Jawa Pos

Penggemar Terbesar Bukan Kalangan Tua

-

CD terbaru Tulus hingga piringan hitam mendiang Broery Marantika ada. Kaset pertama Karpet, yang disebut-sebut sebagai rekaman indie pertama band Surabaya, juga ada.

’’Koleksinya memang dari era 1960-an. Kebanyakan band Indonesia yang lama-lama. Ada penyanyi Asia Tenggara, seperti dari Singapura,’’ kata Erlangga Irawan.

Angga, sapaan Erlangga, adalah pemilik Cempaka Music Store. Didirikan pada 2015, toko yang bermarkas di Ketintang, Surabaya, itu didominasi rilisan fisik bergenre indie rock.

’’Dari pertama bikin Cempaka, emang lebih condong ke genre itu. Sebab, yang metal kan sudah banyak,’’ paparnya. Namun, dia tidak menutup mata pada musik lain

Di awal buka, Angga melego banyak koleksi pribadi. ’’Setelah dipikir, sayang banyak yang dilepas waktu itu,’’ kenangnya.

Namun, seiring berjalanny­a waktu, dia mulai berburu. Dari kolektor, distributo­r lawas, pasar loak, hingga toko album yang mengobral koleksinya lantaran akan tutup. ’’Kalau ngeloak, memang harus teliti. Yang sudah lama koleksi pasti ngerti yang bagus seperti apa,’’ lanjutnya.

Dia juga ’’disuplai’’ temannya yang tinggal di luar negeri. Selain rilisan fisik preloved, Cempaka Music Store menjual koleksi yang masih tersegel. Baru. ’’Ada rilisan lama, misal kaset tahun 2000-an, tapi sealed. Ada yang memang kaset baru. Biasanya dari label independen,’’ paparnya.

Pria yang pernah tinggal di Jakarta itu menyatakan, kaset baru umumnya merupakan rilisan eksklusif. Hanya dicetak dalam jumlah terbatas –bukan lagi produksi masal.

Walau banyak tergeser layanan streaming, penjualan rilisan fisik masih bagus. Bahkan, kata Angga, tren mengoleksi kaset pernah mencapai puncak pada 2015–2017.

’’Saya bertahan koleksi dan jual rilisan fisik karena passion dan percaya. Percaya kalau masih banyak kolektor yang mencari,’’ lanjutnya.

Di masa pandemi Covid-19, misalnya, penjualan daring naik. ’’Toko (offline) sendiri sudah tutup 2–3 bulan. Hanya buka by appointmen­t,’’ paparnya.

Selama pandemi, Angga mengaku mampu menjual rata-rata total 50 CD, kaset, serta vinyl. Namun, perolehan itu masih jauh jika dibandingk­an dengan Record Store Day (RSD).

’’Hari raya’’ para kolektor dan pedagang rilisan fisik tersebut mampu menggenjot pendapatan hingga 10 kali lipat. ’’Selisihnya jauh. Soalnya, koleksi ’ajaib’ dan langka keluar semua. Toko yang biasanya online aja ikut melapak,’’ lanjutnya.

Penggemar kaset, CD, maupun piringan hitam pun bukan cuma orang tua. ’’Dari data Instagramt­oko, yang paling sering lihat kategori umur 18–35 tahun,’’ terang Angga.

Cakupan ’’selera’’ pelanggan Cempaka Music Store pun beragam. Album pop oriental 1960-an asal Singapura juga punya peminat. ’’Kalau yang anti-mainstream seperti itu, biasanya produser musik atau DJ. Lagu tadi dipakai untuk sampling karena sound-nya enggak umum,’’ ungkapnya.

Dian Wahyuniant­o termasuk yang setia pada rilisan fisik. Dia memulai koleksinya dari album thrash metal, terutama Metallica.

’’Tapi, karena thrash besar di era 1980-an, akhirnya mblakrak ke musik di tahun-tahun itu juga,’’ papar Ian, sapaan Dian.

Karena itu, nyaris seluruh koleksinya adalah kaset secondhand. Dia menjelaska­n, kondisi kaset yang dijual umumnya baik. ’’Kalau online, berdasar pengalaman dan observasi, bakul (penjual) pasti menjual yang mulus. Beda kasus kalau hunting di loakan,’’ ungkap kolektor asal Kediri itu.

Ian menyatakan, momen terbagus buat berburu kaset adalah di RSD. Seluruh koleksi –termasuk rilisan eksklusif nan langka dengan stok terbatas– ’’keluar’’ dari sarangnya.

Demi mendukung hobinya, Ian juga rela menyiapkan bujet ekstra buat pemutar kaset. Dari tape compo beralih ke tape deck. Alasannya, dengan tape deck, kualitas suara yang dihasilkan lebih detail. ’’Tape compo memang ada speaker dan amplifier juga. Versatile, tapi akhirnya output kaset gak maksimal,’’ lanjutnya.

Adapun Rian Ekky Pradipta mengoleksi kaset dan vinyl karena kebiasaan. Sejak kecil, dia selalu dibelikan kaset oleh sang ayah yang juga seorang kolektor.

”Dulu 2010 belinya cuma Rp 500 ribu, sekarang udah Rp 15 juta. Dan, pernah ditawar Rp 25 juta, tapi nggak akan saya jual karena cuma punya satu,” ungkapnya. Jadi, kata Rian, selain untuk koleksi, piringan hitam juga bisa menjadi investasi.

Menyadari harga piringan hitam yang tak murah di era industri 4.0 ini, dia merawat ribuan koleksinya itu dengan apik. Di tempatkan di satu ruangan khusus di dalam rumahnya.

”Harus yang ber-AC. Kalau kena panas, takutnya meletot,” ucapnya.

Selain karya milik orang lain, Rian menuturkan bahwa ada satu album karya grup musiknya yang dibuat dalam format piringan hitam. Yakni, album berjudul Hidup Lebih Indah rilisan 2014 dan telah diproduksi sebanyak 500 keping.

Rencananya, tahun ini D’Masiv juga bakal mengeluark­an double album yang akan diproduksi dalam bentuk piringan hitam juga. ”Isinya lagu-lagu hits D’Masiv tapi dinyanyika­n secara live. Direkam di London,” tutur Rian.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia