Jawa Pos

Buron Kancil Dicolongka­n Jalan Keluar

- *) Sujiwo Tejo tinggal di Twitter @sudjiwoted­jo dan Instagram @president_jancukers

RAJA Singa Sastro begitu bangun tidur begitu tersadar, eh, ”kok aku tidak di kasur bareng yayangku?”

Ancene! Tak seranjang dengan Ratu Singa Jendro, sang raja rebahan di bantaran suatu kali. Di kamar istana, sebangun tidur matanya biasanya keriyepan sambil diucak-ucak dengan punggung kaki depannya, sementara keningnya dielus-elus oleh sang ratu. Kini netra itu langsung membelalak. Terpana ia oleh anggang-anggang yang berjalan lesat maju-mundur di atas permukaan sungai.

”Kenapa laba-laba di atas air ini sombong kali? Bukankah yang kuasa melangkah di atas muka air cuma para wali? Aku yang bisa mengaum hingga getarannya berakibat seluruh daun segar di rimba raya ini berguguran saja tidak pernah sesombong ini. Aumanku selalu tertakar. Menjelang auman nada tinggiku yang kuasa merontokka­n daun-daun, bahkan bulu mata Syahrini, nada itu kuturunkan lagi. Ya, kuturunkan lagi. Setidaknya kutahan sefrekuens­i itu saja.”

Ada anggang-anggang berarti sungai belum tercemar. Ada anggang-anggang berarti sungai itu, walau mengalir, alirannya tenang. Anggang-anggang suka ketenangan. Mungkin karena itu ia menjadi satu-satunya warga negeri rimba raya yang tak membuat satu pun akun medsos.

Seluruh warganet, termasuk raja sendiri, termakan hoaks bahwa dialah ”laba-laba air”, padahal jelas-jelas dia bukan laba-laba, anggang-anggang tetap tenang.

”Tenanglah, Kakanda. Hidup ini dijalani saja. Mengalir. Walau kita tak bisa menari-nari di atas aliran itu seperti anggang-anggang, hidup toh tetap bisa kita nikmati.”

Ada tangan lembut dari belakang mengelus kening sang raja. Rupanya, pagi itu sang ratu sudah menyusulny­a.

”Ya, Kanjeng Ratu. Hidup ini biar mengalir saja. Tapi, bagaimana kalau dalam aliran itu tahu-tahu tebersit sesuatu yang kita benci? Apakah kita tepis? Itu sama saja menepis aliran!”

”Tiba-tiba Kanda tebersit untuk membenci siapa, seeeeh?”

Raja singa menunjuk sesuatu di permukaan kali dengan kakinya. Matanya melengos tak sudi menatap yang sedang ditudingny­a.

”Ooooo... itu,” ratu singa cekikikan. Ah, menurut ratu, sehebat-hebat serangga itu, Raja Singa Sastro sundul lebih hebat. Serangga itu hanya bisa hekmetehek di atas air. Raja singa mampu berkiprah di atas seluruh angan-angan rakyatnya. Dibandingk­an dengan kancil saja ia tak ada setahi kuku raja.

”Kancil yang sekarang jadi menteri informasi rimba raya? Halah. Doi tak hebat-hebat banget!”

”Tapi, sebelum menjadi menteri, sebelum tertangkap manusia karena nyolong timun, semasih ia menjadi buron di negeri asalnya, wuaaah... doi hebat banget, Kakanda.”

Menurut ratu, waktu menjadi buruan alias buron di negeri asalnya, kancil justru bisa meyakinkan para pemburunya untuk melepaskan­nya. Salah seorang pentolan pemburunya bukan saja melepasnya. Bahkan memberinya surat jalan.

”O ya? Bagaimana cara kancil meyakinkan para pemburunya untuk meloloskan dia?”

”Itulah, Kakanda. Nalar saya juga mentok. Tapi, berarti dia jauh lebih digdaya dibanding anggang-anggang yang sanggupnya cuma melenggang di atas air. Kancil melenggang dalam jemaring sebagai buron!”

”Kamu meremehkan kemampuan menapak di atas air? Meremehkan para wali, kamu?”

”Mboten, Kakanda. Leha-leha di atas air kan bukan cuma satu-satunya karamah wali-wali. Mereka juga bisa mengubah umat untuk tidak membenci satu sama lain. Anggang-anggang malah membuat Kakanda jadi pembenci.”

”Jadi, kancil jauh lebih hebat sampai sanggup meyakinkan penguasa membuatkan­nya KTP, surat bebas wabah, dan lain-lain?”

Ratu singa mengangguk, ”Itu pun Kakanda masih jauh lebih hebat dari kancil.”

”Apa kehebatank­u?” ”Menangkap buron di hatikyuuuu­u.”(*)

 ?? ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia