Jawa Pos

Misuh Itu Ekspresi

-

’’DASAR monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoak bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaur­us, kirik,’’ itu misuh ala komedian Kasino dalam Dongkak Antik.

’’Trembelane,” itu misuh ala pranatacar­a asal Jogja Alit Jabang Bayi.

’’Woo, kerdus! Gombal mukiyo,” itu misuh ala pegiat bahasa Jawa Danang Marto Paidi.

Beragam jenis misuh, menurut pemerhati budaya sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universita­s Airlangga Kukuh Y. Karnanta, itu bermuara pada satu hal. ’’Misuh itu ekspresi. Marah, kagum, sampai sapaan akrab semua bisa untuk bahan misuh,” kata Kukuh kemarin (18/7). Jadi, misuh itu tak bisa langsung dinilai sebagai barisan kata-kata tak pantas.

Pemimpin Redaksi Tabloid Bahasa Jawa Jawacana Paksi Raras Alit malah membagi misuh berbahasa Jawa itu ke dalam beberapa kategori. Pertama, misuh dengan kata-kata yang sudah punya arti ketika tidak dalam konteks misuh, tapi kemudian disepakati masyarakat sebagai misuh. Misal: asu, lambemu.

Kedua, misuh yang secara katakata tak punya arti, tapi kemudian dimaknai sebagai pisuhan. Bahkan seandainya dicari dalam kamus, jenis misuh itu tak akan ditemui. Contoh kata: trembelane, sontoloyo, prek, jancuk, mbokne ancuk. Ketiga, ada misuh yang diperhalus atau diprlesetk­an. Misal: asuog, jiambu.

’’Misuh ini benar-benar konsensus atau kesepakata­n zaman. Setiap zaman punya cara misuh sendiri-sendiri. Misuh di zaman pujangga Ranggawars­ita tentu beda dengan angkatan Aan Mansyur,” ucap Paksi.

Misuh jelas bertentang­an dengan budaya Jawa yang di manamana dikenal sebagai budaya adiluhung. Karena itulah, Ketua Jawasastra Culture Movement Yani Srikandi menyebut misuh sebagai antitesis dari konsep adiluhung budaya Jawa. Maka, Jawasastra tahun ini kembali mengadakan sayembara internasio­nal untuk mencari siapa yang paling unggul dalam misuh. Tahun ini sayembara misuh berlangsun­g pada 8 Juli sampai 7 Agustus 2020.

Sayembara tahun ini bertema #MisuhiPand­emi. Dalam hal ini, mengumpat pada pandemi Covid-19 yang telah membawa dampak buruk bagi tatanan kehidupan masyarakat. Para peserta diminta mengunggah video singkat di akun Instagram masing-masing dengan menandai akun @Jawasastra di videonya.

Tahun ini, pandemi Covid-19 memunculka­n ide bagi Jawasastra untuk membuat ajang sayembara lagi. ’’Banyak orang marahmarah nggak jelas karena pandemi, akhirnya menginspir­asi kami untuk membuat sesuatu yang lebih besar,’’ ujar Yani.

Para peserta dibebaskan untuk misuhi pandemi dengan beragam cara. ’’Mungkin nalika kowe misuh iki ono rintihan hatimu sing terdalam perkoro bab korona,’’ ucap Yani. Namun, tetap ada batasannya. Dilarang misuhi orang tua, guru, dan dosen; kekurangan orang lain, orang tak dikenal, atau misuh dengan objek yang rasis dan seksis. Pihaknya juga mendiskual­ifikasi video misuh yang melibatkan anak-anak dan peserta di bawah usia 18 tahun.

Tahun ini merupakan sayembara misuh ketiga yang diadakan Jawasastra. ’’Kali pertama diadakan pada 2018,’’ tutur Yani saat berbincang dengan Jawa Pos Jumat (17/7). Misi utamanya adalah mempelajar­i kebudayaan Jawa secara utuh. Karena meski bertentang­an dengan konsep adiluhung, faktanya misuh sudah jamak ditemui di tengah-tengah masyarakat.

Lewat sayembara, misuh bisa diwadahi di jalur dan konteks yang tepat. Dia mencontohk­an sayembara misuh pada 2018. Temanya, Mending Saru Ketimbang SARA. Artinya, setiap pisuhan yang dilontarka­n dilarang keras untuk menyinggun­g, apalagi mengumbar kebencian, pada hal-hal yang terkait SARA. Saat itu pesertanya cukup banyak.

 ?? ALFIAN RIZAL/JAWA POS ?? ADU KREASI: Pandemi Covid-19 ”melahirkan” berbagai aksi kreatif masyarakat dalam berbagai bidang.
ALFIAN RIZAL/JAWA POS ADU KREASI: Pandemi Covid-19 ”melahirkan” berbagai aksi kreatif masyarakat dalam berbagai bidang.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia