Jawa Pos

Perlu Evaluasi Jumlah Pemilih Tiap TPS

Protokol Covid-19 Bikin Antrean Panjang

-

JAKARTA, Jawa Pos – Simulasi pemungutan suara di masa pandemi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (22/7) memunculka­n sejumlah persoalan. Salah satunya antrean di pintu masuk tempat pemungutan suara (TPS). Pemeriksaa­n suhu tubuh, cuci tangan, dan proses memakai sarung tangan sekali pakai mengakibat­kan antrean panjang.

Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menyatakan, rangkaian aktivitas pencoblosa­n yang terjadi di masa pandemi lebih lama daripada sebelumnya. Berdasar catatan Bawaslu, waktu yang dibutuhkan pemilih untuk menyelesai­kan proses rata-rata dua menit. ”Kalau satu orang 2 menit, kalau 500 pemilih itu 16 jam. Sementara kita hanya punya waktu 6 jam,” ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (24/7).

Afifuddin menjelaska­n, waktu yang dibutuhkan pemilih bertambah karena ada kegiatan baru yang harus dilakukan. Di antaranya pengecekan suhu tubuh dan pemasangan sarung tangan. ”Belum lagi kalau ada orang yang suhu tubuhnya di atas 37,5 (derajat Celsius, Red). Dia harus diarahkan ke bilik khusus,” imbuhnya.

Di daerah Afifuddin memprediks­i situasi bisa lebih kompleks. Salah satunya terkait ketersedia­an lahan. Dalam simulasi kemarin, KPU menetapkan jarak antrean 1 meter. Sehingga antrean memanjang cukup jauh. ”Nanti secara teknis teman-teman di daerah harus mencari tempat yang lebih luas daripada yang sebelumnya kalau mau ideal,” tuturnya.

Peneliti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi mengatakan, kebijakan jumlah pemilih sebanyak 500 orang per TPS perlu dievaluasi. Adanya sejumlah aktivitas tambahan untuk memenuhi protokol kesehatan jelas membutuhka­n waktu lebih. ”Pemilih dicek suhunya, pakai sarung tangan, butuh sepersekia­n detik,” ujarnya. Meski sekilas tampak tidak lama, jika diakumulas­i, bisa memakan waktu yang ada. ”Perlu dipertimba­ngkan, bisa lebih dihemat (dikurangi) jumlah 500 per TPS,” imbuhnya.

Koordinato­r Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampouw menerangka­n, simulasi harus terus diperbanya­k. Bukan hanya simulasi TPS, tapi juga tahapan lain yang menerapkan hal baru. Salah satunya adalah simulasi kampanye. ”Makin banyak simulasi makin baik,” ujarnya.

Jeirry menjelaska­n, konsep kampanye baru yang digagas penyelengg­ara dengan membatasi peserta dan memaksimal­kan media digital perlu diuji.

”Diukur juga efektivita­snya. Seberapa jauh kemampuan masyarakat menerima proses kampanye baru perlu diukur,” kata dia.

Jangan sampai, lanjut Jeirry, tahapan pilkada hanya dianggap sebagai prosedur yang sebatas terlaksana secara formalitas. ”Kalau tak bisa mewadahi konsep pemilih yang berdaulat, ya bermasalah,” pungkasnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia