mengetahui apa yang terjadi apabila asam sulfat disiramkan ke wajah seseorang. Jika hendak meneror, tentu yang bersangkutan cukup menggunakan air. Pemahaman hakim terhadap niat tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan.
Tentu alasan memberi pelajaran jelas bermakna bahwa yang bersangkutan punya justifikasi moral. Tetapi, konotasi istilah itu tidak sama dengan makna denotasi, yang mana seseorang menyampaikan pengetahuan dan penerima menerima sesuatu yang bermakna.
Ironis. Pelajaran apakah yang akan diterima Novel selain penderitaan karena salah satu matanya buta? Bukankah justru itu bumerang kepada pelaku karena main hakim sendiri yang bertentangan dengan jiwa dari penegakan hukum?
Niat sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti kehendak atau maksud dalam hati yang sejatinya membayang sebuah tindakan. Dalam bukti persidangan, air keras itu diperoleh dari mobil Brimob dan dibawa ke rumah Novel di pagi hari.
Dari kenyataan itu, betapa pun secara deontologis pelaku tidak bermaksud seperti yang diungkapkan oleh hakim, secara teleologis perbuatan itu telah menyebabkan penderitaan korban. Jadi, etika konsekuensialis yang menjadi dasar filosofis dari hukum bisa dirujuk sebagai acuan.
Mengingat falsafah bahasa mengandaikan bahasa dan fakta secara identik harus sesuai, ada ruang kosong antara tindakan kejahatan dan penggambaran oleh hakim dalam amar putusan.
Apalagi, fakta-fakta di lapangan, yang dinyatakan oleh saksi dan direkam CCTV, tidak sepenuhnya menjadi pertimbangan hakim secara utuh. Tak pelak, bahasa yang digunakan untuk menetapkan putusan tidak kukuh.
Dari satu pernyataan ke proposisi lain, kita dengan mudah menemukan struktur linguistik dan logis yang tidak sinkron. Peristiwa pengadilan terhadap dua terdakwa yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga negara tidak hanya menunjukkan ambruknya pengadilan, tetapi juga pengetahuan.