Renungan dari Tanah Rantau
Iqbal Aji Daryono memilih menjadi pihak yang tekun mencari dan memaknai data di ’’lapangan’’ untuk dijadikan alternatif-alternatif jawaban atas masalah-masalah yang terjadi di negeri asalnya.
MEMBACA esai-esai Iqbal Aji Daryono dalam buku terbarunya berjudul Tak Ada Kernet di Australia: Imajinasi dan Mimpi dari Balik Kemudi adalah menyimak renungan dari perantau tentang negerinya yang bopeng dan penuh catatan.
Sebagai perantau yang telah menyaksikan banyak kemajuan di negeri asing, ia tak memilih menjadi hakim atas ketimpangan yang terjadi. Ia lebih memilih menjadi pihak yang tekun mencari dan memaknai data di ’’lapangan’’ untuk dijadikan alternatifalternatif jawaban atas masalah-masalah yang terjadi di negeri asalnya.
Tidak jarang, ’’data-data’’ itu hanya berakhir sebagai pertanyaan retoris dan renungan lain di akhir tulisan. Ataupun ia jadikan sebagai pembanding atau pembukti agar dirinya dan pembaca tidak gampang menyimpulkan suatu persoalan tanpa mengerti akarnya.
Bagi banyak pembaca, nama Iqbal tentu tak asing lagi. Selain pernah tinggal di Australia pada 2013–2017 dan bekerja sebagai sopir truk, ia seorang penulis esai dan kolom di pelbagai media daring.
Esai-esainya, baik di media-media daring maupun di buku ini, memiliki penuturan yang memang menjadi ciri khasnya: ringan, mendalam, menyentil, dan bersumber dari kejadian-kejadian di sekitarnya.
Melalui kejadian-kejadian di sekitarnya itu, Iqbal merenungkan banyak persoalan. Renungan itu terjadi karena angkutan yang ia kendarai tak memiliki kernet. Sehingga pikirannya bisa leluasa dan melompat ke mana-mana. Itulah latar belakangnya dalam memberi judul yang tertera itu.
Melalui renungan itu, Iqbal membicarakan banyak persoalan, mulai pendidikan, intrik politik, sosio-kultur, kebijakan publik, agama, hingga persoalan rasis. Tentu daftar topik itu bisa lebih panjang mengingat buku yang berisi 23 esai ini merupakan sekumpulan renungan dari banyak peristiwa yang ia maknai ke dalam persoalan di sekitar kita.
Misalnya, dalam esai pembuka berjudul ’’Rendah Hati’’. Iqbal yang tengah berada di Melbourne Museum bersama anaknya terkejut dengan jawaban anaknya tentang bentuk dinosaurus. Menurut anaknya yang bernama Hayun itu, bentuk dinosaurus yang ada di museum, buku, atau literatur lain ’’it can be right, it can be wrong’’. Bisa benar, bisa salah.
Sebab, hewan-hewan ini memang sudah tak hidup di bumi. Ilmuwan hanya merangkumnya lewat tulang belulang yang telah ditemukan. Pendapat ini diperoleh Hayun dari gurunya di Australia.
Berdasar hal ini, Iqbal memaknai bahwa pendidikan semestinya diajarkan dengan cara ’’rendah hati’’ semacam itu. Sebab, sepanjang sejarahnya, pendidikan selalu berdialektika dan acap menyusun argumen untuk kemudian berbantahan dengan argumen lain.
Maka, mengajarkan pendidikan yang rendah hati itu diperlukan agar tak melahirkan generasi yang ekstrem pada kebenaran tunggal. Baik dalam konteks ilmu pengetahuan maupun dalam beragama.
Tulisan itu tampak reflektif terhadap situasi belakangan di Indonesia yang acap terjadi kekacauan akibat membenarkan kelompok sendiri dan menyalahkan yang liyan.
Kemudian, salah satu sindiran yang mengena terdapat pada esai berjudul ’’Alumni’.’ Iqbal mengkritik para akademisi lulusan luar negeri yang acap mencibir dan membandingkan negara asal dengan tempat mereka berkuliah. Padahal, menurut Iqbal, persoalannya tidak sesederhana negara maju dan negara berkembang.
Lebih dari itu, ada sejarah dan sosiokultur yang amat berbeda antara Indonesia dan negara-negara maju itu. Dan, itu dibentuk tidak hanya dalam sepuluh–dua puluh tahun, tetapi selama ratusan tahun. Alih-alih mencibir, semestinya mereka memetakan sendiri masalah di Indonesia dan mencari solusi untuk kemajuannya.
Selain dua esai itu, masih ada esai-esai lain yang berisi renungan terkait Indonesia dari banyak sisi. Buku ini memang tampak ringan. Namun, bila kita tilik lagi, cara Iqbal mengaitkan satu hal dengan hal lain dengan subtil dan mengalir membuktikan luas dan dalamnya perenungan dan pikirannya dalam memandang suatu persoalan. Penuturan yang mudah dipahami menjadi poin plus tersendiri.