Atur Akses Difabel di Permukiman dan Layanan Publik
JAKARTA, Jawa Pos – Satu per satu regulasi yang memudahkan akses penyandang disabilitas (difabel) terbit. Menyusul PP 39/2020 tentang akses di bidang hukum, pemerintah mengeluarkan PP 42/2020 tentang akses penyandang disabilitas di layanan umum. Baik di permukiman, layanan publik, maupun penanggulangan bencana.
Beberapa hal yang diatur dalam PP tersebut, antara lain, penyediaan berbagai fasilitas yang bisa mendukung akses bagi difabel. Dimulai dari lingkungan permukiman. Pengembang diminta menyediakan fasilitas dan mencantumkannya sejak berupa rencana tapak dan teknis. Itu menjadi kewajiban pengembang sebagai salah satu syarat pembangunan permukiman.
Hal-hal yang disesuaikan hanya yang terkait dengan fasilitas umum di dalam permukiman tersebut. Mulai trotoar, penyeberangan, hingga akses air minum dan toilet umum (lihat grafis). Berlaku pula di gedung-gedung perkantoran. Sejak dari luar gedung hingga di dalam harus ada akses bagi penyandang disabilitas.
Di layanan publik, pihak penyedia layanan harus menyiapkan berbagai akses sesuai kebutuhan semua jenis disabilitas. Mulai akses informasi, pendampingan, hingga penyesuaian di moda-moda transportasi. Dalam hal penanggulangan bencana, penyandang disabilitas akan mendapatkan prioritas dalam evakuasi. Pemerintah juga diwajibkan membangun tempat pengungsian yang semua fasilitasnya mudah diakses penyandang disabilitas.
Anggota Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas Fajri Nursyamsi menjelaskan, beberapa PP yang baru diterbitkan merupakan tindak lanjut regulasi di atasnya, yakni UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. PP tersebut mengatur ketentuan yang lebih detail dan akan diimplementasikan dalam bentuk peraturan menteri. ”Itu sebagai SOP, sebagai juknis,” ucap dia kemarin.
Bahkan, Kementerian PUPR sudah lebih dahulu mengeluarkan peraturan menteri terkait disabilitas. Itu menjelaskan dengan detail spesifikasi berbagai fasilitas untuk diakses penyandang disabilitas. Mulai desain hingga ukuran. ”Ke depan, aksesibilitas itu harus masuk ke IMB (izin mendirikan bangunan),” lanjutnya.
Selama ini kelemahan utama dalam penyediaan akses tersebut adalah pengetahuan pengembang. Misalnya dalam penyediaan ubin pemandu bagi tunanetra. Menurut Fajri, masih cukup banyak pengembang yang tidak mengerti fungsinya.
Bahkan, pihaknya mendapati ada ubin pemandu yang dipasang zig-zag karena dikira hiasan. Ada pula yang menganggap itu sebagai pembatas bagi pedagang yang hendak menggelar lapak di trotoar. Meski demikian, semakin banyak pula pengembang yang sadar akan pentingnya aksesibilitas tersebut.