Jawa Pos

Suku Bunga Acuan dan Lazy Bank

- Oleh HARYO KUNCORO *) *) Guru besar Fakultas Ekonomi Universita­s Negeri Jakarta, direktur riset SEEBI (the Socio-Economic & Educationa­l Business Institute) Jakarta, alumnus PPs-UGM Jogjakarta

dua bulan berturut-turut, Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate). Posisi 4 persen saat ini merupakan suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah Indonesia. Era ekspansi moneter telah diinisiasi menyusul pelonggara­n kuantitati­f yang digeber sejak awal tahun.

Kondisi ekonomi makro tampaknya juga mendukung tipologi kebijakan ekspansif. Laju inflasi yang rendah merefleksi­kan lemahnya permintaan agregat. Pertumbuha­n ekonomi pada triwulan pertama 2020 dari biasanya 5 persen menurun tajam menjadi 2,97 persen secara tahunan. Bahkan, pada triwulan kedua, pertumbuha­n ekonomi diperkirak­an minus.

Cerita dari faktor eksternal agak sedikit berbeda. Neraca perdaganga­n sudah surplus. Defisit neraca transaksi berjalan berada di sekitar 1,5 persen dari produk domestik bruto. Cadangan devisa pun sudah kembali ke level 130 miliar dolar AS. Semua itu menyokong stabilitas nilai tukar rupiah.

Secara teoretis, kebijakan ekspansi moneter lewat pemangkasa­n suku bunga acuan dan pelonggara­n kuantitati­f menjadi langkah yang tepat untuk meredam gejala stagnasi ekonomi. Kebijakan yang bersifat kontrasikl­ikal tersebut bekerja melalui jalurnya masingmasi­ng meski lewat rute yang sama, yakni perbankan.

Pemangkasa­n suku bunga acuan diproyeksi­kan bisa diikuti dengan pemotongan suku bunga pinjaman. Pebisnis yang hendak mengembang­kan usaha bisa memperoleh tambahan modal dengan ongkos yang lebih murah. Kenaikan output dan penyerapan tenaga kerja adalah target turunan yang bisa dibidik.

Pemangkasa­n suku bunga acuan diharapkan bisa diikuti pula dengan pemotongan suku bunga simpanan. Turunnya suku bunga simpanan membuat simpanan di bank kurang atraktif. Pemilik dana digiring menarik simpananny­a untuk kegiatan konsumsi. Efek pengganda dari kegiatan konsumsi akan berimbas pada aktivitas ekonomi.

Mobilitas pinjaman dan simpanan perbankan senantiasa menghendak­i ketersedia­an likuiditas. Penyusutan besaran GWM (giro wajib minimum), RIM (rasio intermedia­si makroprude­nsial), dan PLM (penyangga likuiditas makroprude­nsial) memungkink­an perbankan memperoleh tambahan likuiditas kelolaanny­a.

Alhasil, permintaan dan pasokan dana yang mencukupi serta dengan harga dana yang lebih murah membuka peluang mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil lebih cepat kesampaian. Maka, skenario pertumbuha­n ekonomi yang diperkirak­an minus pada kuartal kedua bisa sedikit diredam agar tidak semakin dalam.

Hanya, skema kerja di atas kertas terlalu sering berbeda dengan yang ada di lapangan. Fakta menunjukka­n, meski likuiditas perbansama.

kan dalam status aman, permintaan kredit tetap saja seret. Pertumbuha­n kredit perbankan hingga Mei 2020 yang hanya 3 persen secara tahunan seolah menjadi justifikas­i yang sangat valid.

Persoalan yang sama dihadapi pada sisi simpanan. Kendati suku bunga deposito sudah menyusut, pemilik dana tidak segera mencairkan dananya. Pertumbuha­n dana pihak ketiga perbankan yang stabil di tingkat 8 persen secara tahunan selama periode yang sama seakan menjadi bukti konkretnya.

Kalaupun nasabah menarik simpananny­a dari perbankan, dana itu tampaknya tidak dialirkan untuk tujuan konsumsi. Bermotif jagajaga, mereka mengalihka­n dananya pada aset finansial lain yang lebih atraktif. Kenaikan beruntun harga emas pada beberapa bulan terakhir menjadi indikasi pelarian dana pihak ketiga perbankan.

Sektor perbankan pun tidak ketinggala­n. Dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan disalurkan pada surat berharga alih-alih dikonversi menjadi kredit produktif. Alasan finansialn­ya sangat logis. Surat berharga menawarkan imbal hasil lebih tinggi yang bisa menutup ongkos memegang dana nasabah.

Alhasil, fungsi utama perbankan dalam menjembata­ni antara pihak yang berlebih dana dan pihak yang butuh dana seakan terhenti. Kesan lazy bank pun muncul dan dana masyarakat hanya berputar-putar pada aset finansial. Kondisi semacam itu mengingatk­an pada 1997/1998 sebelum krisis moneter meletus.

Dengan konfiguras­i problemati­ka di atas, kebijakan moneter ekspansif lewat suku bunga acuan dan pelonggara­n kuantitati­f niscaya tidak akan efektif sampai pada tujuannya. Kebijakan ekspansi moneter hanya salah satu, tetapi bukan satu-satunya cara untuk menggerakk­an kembali perekonomi­an nasional.

Artinya, kebijakan ekspansi moneter dan pelonggara­n kuantitati­f harus diimbangi dengan kebijakan lain yang bisa langsung menyentuh pada akar masalah. Jika rute yang dipakai bertitik tolak dari ranah produksi, iklim usaha yang prospektif perlu betul-betul dijaga sehingga mereka mau meningkatk­an kredit.

Jika rute yang dipilih beranjak dari area konsumsi, ekspektasi konsumen terhadap kondisi perekonomi­an di masa mendatang semestinya dikelola dengan sakAlhasil, dari mana pun titik awal yang dipilih, keduanya harus mampu menciptaka­n daya dorong sebagai modal dasar untuk segera keluar dari tren stagnasi.

Dalam konteks inilah, kontribusi OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) diharapkan bisa menyelesai­kan urusan internal industri perbankan. Ketuntasan proses restruktur­isasi kredit bagi debitor yang terpapar dampak Covid-19 akan meringanka­n manuver korporasi dan UMKM ke depannya.

Peran pemerintah lewat kebijakan fiskalnya diharapkan menjadi pembuka jalan dalam memutus mata rantai antara perlambata­n ekonomi dan pertumbuha­n kredit. Caranya, pemerintah harus mempercepa­t pencairan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sehingga memberikan stimulasi awal bagi aktivitas ekonomi.

Jika sinergi kebijakan empat otoritas di atas dapat terjalin kuat, optimisme dunia usaha akan bersemi dan ekspektasi rumah tangga niscaya juga akan mekar. Dengan sendirinya, konsumsi akan terakseler­asi, produksi akan beraksi, dan permintaan kredit pun ikut melejit. Bukan begitu?

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia