Memacu Konsumsi, Menghindari Resesi
Covid-19 mengakibatkan resesi ekonomi di sejumlah negara di dunia, termasuk yang terbaru, yaitu Singapura dan Korea Selatan. Jatuhnya dua negara di Asia tersebut semakin membayangi Indonesia untuk terseret pada jurang resesi. Proyeksi dari Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II dipastikan negatif dengan perkiraan -4,3 persen. Indonesia masih punya kesempatan di triwulan III dengan mengoptimalkan sumber daya, salah satunya dengan memacu konsumsi, untuk menghindari resesi ekonomi.
Resesi ekonomi terjadi apabila dalam dua triwulan berturut-turut perekonomian mengalami kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif. Singapura dan Korea Selatan jatuh pada resesi karena pertumbuhan ekonomi di triwulan I dan II tahun 2020 bernilai negatif. Hal tersebut terjadi karena perekonomian Singapura dan Korea Selatan ditopang ekspor dan perdagangan. Ketika terjadi pandemi global, permintaan barang dan jasa di seluruh dunia mengalami penurunan yang mengakibatkan volume ekspor anjlok.
Indonesia pernah mengalami resesi pada 1998 dengan pertumbuhan ekonomi minus 13,68 persen. Jumlah penduduk miskin saat itu melonjak menjadi 49,50 juta orang atau meningkat 15,49 juta jika dibandingkan 1996. Bahkan, untuk kembali pada jumlah penduduk miskin sebelum krisis, diperlukan waktu lima tahun. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta jiwa dan diperkirakan meningkat. Agar peningkatannya tidak besar, kuncinya adalah pemulihan ekonomi pada triwulan III ini karena kemiskinan akan dihitung BPS pada September 2020 melalui survei sosial ekonomi nasional (susenas).
Perekonomian Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga dengan andil sebesar 56,62 persen pada 2019. Ekspor hanya berkontribusi 18 persen terhadap perekonomian Indonesia. Dengan begitu, menghindari pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan III dapat dilakukan dengan memacu konsumsi rumah tangga maupun mempercepat realisasi belanja pemerintah.
Meski net ekspor Indonesia bernilai positif dan mengalami peningkatan, hal tersebut disebabkan penurunan impor yang lebih besar dan bukan berasal dari lonjakan ekspor. Padahal, lebih dari 70 persen impor Indonesia merupakan bahan baku dan bahan penolong. Menurunnya impor itu menunjukkan bahwa produksi dalam negeri mengalami penurunan. Penurunan produksi dalam negeri tersebut terjadi akibat penurunan permintaan domestik maupun permintaan global.
Pengerahan semua sumber daya diperlukan saat ini untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. Pengendalian Covid-19 dan kegiatan ekonomi harus seiring sejalan agar pemulihan ekonomi lebih cepat dilakukan. Pembukaan kegiatan ekonomi harus diiringi dengan disiplin terhadap protokol kesehatan.
Berdasar data mobilitas penduduk yang diolah dari Google Covid-19 Community Mobility Reports, hingga pertengahan Juli 2020 pergerakan penduduk ke tempat kerja masih di bawah normal. Hal itu mengindikasikan bahwa meskipun sudah dilakukan pembukaan lagi, kegiatan penduduk belum kembali seperti
sebelum pandemi. Bahkan, ratarata kunjungan ke supermarket maupun pusat perbelanjaan masih di bawah 50 persen. Dengan tingkat kunjungan yang masih rendah tersebut, berat bagi pelaku usaha memperoleh keuntungan.
Di sisi lain, sektor tradisional akan lebih cepat pulih karena menyediakan kebutuhan pokok penduduk. Sedangkan sektor leisure akan lambat pulih karena pengeluaran untuk lei
sure kurang menjadi prioritas di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Membuka sektor hiburan seperti hotel, restoran, dan sektor pariwisata bisa dilakukan belakangan karena permintaan pada sektor itu akan meningkat seiring dengan keberhasilan pengendalian Covid-19. Di tengah pandemi ini, penduduk kelas atas akan lebih memilih menabung daripada berbelanja kebutuhan tersier. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatnya simpanan dana pihak ketiga di perbankan selama pandemi terjadi.
Bagi penduduk 40 persen terbawah, perpanjangan pemberian BLT dana desa hingga September merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan konsumsi penduduk. Ketepatan waktu penyaluran BLT dana desa menjadi syarat dalam mendorong pemulihan ekonomi. BLT dana desa harus sudah tersalurkan 100 persen hingga pertengahan September agar tidak kehilangan momentum dalam pemulihan ekonomi triwulan III.
Selain itu, bantuan yang sifatnya barang seperti bansos sembako maupun kartu sembako dalam kondisi saat ini lebih baik diberikan dalam bentuk tunai. Hal tersebut dilakukan agar keluarga penerima manfaat (KPM) lebih leluasa dalam berbelanja sehingga memberikan efek yang lebih besar dalam meningkatkan permintaan pada sektor informal. Sebanyak 61,03 persen penduduk rentan miskin di Indonesia bekerja pada sektor informal. Bahkan, untuk perkotaan seperti DKI Jakarta, penduduk hampir miskin yang bekerja pada sektor informal mencapai 75 persen. Kelompok rentan miskin tersebut bekerja sebagai ojek
online, pedagang kaki lima, serta penyedia makan dan minum pada skala mikro yang terdampak Covid-19.
Di samping itu, bukan hanya penduduk 40 persen terbawah yang diberi bantuan langsung tunai, melainkan juga penduduk kelas menengah harapan (aspiring middle class), yaitu kelas menengah yang rentan jatuh miskin. Menurut Bank Dunia, terdapat 115 juta orang pada kelompok itu di Indonesia. Perluasan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) hingga 60 persen oleh Kementerian Sosial sangat penting untuk meningkatkan cakupan penerima bantuan sosial.
Selanjutnya, yang juga tidak kalah penting adalah mendorong pengeluaran penduduk kelas menengah karena akan memberikan efek berganda yang lebih besar. Kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi penduduk di Indonesia sebesar 36,78 persen. Marginal propensity to consume (MPC)/kecenderungan untuk belanja dari kelas menengah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas bawah dan atas. Tingginya nilai MPC itu akan menimbulkan efek berganda (multiplier effect) yang lebih besar terhadap perekonomian. Apalagi, produksi barang dan jasa pada kelompok 40 persen terbawah sangat bergantung pada permintaan/ pengeluaran kelas menengah.
Karena itu, keputusan pemerintah untuk mencairkan gaji ke-13 PNS/ TNI/Polri dan pensiunan pada Agustus sangat tepat untuk mendorong konsumsi rumah tangga pada triwulan III. Kebijakan tersebut lebih efektif mendorong perekonomian dibandingkan jika dicairkan pada November. Bahkan, BUMN/BUMD dan sejenisnya juga perlu didorong untuk memajukan bonus yang biasa diberikan pada akhir tahun. Tujuannya, meningkatkan konsumsi penduduk.
Adanya kenaikan konsumsi akan mendorongpermintaandanproduksi barang dan jasa dalam negeri. Dalam kondisiinilahkebijakanmoneterseperti penurunan suku bunga akan efektif terhadappelakuusahauntukmeningkatkan produksinya. Penduduk yang bekerja pada sektor formal juga akan kembali bekerja sehingga perekonomian kembali pulih. Demikian juga pemberian bantuan modal terhadap UMKM dan koperasi akan efektif apabila dibarengi dengan peningkatan permintaan barang dan jasa di masyarakat.