Apresiasi terhadap Perma Pedoman Pemidanaan
INISIATIF Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi patut diacungi jempol. Hal itu akan memudahkan hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi berdasar bobot kerugian negara. Sebab, salah satu tujuan perma tersebut adalah menghindari perbedaan alias disparitas perkara tindak pidana korupsi (tipikor). Nanti koruptor yang terbukti merugikan negara Rp 100 miliar bisa dipidana paling berat seumur hidup.
Perma itu ditandatangani Ketua MA Syarifuddin dan diundangkan pada 24 Juli 2020. Perma tersebut berlaku untuk terdakwa korupsi yang dijerat dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor. Prinsipnya, terdakwa merugikan keuangan negara. Perma itu membagi lima kategori. Pertama, kategori paling berat dengan kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar. Kedua, kategori berat dengan kerugian negara Rp 25 miliar hingga Rp 100 miliar. Ketiga, kategori sedang, yaitu kerugian negara Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar. Keempat, kategori ringan dengan kerugian negara Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. Dan, kelima, kategori paling ringan, yaitu kurang dari Rp 200 juta.
Perma itu juga diharapkan dapat diikuti KPK atau kejaksaan dalam menyusun surat tuntutan. Bobot tuntutan sebaiknya mengacu pada perma tersebut sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam pengajuan tuntutan dengan mempertimbangkan perma itu.
Hanya, yang dikritik adalah tidak semua pasal tipikor tercakup dalam perma tersebut. Sebut saja pasal suap-menyuap, pemerasan bermotif korupsi, gratifikasi, dan tindak pidana korupsi lain. Padahal, tindak pidana itu ujungujungnya merugikan negara selain praktik penyalahgunaan jabatan.
Meski demikian, ’’lubang’’ tersebut menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum untuk makin inovatif dalam penemuan hukum terhadap tindak pidana turunan dari korupsi. Aparat penegak hukum tidak harus berpangku tangan saja. Mereka harus tetap memiliki visi yang sama, yakni menjerat pelaku korupsi menggunakan pasal-pasal sesuai dengan bobot pembuktian.
Selain itu, jangan sampai perma tersebut menjadi pemicu semakin maraknya tindak pidana berkaitan dengan keuangan negara yang nilai kerugiannya kecil. Sebab, kasus korupsi kurang dari Rp 200 juta nanti hanya dikategorikan mendapat hukuman paling ringan. Lalu, bagaimana dengan pelaku korupsi senilai Rp 100 juta ke bawah? Kalau tidak diantisipasi, dikhawatirkan pelaku kejahatan keuangan negara akan memecah nilai kasusnya dengan kecil-kecil yang ujung-ujungnya tetap merugikan negara. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum.