Empat Kiat agar Pembelajaran Daring Berhasil
TAHUN ajaran baru sudah bergulir di tengah pandemi Covid19. Terpaksa, sekolah masih menggunakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Keterpaksaan itu memunculkan kendala di sana-sini. Pun berlanjut pro dan kontra di masyarakat.
PJJ atau dalam literatur Barat disebut distance learning. Maksudnya adalah kegiatan pembelajaran yang secara fisik memiliki jarak antara guru dan siswa. Antara pendidik dan peserta didik. Karena terdapatnya jarak itu, diperlukan teknologi atau media untuk mengantarkan pesan belajar dari guru kepada siswa dan sebaliknya.
Dari sini, muncullah terminologi online atau dalam jaringan (daring). Bentuknya bisa belajar melalui internet, WhatsApp, Zoom, Google Meeting, portal akademis, dan sebagainya.
Dalam realitasnya, penyelenggaraan pembelajaran daring mulai menuai masalah. Protes masyarakat bermunculan di media sosial. Terutama masalah jaringan internet, ketersediaan handphone (HP) Android, juga kuota internet.
Keluhan orang tua muncul. Mulai gagap teknologi, repot tidak punya HP Android, hingga terlalu banyak tugas dari guru. Murid sangat jenuh. Masalah lain muncul dari guru. Misalnya, kurang menguasai metode pembelajaran PJJ. Bingung menggunakan cara apa lagi untuk bisa mendukung pembelajaran.
Di samping itu, guru sulit memantau perkembangan riil siswa. Penilaian tidak bisa mengukur hasil belajar siswa. Sebab, tugas anak didik terkadang dikerjakan kakaknya, guru les, atau orang tuanya.
Bagaimana agar program PJJ berhasil? Mau tidak mau, kendala pembelajaran daring harus diatasi. PJJ sudah menjadi keputusan pemerintah. Jadi, untuk mendapatkan hasil yang optimal, pemerintah berkewajiban memberikan arahan, bimbingan, dan fasilitas PJJ. Sekarang ini, setidaknya ada empat hal yang perlu segera dilakukan pemerintah. Baik Kemendikbud di pusat maupun dinas pendidikan di daerah.
Pertama, memberikan arahan kepada pimpinan sekolah tentang bagaimana program PJJ dapat dilakukan secara produktif. Sebab, hampir semua sekolah memiliki pengalaman pengembangan program konvensional alias non-PJJ. Namun, miskin pengalaman pengembangan PJJ.
Kedua, dinas pendidikan diminta merumuskan kembali metode pembelajaran yang menyenangkan. Disesuaikan dengan kondisi daerah. Kemudian, bimbing para guru mengenai model pembelajaran yang efektif menurut situasi masing-masing.
Ketiga, memberikan fasilitas kepada masyarakat. Khususnya siswa dan guru. Dengan demikian, mereka dapat mengakses informasi melalui media daring dengan mudah. Misalnya, memperluas jaringan agar sinyal komunikasi bisa mendekat ke rumah-rumah guru dan siswa.
Keempat, yang tak kalah penting lagi adalah penyederhanaan kurikulum selama pembelajaran daring. Kurikulum yang adaptif sangat diharapkan guru. Sebab, pelaksanaan pembelajaran sekarang tidak hanya membuat stres siswa dan orang tua. Guru pun menjadi lebih sibuk. Apalagi, guru yang gagap teknologi.
Kurikulum adaptif tidak berarti penggantian total kurikulum 2013 yang kini digunakan. Konten yang penting dari kurikulum adalah merelaksasi serta menyederhanakan standar, isi penilaian, proses, dan kompetensi kelulusan.
Tuntutan penyederhanaan kurikulum semakin kencang karena memang dibutuhkan. Kalangan guru menyatakan yang paling gampang adalah menggabungkan mata pelajaran yang bisa disesuaikan. Dengan demikian, dalam PJJ, tidak terlalu banyak pelajaran.
Selain itu, Kemendikbud perlu mendesain modul sebagai ganti buku tema agar lebih ringkas. Dengan demikian, siswa bisa menggunakannya saat harus belajar mandiri. Kemendikbud pernah menjanjikan, modulmodul praktis akan dikemas dalam bentuk video. Diharapkan, video tersebut bisa dipahami orang tua. Jadi, komunikasi akan lebih mudah.
Nah, itulah tantangan bagi semua. Khususnya pemerintah. Kurikulum adaptif harus segera terwujud sebagai panduan agar sekolah dan guru tidak membuat sendiri-sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tetap berjalan baik.
Akhir kata, dengan dilakukannya empat langkah pemerintah tersebut, diharapkan PJJ dapat berjalan produktif. Tak memusingkan siswa, orang tua, juga guru.
KURNIAWAN ADI SANTOSO
city