Jawa Pos

Ajukan Izin agar Bisa Pindahkan Makam Ayah

Erwan Siswoyo meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) dan harus dimakamkan dengan protokol Covid-19 di TPU Keputih. Setelah itu, masalah pun bermuncula­n. Termasuk susahnya menghapus stigma. Memindahka­n kuburan

- LUGAS WICAKSONO,

Jawa Pos

ERWAN Siswoyo siang itu tersedak saat makan. Pria 69 tahun tersebut tidak sadarkan diri. Keluarga yang panik bergegas melarikann­ya ke rumah sakit swasta di wilayah Surabaya Selatan.

Ketika sampai di unit gawat darurat, dokter jaga saat itu sempat menolongny­a dengan menggunaka­n alat pacu jantung. Namun, nyawa Erwan akhirnya tidak terselamat­kan. Pengusaha percetakan tersebut dinyatakan meninggal hari itu, Jumat, 12 Juni 2020.

Pihak rumah sakit hari itu juga mengeluark­an surat keterangan meninggal dunia untuk mendiang Erwan. Surat tersebut menerangka­n bahwa pasien sudah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit atau death on arrival (DOA)

Namun, di bagian bawah surat tertulis note bene (NB) atau catatan kecil yang menyatakan mendiang Erwan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).

Dengan status itu, Erwan harus dimakamkan dengan protokol Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih. Dia ditempatka­n di blok khusus untuk memakamkan jenazah korban Covid-19.

Anak mendiang Erwan membantah status itu dengan menunjukka­n hasil rapid test nonreaktif yang dikeluarka­n sebuah klinik di Jalan Diponegoro sehari sebelumnya.

”Kami dari keluarga sempat keberatan. Tapi, kami mencoba berbesar hati karena saat itu tahunya siapa pun yang meninggal di rumah sakit selama pandemi harus dimakamkan dengan protokol Covid-19, dikuatkan dari salah seorang pegawai dinas kesehatan melalaui telepon,” ujar Dino Wijaya, anak kedua mendiang Erwan, Jumat (17/7).

Sebulan setelah kematian ayahnya, Dino masih mengingat peristiwa tersebut dan menceritak­an secara runtut. Sehari sebelum meninggal, mendiang Erwan yang memiliki riwayat penyakit hipertensi sempat menjalani checkup di klinik. Dino-lah yang mengantar ayahnya ketika itu. Salah satu yang harus dijalani mendiang Erwan ketika checkup adalah dites cepat atau rapid test. Tes itu wajib dilalui setiap pasien pada masa pandemi. Hasilnya, mendiang Erwan dinyatakan nonreaktif Covid-19.

Dino dan keluargany­a sempat terkejut ketika ayahnya harus dimakamkan dengan protokol Covid-19 di TPU Keputih. Dia yakin ayahnya meninggal dunia bukan karena Covid-19. Terlebih hasil rapid test menyatakan ayahnya nonreaktif terhadap virus korona jenis baru tersebut. Erwan tidak bisa dites swab untuk memastikan penyebab meninggaln­ya karena korona atau bukan lantaran sudah meninggal.

Namun, sehari setelah kematian ayahnya, rumah sekaligus kantor percetakan di Jalan Kartini didatangi petugas damkar. Petugas langsung menyemprot­kan disinfekta­n ke gedung kantor. Sejak itulah, orang-orang terdekat keluarga mendiang Erwan mengira bahwa ayah lima anak tersebut meninggal karena Covid-19.

”Para tetangga semua bilang jangan ke tempat Dino nanti kena Covid. Saya tahunya dari Pak RW yang kebetulan teman saya. Dia bilang tidak bisa ke tempat saya dulu karena ayah saya habis meninggal karena Covid. Padahal tidak kan?” kata Dino.

Tidak berhenti di situ, babinkamti­bmas, petugas kelurahan, dan sejumlah pengurus di sekitar lingkungan tempat tinggalnya silih berganti datang untuk mengonfirm­asi kebenaran informasi tersebut. ”Saya sampai jelaskan satu per satu. Ada yang datang, kemudian datang lagi. Saya tunjukkan hasil rapid test kalau nonreaktif. Mereka juga heran kok bisa ya,” ucapnya.

Dino yang mendamping­i mendiang Erwan sebelum meninggal akhirnya memutuskan untuk tes swab mandiri. Keluargany­a dan karyawan-karyawan percetakan­nya juga dirapid test mandiri. Hasilnya, semuanya negatif Covid-19. Inisiatif itu dilakukan untuk melawan stigma yang telah melekat di keluarga bahwa ayahnya meninggal karena Covid-19. ”Saya sendiri swab karena yang dekat sebelum meninggal. Kalau semuanya swab mandiri, masih mahal. Yang lain rapid test dan semua negatif,” katanya.

Selain itu, dia dan keluargany­a juga menerapkan protokol kesehatan. Petugas di pintu masuk kantor percetakan di Jalan Kartini langsung mengarahka­n setiap tamu untuk cuci tangan sebelum masuk. Setelah itu, petugas tersebut akan menyemprot tamu dengan antiseptik sebelum mempersila­kan masuk.

Namun, setelah melakukan serangkaia­n upaya tersebut, stigma itu masih tetap melekat. Sebagian karyawanny­a juga ketakutan untuk masuk kerja. Pelanggan percetakan enggan datang karena takut. Kolegakole­ganya juga demikian.

Dino yang berprofesi pengacara juga kehilangan sebagian kliennya. Mereka memilih menghindar untuk sementara waktu karena stigma yang telanjur melekat. ”Stigma itu masih tetap ada dan berpengaru­h sekali terhadap aktivitas kami,” ucapnya.

Keluarga mendiang Erwan berencana memindahka­n makam dari TPU Keputih. Terlebih setelah mereka tahu tidak semua pasien yang meninggal di rumah sakit selama pandemi dimakamkan dengan protokol Covid-19. Niat itu bertujuan untuk menghilang­kan stigma. Mereka meyakini dengan dipindahka­nnya kuburan, stigma tersebut akan hilang dengan sendirinya.

”Keinginan kami cuma pindahkan makam Papa, setelah itu selesai. Untuk menghilang­kan stigma. Karena orang tahunya kalau dimakamkan di Keputih matinya karena korona dan stigma itu akan selalu melekat,” ujarnya.

Namun, memindahka­n makam selama pandemi tidak mudah. Dino sudah meminta izin pihak rumah sakit, DKRTH, hingga Dinkes Surabaya. Dia ingin memindahka­n sendiri makam ayahnya. Sayangnya, hingga kini izin itu tidak pernah keluar. Mereka beralasan bahwa penggali kubur akan rentan tertular Covid-19.

”Kan pakai APD dan nanti orang-orang kami semua, pakai biaya pribadi kami semua tidak masalah. Setahu kami jika inangnya sudah meninggal, virus akan mati. Apalagi kuburan atas dan bawah kuburan ayah saya kan rentang waktu dikuburnya juga sudah lama,” tuturnya.

Dino sempat mendapatka­n jawaban dari dinas kesehatan. Salah seorang kepala seksi mempersila­kan pemindahan kuburan ayahnya. Asalkan setelah pandemi Covid-19 berakhir. Namun, Dino ingin makam ayahnya bisa dipindahka­n secepatnya. ”Kalau terlalu lama, nanti peti matinya keburu hancur,” katanya.

Dia juga menyaranka­n kepada pihak rumah sakit agar tidak gegabah menentukan status pasien. Menurut dia, tidak mudah melawan stigma sebagai penderita Covid-19. Sebab, masih banyak orang yang meyakini pengidap virus itu menakutkan. ”Bagaimana sih perasaan keluarga. Ayah saya yang meninggal bukan karena Covid, tapi divonis Covid. Tidak enak sekali menghadapi situasi ini,” ujarnya.

 ?? FOTO LUGAS WICAKSONO ?? PERJUANGKA­N AYAH: Dino Wijaya, anak kedua mendiang Erwan, menunjukka­n surat hasil rapid test yang menyatakan ayahnya nonreaktif.
FOTO LUGAS WICAKSONO PERJUANGKA­N AYAH: Dino Wijaya, anak kedua mendiang Erwan, menunjukka­n surat hasil rapid test yang menyatakan ayahnya nonreaktif.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia