Jawa Pos

Tambah Pengeluara­n untuk Internet

Bila Murid Menjalani Program Belajar dari Rumah

-

SURABAYA, Jawa Pos − Program learning from home (LFH) atau belajar dari rumah oleh Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbu­d) di tengah pandemi Covid19 begitu terasa berat oleh sebagian besar masyarakat. Tidak hanya masalah kebutuhan internet yang begitu besar, tetapi daya serap materi siswa juga semakin sulit.

Itu pulalah yang dialami Nailah Rahmah. Sejak pukul 06.30, dia mulai mempersiap­kan diri untuk mengikuti kegiatan tartil Alquran melalui aplikasi Zoom dari rumah. Kegiatan tersebut rutin dilakukan sebelum memulai aktivitas belajar dari rumah di SMA Khadijah

Sekolah bisa memetakan dan m e n g klasifikas­i kan kondisi siswanya.”

LUTFI ISA ANSORI Kepala Cabang Dinas Pendidikan Sidoarjo-Surabaya Provinsi Jawa Timur

Kebetulan Nailah merupakan siswa kelas X. Dia adalah siswa baru yang belum merasakan pembelajar­an tatap muka langsung di sekolah. Bahkan, dia belum pernah berkenalan langsung dengan teman-teman baru di sekolahnya. Sejak diterima di sekolah, dia memulai aktivitas masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) hingga belajar melalui daring. ”Bertemunya dengan teman-teman baru dan guru ya lewat Zoom,” katanya.

Ya, kondisi tersebut memang tidak hanya dialami Nailah. Namun, juga dirasakan seluruh siswa di Indonesia. Selama pandemi Covid-19, seluruh aktivitas sekolah dialihkan melalui daring. Bagi siswa baru, hal itu tentu terasa sangat berbeda dan harus benar-benar penuh adaptasi. ”Sebenarnya, ada enaknya dan tidak sih kalau belajar lewat daring,” ujarnya.

Menurut Nailah, enaknya pembelajar­an daring adalah bisa lebih fleksibel dan sedikit santai. Namun, tidak enaknya, pembelajar­an daring membuatnya sulit memahami materi-materi mata pelajaran (mapel) yang diberikan guru. Selain itu, tidak bisa mengenal teman baru di sekolah. ”Tatap muka saja kadang susah memahami materi pelajaran. Apalagi lewat daring. Jadi, makin sulit memahami materi mapelnya,” kata dia.

Kemarin Nailah memulai aktivitas belajar dengan mengikuti kegiatan tartil Alquran melalui Zoom pukul 06.30.Kegiatante­rsebutberl­angsung 1,5 jam. Kemudian, kegiatan pembelajar­an daring dilanjutka­n dengan kelas mapel pendidikan kewarganeg­araan (PKn) pada pukul 10.00 melalui Zoom. Sekitar satu jam. ”Hari ini (kemarin, Red) kebetulan hanya dua kali kegiatan tatap muka daring melalui Zoom,” kata Nailah.

Nailah mengungkap­kan, biasanya jadwal sekolah dengan kegiatan Zoom dalam sehari dua hingga tiga kali tatap muka. Hal itu sangat bergantung pada jadwal mapel setiap hari. Setelah kegiatan melalui Zoom, baru dilanjutka­n pemberian tugas oleh guru. ”Jadi, kalau di sekolah saya, sudah ada jadwalnya. Dan semua diakses lewat e-learning milik sekolah. Nanti di website saya tinggal memasukkan nomor induk dan password,” ujarnya.

Di website tersebut, sudah ada semua akses untuk masuk Zoom, tugas harian, hingga perincian materi-materi mapel. ”Jadi, tugasnya dari program e-learning,” jelas dia.

Nailah mengatakan, sejak adanya kegiatan belajar dari rumah, orang tuanyamemi­lihuntukbe­rlangganan wifi dibandingk­an menggunaka­n kuota paket internet biasa. Sebab, kebutuhan akses internet makin masif. Mulai kegiatan Zoom hingga pengerjaan tugas. Ditambah, orang tuanya juga menggunaka­n banyak internet untuk pekerjaan selama masa pandemi Covid-19. ”Saya pakai wifi. Sebulan Rp 400 ribu unlimited,” ujarnya.

Nailah mengaku, sebelum ada pandemi Covid-19, di rumahnya tidak ada wifi. Namun, sejak pandemi dan kegiatan sekolah harus dilakukan lewat daring 100 persen, orang tuanya memutuskan untuk memasang wifi. ”Aku lihat teman-teman yang enggak punya wifi sampai kuotanya habis. Baru sehari beli kuota, sudah habis,” kata dia.

Apalagi, kalau saat kegiatan Zoom, guru memberikan intro terlalu lama. Kuota juga semakin banyak terpakai. ”Pernah teman saya cerita dari sekolah lain, saking lamanya menunggu kegiatan dimulai, kuota telanjur habis duluan. Akhirnya enggak bisa ikut,” ujarnya.

Sementara itu, salah seorang guru PAUD di Surabaya Atiqoh Hasan menyatakan cukup terdampak oleh pandemi Covid19. Dalam kegiatan belajarmen­gajar TK, guru diharuskan mengalihka­n kegiatan melalui daring. Dalam sebulan, yang tadinya hanya butuh Rp 100 ribu untuk kuota internet kini menjadi Rp 200 ribu. Itu sekitar 10 gigabite per bulan. ”Padahal, hanya untuk upload aplikasi sistem informasi manajemen (SIM) PAUD dispendik. Dan, kegiatan Zoom TK hanya seminggu sekali,” katanya.

Atiqoh menuturkan bahwa sebenarnya banyak orang tua/ wali murid yang mengingink­an kegiatan melalui daring. Namun, mereka terkendala dengan kuota internet. ”Jadi, akhirnya kegiatan daring hanya bisa dilakukan satu kali dalam seminggu,” ujarnya.

Sementara itu, belajar jarak jauh dengan sistem online yang sangat menyita bujet juga dialami Kurnia Widiastri. Ibu dua anak tersebut merasakan betul bahwa dana Rp 400 ribu habis untuk sekolah daring. Terlebih, bukan hanya anak yang mesti disediakan kuota internet besar. Namun, dia dan suami pun butuh kuota internet untuk melakukan rapat kantor lewat Zoom. ”Sebelum pandemi, cuma saya dan suami yang butuh internet. Itu pun 17 giga harga Rp 170 ribu baru habis sebulan dan masih sisa. Pas pandemi kuota segitu, seminggu saja sudah wassalam,” ujarnya.

Tidak semua masyarakat memiliki cukup banyak anggaran untuk memenuhi kebutuhan internet. Atika Sulastri misalnya. Dia terpaksa nebeng wifi tetangga sebelah rumah untuk mengakses internet. Setiap pagi dia menemani buah hatinya untuk pergi ke rumah tetangga. Setiap pukul 07.00, mereka stand by di depan rumah tetangga. Lantas, memulai belajar daring dengan ponsel seadanya yang dimiliki. ”Setiap hari bayar Rp 2 ribu. Lumayan membantu daripada pasang wifi sendiri terlalu mahal,” ungkapnya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia