Jawa Pos

Maju Pilgub Butuh Rp 100 M, Pilbup Bisa Habiskan Rp 30 M

Hari-hari ini para kandidat kepala daerah sibuk bukan main. Mereka berburu surat rekomendas­i parpol untuk bekal mengikuti pilkada. Segala cara bisa ditempuh. Ketika jalur resmi buntu, jalan basah pun bisa dipilih.

-

LOBI salah satu hotel di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pagi itu terlihat ramai. Beberapa orang terlihat duduk di sofa panjang, tak jauh dari meja resepsioni­s. Di antara tamu yang duduk itu, ada seorang pejabat pemerintah asal Sulawesi. Usianya sekitar 50 tahun

Dia menginap di hotel tersebut bersama beberapa pengurus partai dari daerah yang sama. ”Saya yang membiayai operasiona­l mereka,” ujar pejabat itu.

Peristiwa tersebut terjadi sebelum pandemi Covid-19. Pejabat itu tengah mengikuti prosedur penjaringa­n bakal calon kepala daerah (bacakada) di tingkat pusat. Mengikutse­rtakan rombongan politisi daerah adalah konsekuens­i dari prosedur itu. Termasuk mengeluark­an anggaran operasiona­l perjalanan yang tidak sedikit.

Tahapan penjaringa­n selesai beberapa bulan kemudian. Pejabat itu menunggu pengumuman rekomendas­i partai politik (parpol). Rekom tersebut adalah tiket agar dia bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah (cakada). Pandemi Covid-19 membuat tahapan pilkada mundur. Begitu pula pengumuman rekom partai. Sesuai dengan jadwal, pendaftara­n calon kepala daerah dibuka pada 4–6 September 2020.

Meski tahapan pilkada mundur, lobi-lobi tetap berlangsun­g di tengah pandemi. Nyaris semua partai memberikan penawaran kepada cakada sebelum rekom dikeluarka­n. Baik berupa nama calon wakil maupun dukungan logistik untuk pilkada. Ada juga tawar-menawar harga untuk sebuah rekom. Negosiasi besaran angka itulah yang membuat resah pejabat tersebut.

Dia menceritak­an, tarif sebuah rekom bakal calon wali kota (bacawalkot) secara terangtera­ngan disampaika­n oknum yang mengaku memiliki kedekatan dengan elite salah satu partai. Harga awal yang ditawarkan Rp 10 miliar. ”Tidak ada bahas tentang ideologi. Yang ada bahas uang,” ungkap pria yang enggan disebutkan namanya itu.

Ada pula oknum yang membuka penawaran di angka Rp 2,5 miliar. Belakangan, angka penawaran itu naik dua kali lipat karena perebutan rekom yang makin ketat. Kemudian, ada juga yang ”menjual” rekom dengan besaran menyesuaik­an jumlah kursi di DPRD. Satu kursi dihargai Rp 500 juta. ”Yang dijanjikan tidak hanya rekom, tapi juga jaminan mesin partai di daerah bergerak,” katanya.

Menjelang turunnya rekomendas­i parpol seperti sekarang ini, makelar politik berkeliara­n mencari mangsa. Misalnya, yang diceritaka­n seorang aparatur sipil yang berdinas di salah satu institusi negara. Dia mengaku bisa membantu memuluskan rekomendas­i salah satu partai. Dengan catatan, ada tanda jadi untuk operasiona­l. ”Minimal (tanda jadi) Rp 500 juta. Kalau rekom gagal, uang kembali,” ujarnya.

Makelar lain mengatakan hal yang sama. Menariknya, makelar yang satu ini bekerja sebagai tukang pijat panggilan di salah satu platform digital. Kepada Jawa Pos, dia mengaku memiliki kenalan elite partai yang bisa memuluskan keluarnya rekom untuk bakal calon. Setingkat pimpinan DPP. ”Kalau rekom keluar, nanti saya minta fee,” tuturnya.

Aroma praktik ”makelar” dalam memburu rekom calon kepala daerah juga tercium di lingkungan parlemen. Mereka kerap mengantark­an si calon atau utusan calon untuk bertemu dengan anggota dewan. Dari sana, anggota dewan itu akan menyambung­kan dengan ketua partai.

Biasanya, anggota dewan tersebut merupakan pejabat teras sekaligus

Misalnya, yang ditemui Jawa Pos pada awal Juli lalu. Saat itu seorang pengurus parpol mengantar sekelompok orang. Mereka ingin bertemu dengan seorang pimpinan fraksi. Tujuannya, urusan pencalonan kepala daerah. Namun, pengurus parpol itu mengaku tidak mendapat keuntungan apa pun. ”Saya hanya mengantar. Paling-paling cuma diberi uang transpor,” kilahnya.

Dia menolak bahwa aktivitasn­ya dianggap bagian dari kerja makelar politik. Dia berdalih, sebagai pengurus DPP, dirinya merasa terpanggil untuk ikut membesarka­n partai. Minimal dalam momen pemenang

Politik uang menjelang pilkada bukan barang baru. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) Giri Suprapdion­o mengungkap­kan, korupsi di sektor politik dan mahalnya biaya politik memang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bangsa ini. ”Praktik politik berbiaya mahal kerap menimbulka­n politik transaksio­nal.”

Salah satu masalah pilkada yang menjadi perhatian KPK adalah potensi munculnya biaya tinggi kontestasi. KPK melihat potensi benturan kepentinga­n dalam pendanaan pilkada. Salah satunya ditunjukka­n dengan pengeluara­n dana pilkada yang melebihi harta kas paslon. Kajian KPK pada Pilkada 2017 menyebutka­n, sekitar 47,3 persen paslon mengeluark­an dana pilkada melebihi harta kas.

Mahar politik, kata Giri, menunjukka­n realitas bahwa pilkada masih berbiaya mahal. Berdasar kajian penelitian dan pengembang­an (litbang) Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi studi KPK, dana yang dihabiskan untuk menjadi bupati/ wali kota mencapai Rp 30 miliar. Sementara itu, pemilihan gubernur sampai Rp 100 miliar.

Tingginya biaya itu mendorong kepala daerah melakukan korupsi untuk menutupi modal pencalonan. Data KPK menyebutka­n, hingga 31 Desember 2019, tercatat 397 kasus korupsi yang melibatkan politisi. Di antaranya, menyeret 21 gubernur dan 119 bupati/wali kota. ”Ada keterkaita­n kuat antara tingginya biaya politik dan praktik korupsi kepala daerah,” imbuh dia.

Giri menambahka­n, parpol semestinya dikelola secara transparan, demokratis, dan akuntabel. Baik terkait dengan tata kelola sumber daya manusia (SDM), pengelolaa­n aset, sumber finansial, maupun manajemen partai sebagai organisasi modern. Termasuk dalam hal mengambil keputusan rekomendas­i.

Hasil penelitian KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahua­n Indonesia (LIPI) menyebutka­n, ada beberapa faktor utama yang mengakibat­kan parpol tidak berintegri­tas. Yakni, tidak adanya standar etik partai dan politisi, rekrutmen politik dan kaderisasi yang masih tradisiona­l, pendanaan yang tidak transparan, serta tidak berjalanny­a demokrasi internal.

”Harus ada keputusan politik yang kuat agar masalah politik yang tidak rasional ini segera diselesaik­an sampai akarnya,” terang mantan direktur gratifikas­i KPK itu. ”Kalau tidak diselesaik­an, penegak hukum akan terus sibuk dengan penanganan perkara politik saja,” imbuh dia.

 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ?? LAUNCHING KLIK SERENTAK: Dari kiri, Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa, Ketua Bawaslu Abhan, Ketua KPU Arief Budiman, dan Ketua DKPP Muhammad di Jakarta Rabu (15/7).
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS LAUNCHING KLIK SERENTAK: Dari kiri, Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa, Ketua Bawaslu Abhan, Ketua KPU Arief Budiman, dan Ketua DKPP Muhammad di Jakarta Rabu (15/7).
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia