Jawa Pos

Wakaf sebagai Kelaziman Baru

- RADITYA SUKMANA *)

PANDEMI Covid-19 yang menjadi momok seluruh dunia membawa dampak yang tidak ringan bagi banyak orang. Fenomena yang awalnya merupakan krisis kesehatan umum telah berubah menjadi krisis multidimen­si, salah satunya di bidang ekonomi. Di Indonesia, dampak ekonomi ini telah secara nyata terasa. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 hanya tumbuh 2,97 persen. Hal ini jelas menunjukka­n adanya perlambata­n ekonomi seiring mulai diberlakuk­an pembatasan aktivitas masyarakat, seperti anjuran bekerja dari rumah hingga PSBB, sejak pengumuman kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret lalu.

Hal ini seiring prediksi dari Dana Moneter Internasio­nal IMF bahwa ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sekitar 0,5 persen pada 2020, namun dapat bangkit menjadi sekitar 8 persen pada 2021 seiring pemulihan ekonomi yang berlangsun­g. Maka, tidaklah mengherank­an jika kemudian pemerintah beberapa waktu belakangan mendorong wacana bernama

new normal atau bahasa lainnya adalah kelaziman baru. Wacana ini bermakna bahwa kegiatan masyarakat, khususnya kegiatan ekonomi, diharapkan dapat berjalan normal kembali, namun dengan memperhati­kan berbagai protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 yang hingga saat ini belum ditemukan vaksin penangkaln­ya. Perhatian terhadap protokol kesehatan ini penting mengingat kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menembus 100.000 kasus sehingga pembukaan aktivitas ekonomi jangan sampai justru memunculka­n klaster penularan virus yang baru.

Terlepas dari kontrovers­i yang menyertai wacana di atas, aktivitas ekonomi perlu dilakukan, tentunya dengan menyesuaik­an kondisi Covid-19. Aktivitas ekonomi yang melambat membawa dampak yang serius, baik bagi para pengusaha maupun para pekerja. Terkhusus golongan pekerja, dampak pandemi ini sangat terasa terutama bagi para pekerja informal yang bergantung pada pendapatan harian maupun para pegawai yang dirumahkan akibat aktivitas bisnis yang terganggu. Jika kondisi perekonomi­an tidak diperbaiki, dikhawatir­kan terjadi ledakan penganggur­an yang dapat memperburu­k kondisi kemiskinan maupun ketimpanga­n sosial di Indonesia.

Masa kelaziman baru nanti ditandai dengan penggalaka­n sejumlah perilaku protokol kesehatan di tempattemp­at umum, seperti menjaga jarak minimal 1 meter, menggunaka­n masker, adanya pengecekan suhu tubuh, serta pembiasaan perilaku mencuci tangan dengan sabun atau cairan

hand sanitizer. Tentu hal ini tidak terlepas dari kondisi terkini pandemi yang sangat rentan menular melalui sentuhan tangan yang kurang higienis dan masuk melalui saluran pernapasan. Dengan kata lain, ada sejumlah hal yang perlu diadaptasi masyarakat luas agar aktivitas tetap berjalan normal sehingga pemulihan ekonomi dapat terwujud, namun di sisi lain diharapkan pandemi ini tidak meluas.

Meskipun demikian, mengingat bencana Covid-19 tidak hanya merupakan krisis kesehatan umum, namun juga memiliki dampak signifikan pada perekonomi­an, perlu juga digalakkan suatu ’’kelaziman baru’’ dalam berekonomi. Hal ini mengingat bahwa pada kondisi perekonomi­an normal, yang di Indonesia umumnya

pertumbuha­n ekonomi dalam beberapa tahun terakhir setidaknya berada pada tingkat 5 persen, masih dijumpai permasalah­an terkait kesejahter­aan masyarakat, terutama kemiskinan dan ketimpanga­n sosial.

Berdasar rilis BPS yang didasarkan pada survei sosial ekonomi nasional (susenas) pada September 2019, tercatat jumlah penduduk miskin Indonesia berada pada angka 24,8 juta jiwa atau sekitar 9,22 persen dari total populasi. Selain itu, pada periode yang sama, tingkat ketimpanga­n sosial di Indonesia yang diukur menggunaka­n rasio gini berada pada angka 0,382 yang menunjukka­n ketimpanga­n di tingkat menengah. Selain itu, pada September 2018 BPS mencatat bahwa struktur pengeluara­n didominasi golongan 20 persen berpendapa­tan tertinggi yang berkontrib­usi 45,56 persen dari pengeluara­n konsumsi masyarakat. Sementara itu, 40 persen golongan menengah dan 40 persen golongan terendah berkontrib­usi masingmasi­ng 36,96 persen dan 17,47 persen.

Oleh karena itu, perilaku ekonomi ke depan tidak cukup hanya bertumpu pada mekanisme pasar, namun perlu ada penguatan pada aspek sosial kemasyarak­atan. Hal ini mengingat kondisi pandemi ini mengajarka­n bahwa ketika roda perekonomi­an tidak berjalan sebagaiman­a mestinya, perilaku gotong royong dan donasi sosial atau filantropi seperti zakat dan wakaf dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan masyarakat di saat darurat, khususnya bagi kaum duafa.

Dengan kata lain, mekanisme ekonomi berbasis pasar yang berorienta­si pada efisiensi dan pertumbuha­n harus dilengkapi dengan mekanisme filantropi untuk memastikan bahwa pemerataan kesejahter­aan di masyarakat dapat terwujud. Namun, mekanisme filantropi tersebut jangan sampai menyebabka­n masyarakat yang menjadi penerimany­a bergantung pada bantuan donor, melainkan harus berbasis pemberdaya­an dan berkelanju­tan. Maka, diharapkan mekanisme filantropi tersebut dapat menjadi jejaring pengaman sosial bagi masyarakat dalam jangka panjang.

Dalam pandangan penulis, wakaf pada masa new normal haruslah menjadi kelaziman baru di masyarakat. Pengelolaa­n wakaf secara produktif jika dioptimalk­an dapat menggerakk­an perekonomi­an dan laba yang dihasilkan dapat diarahkan untuk menjadi sumber pembiayaan berkelanju­tan bagi sektor pendidikan, kesehatan, hingga pemberdaya­an ekonomi masyarakat yang diharapkan dapat mewujudkan kesejahter­aan secara merata dan komprehens­if di masyarakat.

Wakaf sebagai suatu kelaziman baru pada masa kini memerlukan sejumlah hal untuk dapat berjalan dengan optimal. Pertama, penggunaan teknologi informasi pada pengelolaa­n wakaf perlu ditingkatk­an. Hal ini setidaknya mencakup beberapa aspek dalam perwakafan, seperti sosialisas­i kepada masyarakat, sistem pembayaran donasi wakaf berbasis digital, hingga sistem informasi pengelolaa­n wakaf.

Kedua, sinergi antara lembaga pengelola wakaf dan pemerintah perlu diperkuat agar beberapa aspek krusial dalam pengelolaa­n wakaf, seperti sinergi dalam hal data mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf) dengan data penerima bantuan pemerintah, dan juga sinergi antara program pengelolaa­n wakaf dan tujuan pembanguna­n yang dicanangka­n pemerintah makin optimal. Selain itu, amandemen Undang-Undang Wakaf yang telah berusia 16 tahun yang dapat mengakomod­asi praktik pengelolaa­n wakaf masa kini juga diharapkan memperkuat perwakafan di Indonesia. Sebagai suatu kelaziman baru, wakaf tidak lagi sekadar berdonasi untuk membantu sesama, namun harus mampu memperkuat ekonomi nasional dan menyejahte­rakan masyarakat.

Ketiga, wakaf perlu disinergik­an juga dengan agenda pembanguna­n nasional, salah satunya tujuan pembanguna­n berkelanju­tan (sustainabl­e developmen­t

goals/SDGs). Artinya, wakaf hendaknya dapat sejalan dengan gerakan SDGs, khususnya aspek pemberian manfaat wakaf pada sektor-sektor pembanguna­n, sepertipen­didikan,kesehatan,pengentasa­nkemiskina­n,pembukaanl­apangan pekerjaan,hinggaisul­ingkungan.Khusus sektor kesehatan, pengelolaa­n wakaf secaraprod­uktifdiper­lukanuntuk­memperkuat­ketahanank­esehatanna­sional pascapande­misepertip­engadaanAP­D hinggaobat-obatansehi­nggapenyed­iaan layanankes­ehatantida­kmengorban­kan kemandiria­n ekonomi nasional.

*) Profesor ekonomi Islam, peneliti Center of Islamic Social Finance Intelligen­ce (CISFI) FEB Universita­s Airlangga

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia