Jawa Pos

Memohon kepada Hakim agar Bisa Sidang Telekonfer­ensi

Siti Asiyah tidak pernah menyangka harus menghadapi proses hukum pada usia senja. Nenek 82 tahun yang seharusnya istirahat dan bermainmai­n dengan cucunya di rumah itu harus bolakbolak-balik datang ke persidanga­n.

- LUGAS WICAKSONO,

JAKSA penuntut umum (JPU) Suwarti harus kembali menjelaska­n keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaa­n (BAP) yang dibacakan saat persidanga­n di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Maklum, Siti yang duduk di kursi terdakwa tidak mengerti apa yang disampaika­n jaksa saat membacakan keterangan saksi. ”Saya tidak tahu. Tidak ngerti

Jawa Pos apa yang diomongkan,’’ kata Asiyah perlahan kemarin (24/7).

Ketua Majelis Hakim Johanis Hehamony meminta jaksa kembali menjelaska­n dengan cara yang bisa dipahami. Maklum, Asiyah yang kini sudah berusia 82 tahun mengalami gangguan pendengara­n

Sudah 12 kali ini dia datang ke PN untuk duduk di kursi pesakitan itu. Dia didakwa memberikan keterangan palsu saat melaporkan kehilangan surat hak atas tanah di Polda Jatim.

”Intinya, Pak Sumardji pemilik SHGB (sertifikat hak guna bangunan) mengatakan laporan ibu di kepolisian tidak benar,” kata jaksa Suwarti kepada Asiyah. ”Tidak benar, Bu,” jawab Asiyah yang sudah memahami kalimat jaksa.

Asiyah juga kembali mengaku tidak mengerti apa yang disampaika­n jaksa saat membacakan keterangan saksi-saksi lain. Pengalaman seperti itu kerap terjadi selama belasan kali nenek tersebut menghadiri persidanga­n. Tidak tahu dan tidak mengerti adalah kalimat yang kerap disampaika­nnya. Baik untuk keterangan saksi yang hadir di persidanga­n maupun yang sekadar dibacakan jaksa karena saksi berhalanga­n hadir.

Asiyah kerap dibantu tim pengacara yang diketuai Sahlan Azwar selama persidanga­n berlangsun­g. Nenek itu hingga kini mengaku tidak pernah tahu mengapa dirinya harus duduk di kursi tersebut. Asiyah ditetapkan sebagai tersangka hingga kini menjadi terdakwa setelah dilaporkan Sumardji ke Polrestabe­s Surabaya. Pelapor adalah pihak yang menjadi lawan almarhum suaminya, Lalu

Oemar, dalam sengketa tanah di Menanggal.

Kedua pihak sama-sama mengklaim pemilik sah tanah itu. Sumardji mengklaim memiliki SHGB atas tanah tersebut. Sementara itu, keluarga Asiyah juga mengklaim sebagai pemilik dengan bukti pethok D, letter C, dan lainnya. Namun, bukti pethok D dilaporkan hilang di Polda Jatim. Laporan itulah yang berujung proses pidana terhadap Asiyah. ”Saya tidak tahu apa salah saya. Nipu saja saya tidak terima,” katanya.

Tiga tahun lalu Asiyah melaporkan kasus sengketa hak atas tanah yang diklaim keluargany­a di Polda Jatim. Dia didampingi anaknya, Arifin, dan sejumlah kerabat. Namun, laporan kehilangan itu hanya tertulis nama Asiyah sebagai pelapor. ”Saya tidak tahu kenapa kok harus saya, bukan yang lain,” ucapnya.

Anak Asiyah, Arifin, mengatakan bahwa laporan itu harus atas nama ibunya. Anak kelima tersebut menerangka­n bahwa jika tidak atas nama ibunya, laporan tidak bisa diterima polisi. ”Karena ibu saya sebagai istrinya bapak. Orang yang paling dekat. Kalau atas nama yang lain tidak bisa,” kata Arifin.

Asiyah mengaku tidak pernah tahu-menahu mengenai perkara tersebut. Selama hidupnya, dia mengaku hanya di rumah. Almarhum suaminya kerap melarangny­a mencampuri urusannya. Termasuk perkara tanah yang kini menjadi sengketa.

Sejak suaminya meninggal dunia pada 2003, Asiyah memberanik­an diri membuka lemari khusus penyimpana­n dokumen-dokumen penting milik almarhum suaminya. ”Almarhum suami saya punya lemari khusus yang tidak boleh dibuka semasa hidup. Akhirnya, anak-anak saya suruh buka setelah meninggal. Suratnya dicari, tidak ada. Dilaporkan hilang,” ujar Asiyah.

Asiyah tidak pernah menyangka ketika usia senja, dirinya harus menghadapi proses hukum. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, dia harus bolak-balik ke kantor polisi untuk diperiksa dalam penyidikan. Meski hanya satu hingga dua jam, dia merasa lelah.

Begitu pula ketika dia yang kini berstatus tahanan rumah harus bolak-balik ke PN Surabaya untuk menghadapi proses persidanga­n. Asiyah yang tinggal di Jalan Gayungsari V hampir setiap pekan harus datang ke pengadilan. Dia bingung menjawab pertanyaan­pertanyaan yang sebenarnya tidak dia ketahui. Asiyah harus bertaruh dengan kesehatann­ya. ”Saya punya riwayat penyakit jantung. Darah tinggi. Pernah jatuh. Kalau dipakai duduk di kursi yang keras, pinggang saya sakit,” ucapnya.

Tim pengacara meminta agar kliennya disidang secara telekonfer­ensi dari rumahnya. Pertimbang­annya adalah kondisi kesehatan terdakwa yang sudah berusia senja. ”Apalagi sekarang lagi musim pandemi Covid-19 dan usia tua seperti Bu Asiyah ini rentan terpapar,” kata Umar Said, pengacara terdakwa.

Hingga akhirnya permintaan untuk sidang secara telekonfer­ensi dikabulkan majelis hakim dalam sidang kemarin. Dengan demikian, mulai sidang berikutnya, Asiyah sudah bisa sidang dari rumah. Hanya tim pengacara, jaksa, dan majelis hakim yang tetap bersidang di ruang sidang.

”Kamijugate­tapmempert­imbangkan kemanusiaa­n. Terdakwa sebelumnya­harushadir­dipersidan­gankarenap­engacarase­belumnya (yangkuasan­yasudahdic­abut)ngotot sehinggate­rdakwaharu­sdihadirka­n,” ujar Ketua Majelis Hakim Johanis Hehamony.

 ??  ?? TERDAKWA SEPUH: Siti Asiyah ketika menjalani sidang di PN Surabaya. Setiap minggu nenek 82 tahun itu harus datang ke pengadilan untuk disidangka­n.
TERDAKWA SEPUH: Siti Asiyah ketika menjalani sidang di PN Surabaya. Setiap minggu nenek 82 tahun itu harus datang ke pengadilan untuk disidangka­n.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia