Serapan Beras Mencapai 60 Persen
Catatan Bulog sampai Juli
JAKARTA, Jawa Pos – Roda perekonomian mulai berputar meskipun pelan. Tetapi, kinerja sektor pertanian dan pangan tetap baik. Sampai akhir bulan lalu, serapan beras oleh Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) mencapai 850.000 ton. Yakni, sekitar 60 persen dari target serapan Bulog tahun ini.
Direktur Utama Bulog Budi Waseso alias Buwas menegaskan bahwa target serapan beras adalah 1,4 juta ton. Angka itu realistis mengingat kondisi lapangan dan jangkauan wilayah panen sekarang. ”Saat kondisi panen, Bulog menjamin seluruh wilayah bisa dijangkau oleh satker (satuan kerja) Bulog,” ujarnya kemarin (28/7).
Menurut Buwas, Bulog langsung menugasi direksi untuk mendampingi petani saat Pandeglang, Cilacap, dan Gowa panen. Selain stok cadangan beras, mereka harus memastikan hasil panen terserap. Serapan itu penting untuk menggerakkan perekonomian di tingkat petani sampai pandemi Covid-19 berlalu.
Bulog juga melakukan penyerapan secara serentak di seluruh Indonesia. Tujuannya, harga jual petani selama masa panen terjaga. Buwas mengungkapkan, itu merupakan salah satu tugas penting Bulog. ’’Terlebih pada masa sulit seperti sekarang. Yang Bulog lakukan itu juga sesuai instruksi presiden (inpres). Yaitu, pemerintah membeli dan rakyat memproduksi,’’ ungkapnya.
Angka 850.000 ton yang dicatatkan sampai minggu terakhir Juli itu, menurut Buwas, lebih baik ketimbang capaian bulan sebelumnya. Kira-kira bertambah 150.000 ton.
Bulog telah membangun sejumlah gudang di 14 wilayah Indonesia untuk menyimpan gabah yang mereka serap dari panen. Gudang-gudang itu sengaja dirancang modern. Dengan demikian, kualitas beras terjaga dalam jangka waktu lama.
Buwas mengatakan bahwa gudang yang Bulog bangun berbentuk silo. ”Kapasitas silo ini sekitar 2.000 ton gabah. Di dalamnya ada pengaturan temperatur sehingga gabah bisa disimpan sampai sekitar 2 tahun,” tuturnya.
Sementara itu, Insititute for Development of Economics and Finance (Indef ) kembali mengingatkan tentang pentingnya diversifikasi pangan. Khususnya untuk menjaga ketahanan pangan pada saat krisis. Ekonom Indef Rusli Abdullah menuturkan bahwa ketergantungan pada beras dapat mengerek inflasi secara cepat. ”Memang tidak mudah mengubah pola konsumsi. Apalagi, 94 persen masyarakat mengonsumsi karbohidrat yang berasal dari beras,” ucapnya.
Dalam perspektif ekspor, diversifikasi pangan juga berhubungan dengan kenaikan nilai tambah. Juga, mengurangi risiko turunnya harga pada satu jenis komoditas pangan. Menurut Rusli, makin terdiversifikasi, pangan yang dihasilkan semakin bagus bagi perekonomian dan kesejahteraan petani.
”Misalnya, harga beras internasional sedang turun, tapi harga sorgum naik. Petani bisa switch untuk mengembangkan komoditas yang harganya lebih baik,” katanya.