Buntut Demokrasi Pokoke Menang
Keluarga ”Ring 1” Marak Nyalon, Bantah Tudingan Politik Dinasti
JAKARTA, Jawa Pos –Usianya baru 28 tahun. Karena itu, Hanindhito Himawan Pramana menyebut keluarga, termasuk sang ayah, Pramono Anung, awalnya tak mendukung rencananya maju dalam pemilihan bupati Kediri.
’’Tapi, karena partai menginginkan adanya perubahan di Kabupaten Kediri, akhirnya keluarga setuju,” kata Dhito kepada Jawa Pos Radar Kediri kemarin (22/7).
Lalu, apa alasan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersikeras menginginkan Dhito yang maju? Padahal, ada sembilan peserta lain yang mendaftar ke DPC PDIP Kabupaten Kediri dan mengikuti fit and proper test sejak akhir tahun lalu J
Ketika rekomendasi diumumkan pada Jumat pekan lalu, Pramono terlihat berada di belakang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dan, di samping Puan Maharani, ketua DPP PDIP, yang sedang membacakan pengumuman rekomendasi pilkada.
Plt Ketua DPC PDIP Kabupaten Kediri Budi ’’Kanang” Sulistyono menegaskan bahwa pemilihan Dhito murni kehendak partai. Menurut Kanang, pencalonan Dhito itu juga melalui penjaringan partai. Hanya lebih ke tingkat DPP. Sebelumnya, DPP PDIP memang menerima namanama kandidat calon bupati yang disodorkan dari proses uji kepatutan dan kelayakan.
’’Hanya, ada kekurangcocokan dari calon-calon tersebut. Hingga dipilihnya Dhito sebagai calon yang kuat,” katanya.
Dhito yang berpasangan dengan Dewi Mariya Ulfa dan mendapat dukungan dari lima partai itu bahkan berpeluang menjadi calon tunggal, seperti juga Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, yang telah menerima rekom PDIP sebagai calon wali kota Solo. Keduanya menambah panjang daftar keluarga ’’Ring 1” yang maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020.
Putra presiden, putri wakil presiden, dan kerabat sejumlah anggota kabinet berebut kursi nomor 1 atau 2 di berbagai kabupaten dan kota. Hingga memunculkan kembali isu politik dinasti.
Khusus Jokowi, selain Gibran, Bobby Nasution, sang menantu, juga bersiap bertarung di pilwali Medan, Sumatera Utara. Ada kabar juga ipar mantan wali kota Solo itu, Wahyu Putranto, bakal maju dalam pilbup Gunungkidul, Jogjakarta. Meski ketika dikonfirmasi Jawa Pos Radar Jogja kemarin, Wahyu menolak memberikan tanggapan.
’’Yang menentukan rakyat. Semua memiliki hak untuk memilih dan dipilih,’’ terang Jokowi, tak lama setelah Gibran muncul sebagai salah seorang bakal calon wali kota pada Januari lalu.
Di pilwali Tangerang Selatan (Tangsel), putri Wapres Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah yang mendapat rekomendasi dari Partai Demokrat tadi malam dan bersanding dengan kader PKS Ruhamaben, akan berhadapan dengan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati yang menjadi calon wakil wali kota, berduet dengan Muhammad. Pasangan itu didukung PDIP, Gerindra, dan PSI.
’’Abah (Ma’ruf Amin) merestui, hanya sebatas itu, selayaknya dukungan orang tua kepada anak. Saya sendiri yang mencari dukungan politis,” kata Azizah kepada Jawa Pos.
Rahayu Saraswati juga menampik anggapan bahwa dirinya maju dalam pilkada Tangsel semata-mata karena hubungan kekeluargaan dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. ’’Jadi, saya ini mendapat dukungan dari struktur partai dan disambut baik oleh Bapak Prabowo,’’ kata Rahayu.
Menanggapi maraknya tudingan politik dinasti, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya menempatkan proses kaderisasi yang dimulai dari keluarga. Seperti dunia pendidikan pada umumnya, kata Hasto, pendidikan dalam politik juga dimulai dari keluarga.
Karena itu, PDIP membuka ruang bagi kader-kader partai. ”Ruang itu dibuka bagi mereka yang berasal dari dalam maupun berasal dari luar,” terang dia saat acara penandatanganan 20 prasasti kantor DPD/DPC PDIP yang dilakukan secara virtual kemarin.
Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad juga menyangkal praktik politik dinasti dengan mengusung keponakan Prabowo dalam pilkada. ”Hasil survei kita kemungkinan menang dengan mengusung pasangan ini (Muhammad dan Rahayu Saraswati, Red) di Tangsel,” katanya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menjelaskan, menguatnya fenomena politik dinasti di Indonesia sangat wajar. Itu tidak terlepas dari sistem demokrasi Indonesia yang sebatas prosedural dan hanya memastikan tahapan pemilu berjalan lancar. ”(Demokrasi) Indonesia pokoke (pokoknya) menang. Yang terjadi tindakan atau perilaku yang menghalalkan semua cara,” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin.
Berbagai pelanggaran yang mencederai substansi demokrasi seperti mahar politik, nepotisme, atau politik transaksional selama ini tidak bisa dituntaskan. Dalam sistem yang tidak sehat itu, dinasti politik mudah untuk masuk.
Zuhro mencontohkan, dinasti politik mudah melenggang di saat sistem demokratisasi di internal partai tidak berjalan.
Partai cenderung transaksional dalam menentukan calon dalam pilkada. Seseorang dengan posisi kuat mudah untuk ”menitipkan” keluarga ataupun kerabatnya dalam kandidasi. ”Kalau partai sehat, kandidasi dengan sistem merit, diseleksi sedemikian rupa dari kader yang dimiliki. Tapi, praktiknya nepotisme juga,” imbuhnya.
Di sisi lain, lanjut Zuhro, masyarakat Indonesia belum cukup terdidik dengan baik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, rata-rata orang Indonesia baru mengenyam pendidikan delapan tahun atau setara SMP. Imbasnya, masyarakat tidak punya kemampuan untuk memilih. ”Masyarakat mudah kesengsem. Selesai dengan diiming-imingi, diberi uang receh,” ucapnya.
Maka tidak heran, jumlah daerah yang terindikasi menerapkan politik dinasti terus bertambah. Jika dulu hanya Banten dan Sulawesi Selatan yang identik, data LIPI di tahun 2020 mencatat sudah ada 65 daerah yang terjerumus politik dinasti.
Karena itu, desain UU 1/2015 tentang Pilkada yang melarang calon memiliki kekerabatan maju pilkada sebetulnya sangat baik sebagai solusi. Sayangnya, norma tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalih mencalonkan kepala daerah sebagai hak asasi. Zuhro menyayangkan karena MK hanya melihat dari sudut pandang yang sempit. ”Kalau dinasti marak, lalu banyak kepala daerahnya kena OTT dan daerah bangkrut, apa itu tidak lebih melanggar HAM?” tuturnya.