Jawa Pos

Politik Dinasti dalam Pilkada

- *) Guru besar Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya Oleh BIYANTO *)

PILKADA 2020 akan dilaksanak­an secara serentak di 270 kabupaten/ kota. Untuk mematangka­n persiapan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyusun tahapan pilkada serentak yang akan dilaksanak­an pada 9 Desember 2020. Tahapan pilkada telah dimulai pada 15 Juni 2020 dengan kegiatan utama penyusunan daftar pemilih. Tahapan ini tergolong krusial karena acap kali menjadi pemicu perdebatan antarcalon dalam pilkada.

Para calon yang akan running dalam pilkada juga mulai mengatur strategi pemenangan. Pembentuka­n tim pemenangan terus dimatangka­n untuk memperkuat basis dukungan. Tentu tidak mudah memenangka­n persaingan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Langkah penting yang harus dilalui calon kepala daerah adalah memperoleh rekomendas­i partai sebagai kendaraan politik. Untuk memperoleh rekomendas­i, pasti membutuhka­n perjuangan yang luar biasa. Rekomendas­i partai juga tidak diperoleh secara gratisan.

Hampir pasti ada mahar politik di balik pemberian rekomendas­i partai. Pada konteks itulah seorang calon kepala daerah harus benar-benar ’’bergizi”. Modal gizi ini penting untuk memenangka­n pertarunga­n yang sangat keras dalam setiap tahapan pilkada. Karena faktor ’’gizi” itulah seseorang yang telah berkorban dan berpeluh keringat membesarka­n partai sering kali tidak memperoleh kesempatan menjadi calon dalam pilkada. Kader-kader partai dipaksa mengalah kepada pendatang baru yang memiliki modal finansial dan popularita­s.

Di samping bermodal finansial dan popularita­s, calon dalam pilkada harus memiliki kedekatan dengan pimpinan partai atau elite penguasa. Modal kedekatan sangat menentukan karir politik seseorang. Kedekatan itu dapat dimaknai adanya hubungan keluarga, kekerabata­n, politik, ideologi, golongan, dan bahkan bisnis. Penentuan rekomendas­i berdasar faktor kedekatan calon kepala daerah dengan pimpinan partai dan elite penguasa itulah yang menjadikan budaya politik dinasti tumbuh subur.

Fenomena politik dinasti yang terus menguat dalam pilkada serentak jelas menjadi tantangan di tengah keinginan untuk menyemai nilainilai demokrasi. Sebagaiman­a diberitaka­n banyak media, sejumlah anggota keluarga dan kerabat elite penting negeri ini mendeklara­sikan diri maju dalam pilkada. Di antara elite politik dan penguasa bahkan turut mempersiap­kan mereka dengan mencarikan kendaraan politik melalui sejumlah partai.

Semua jalan akan dilakukan asalkan keluargany­a sukses menjadi calon dalam pilkada. Modus politik dinasti juga dilakukan elite partai dan penguasa dengan menempatka­n orangorang yang masih berhubunga­n darah, keturunan, atau kekerabata­n sebagai pejabat publik. Penguasa juga menempatka­n orang-orang kepercayaa­n untuk menduduki posisi penting di pemerintah­an. Semua itu dilakukan karena mereka tidak ingin kehilangan momentum.

Yang menyedihka­n, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Misalnya, dikatakan bahwa pencalonan keluarga dan kerabat dalam pemilu tidak dilarang undang-undang. Dalam alam demokrasi prosedural sekarang, makekuasaa­n,

syarakat seakan diberi peran. Padahal, jika diamati secara saksama, jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan. Masyarakat dipaksa untuk memilih calon-calon yang direkomend­asikan partai berdasar asas politik dinasti.

Dalam perspektif Ibn Khaldun (1332–1406), politik dinasti dinamakan

ashabiyah (feeling group). Ibn Khaldun

dalam The Muqaddimah an Introducti­on to History (1998) menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Hal itu karena umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang-orang yang memiliki hubungan kekerabata­n sebagai bawahan. Tetapi, Ibn Khaldun mengingatk­an bahaya politik ashabiyah. Ibn Khaldun menyatakan bahwa politik ashabiyah pada saatnya dapat mengakibat­kan kehancuran negara.

Dalam konteks budaya modern, praktik politik ashabiyah juga menjadi persoalan serius. Apalagi jika politik

ashabiyah dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Coba bayangkan bagaimana jika terjadi di daerah tertentu seorang bapak atau ibu menjadi kepala daerah, sedangkan anak atau menantunya sebagai pimpinan DPRD. Dalam kondisi itu, fungsi kontrol dari legislatif pasti terganggu karena ada konflik kepentinga­n (conflict of interest).

Pertanyaan­nya, mengapa terjadi fenomena politik dinasti terus membudaya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat menganalog­ikan dengan kisah pengusiran Nabi Adam dan Hawa dari surga. Mengapa keduanya terusir dari surga? Jawabnya, karena mereka tergoda bujuk rayu setan. Sejak lama setan memendam kedengkian kepada Adam. Setan pun mencari jalan untuk menggelinc­irkan Adam. Setan lantas menemukan cara dengan merayu agar Adam dan Hawa makan buah dari

syajarah al-khuldi (pohon keabadian). Menurut bisikan jahat setan, jika Adam dan Hawa mau makan buah khuldi, keduanya akan merasakan kenikmatan surga dalam waktu yang lama. Keduanya juga dijanjikan memperoleh kekuasaan yang abadi. Singkat kisah, Adam dan Hawa akhirnya tergoda bujuk rayu setan. Keduanya memakan buah keabadian. Akibatnya, keduanya harus menerima kenyataan terusir dari surga (QS Thaha: 120–121).

Setidaknya ada dua pelajaran penting yang dapat diambil. Pertama, umumnya manusia sangat mudah tergoda kekuasaan yang dipersepsi dapat membawa kenikmatan hidup di dunia secara instan. Orang yang memiliki syahwat politik tinggi pasti akan selalu berpikir untuk menikmati kekuasaan dalam waktu yang lama.

Kedua, selalu ada kecenderun­gan penguasa mempertaha­nkan kekuasaann­ya. Sebab, untuk memperoleh seseorang harus berjuang dan menyiapkan modal yang besar. Jika karena perundang-undangan kekuasaan harus berpindah tangan, maka selalu diusahakan agar kekuasaan jatuh pada suami, istri, anak, menantu, kerabat, dan teman dekatnya.

Selain bertujuan agar kekuasaan tidak berpindah tangan, strategi mencalonka­n orang-orang terdekat dalam pemilu untuk menjamin dirinya selamat dari persoalan hukum pasca tidak berkuasa. Sejumlah alasan itulah yang menjadikan politik dinasti tumbuh subur. Karena budaya politik dinasti sangat berbahaya, pemerintah dan legislatif harus membuat regulasi yang tegas tentang boleh tidaknya kerabat dekat petahana maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif.

Peraturan itu penting untuk meminimalk­an praktik politik dinasti. Budaya politik dinasti pada saatnya juga mengganggu proses checks

and balances antar-lembaga negara. Fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal jika sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga besar. Padahal, untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol sangat penting.

Jika kontrol terhadap pemerintah lemah, budaya kolutif dan koruptif akan tumbuh subur. Bahaya jangka panjang dari budaya politik dinasti itulah yang harus menjadi perhatian semua elemen bangsa. Pada konteks itulah budaya politik dinasti dalam pilkada serentak 2020 penting diwaspadai. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia