Pengaruh Pandemi terhadap Pilpres AS
PILPRES Amerika Serikat (AS) akan digelar pada awal November 2020. Dunia memonitor secara saksama, menunggu siapa yang akan memimpin negara adidaya ini –atau ada yang menyebutnya sebagai ’’the strongest nation on earth. Karena meskipun banyak pengamat yang mengatakan bahwa peran AS di dunia menurun, tetap diakui bahwa siapa yang menjadi presiden AS nanti sangat berpengaruh di konstelasi politik dan ekonomi global.
Namun, di negara adidaya yang menjadi referensi dunia di bidang ilmu pengetahuan, budaya masa kini atau pop culture, ekonomi, dan politik ini, menjelang pilpres masyarakatnya terbelah. Yakni, antara ’’kami” dan ’’mereka”; antara kulit putih dan kulit berwarna.
Pengotak-ngotakan itu dewasa ini malah meningkat karena presidennya sendiri, Donald Trump, dianggap rasis, membela supremasi kulit putih. Akhir-akhir ini perasaan perbedaan ras itu bertambah kentara setelah seorang pria kulit hitam George Floyd meninggal karena tidak bisa bernapas saat lehernya ditekan seorang polisi yang menangkapnya dengan menggunakan lututnya selama 8 menitan. Kejadian itu dianggap sebagai tindakan tidak adil polisi (pemerintah) terhadap masyarakat kulit hitam. Lalu, demonstrasi terjadi di mana-mana. Kejadian itu juga menginspirasi masyarakat negara-negara Eropa untuk melakukan demonstrasi menentang ketidakadilan, terutama soal ras.
Wapres era Obama yang juga politikus Partai Demokrat, Joe Biden, mungkin melihat kondisi itu sebagai peluang bagi dirinya dengan memilih seorang senator perempuan Kamala Devi Harris yang lahir di California dan keturunan India –agar dapat menarik pemilih kulit berwarna. Trump dalam press briefing di Gedung Putih mengatakan, Kamala Harris tidak berhak menjadi cawapres karena orang tuanya imigran.
Pernyataan yang bersifat rasis itu tentu mendapat kritik tajam dari banyak pihak. Dia secara halus melakukan serangannya terhadap Kamala Harris dengan mengatakan, ’’I have no idea if that’s right, I would’ve – I would have assumed the Democrats would have checked that out before she gets chosen to run for vice president. That’s very serious.” Pada waktu kampanye Pilpres 2016, Trump juga menanyakan akta kelahiran Obama karena dia meragukan Obama bukan Amerika ’’tulen”. Bahkan, pengikutnya menuduh Obama itu beragama bukan agama mayoritas rakyat AS.
Sheldon Goldman, seorang profesor terkemuka di bidang ilmu politik dari University of Massachusetts, Amherst, mengatakan, pernyataan yang meragukan soal status warga negara Kamala Harris itu 100 persen palsu. Karena dalam amandemen ke-14 UU AS sudah disebutkan secara jelas tentang definisi warga negara AS, yaitu siapa pun yang lahir di AS adalah seorang warga negara AS terlepas di mana orang tuanya lahir. Persoalan itu lalu menjadikan terbelahnya masyarakat AS bertambah lebar.
Situasi politik panas menjelang pilpres adalah hal yang wajarwajar saja. Namun, di AS, situasi itu menjadi lebih panas. Banyak pihak menuduh pemerintahan Trump tidak serius menangani Covid-19 karena jumlah warga yang terkonfirmasi positif terpapar korona pada Agustus 2020 ini sudah mencapai 5 juta orang lebih (dunia: 21 juta lebih) dan yang meninggal dunia akibat virus mematikan ini terus bertambah hingga lebih dari 165 ribu orang (dunia: 765 ribu lebih).
Saya teringat ketika mengikuti diskusi Zoom Ikatan Alumni Unair, ada seorang guru besar FK Unair yang mengatakan, banyaknya orang yang terkena virus korona dan meninggal di Surabaya Raya disebabkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Beliau dalam paparannya mengatakan, ’’We are fighting two pandemics: coronavirus and stupidity.” Yang dikatakan beliau itu ternyata juga terjadi di AS, masih banyak orang yang ngeyel tidak mematuhi protokol kesehatan. Dan, lagi-lagi pemerintahnya yang dituduh tidak becus menangani persebaran wabah ini. Karena itu, lawan politiknya menyerukan kepada pemilihnya untuk tidak memilih Trump lagi.
Situasi pandemi seperti ini tentu akan berpengaruh terhadap proses pemungutan suara karena sesuai protokol kesehatan yang membatasi kerumunan massa. Pemilih sulit datang ke TPS. Trump mendapat kritik dari lawanlawannya karena pernah mengusulkan penundaan pilpres lantaran adanya pandemi ini. Sebaliknya, Partai Demokrat mendesak pemerintahan Trump untuk tidak menunda pilpres. Mereka juga meminta Trump menyuntikkan dana kepada kantor pos AS agar dapat menjalankan tugasnya karena di tengah pandemi ini, akan banyak pemilih yang memberikan suaranya lewat pos.
Secara umum di AS ada istilah absentee voting, yaitu pemilihan lewat surat. Dalam sejarahnya, ketika ada perang saudara di AS, banyak tentara yang berada di negara bagian lain yang tidak bisa hadir di TPS. Mereka diperkenankan memilih lewat surat yang dikirim kantor pos. Dalam perkembangannya, praktik itu berlaku bagi pemilih yang tidak bisa hadir seperti orang cacat dan orang tua. Ada juga istilah vote by mail, yaitu praktik memilih orang yang tidak memiliki alasan tidak bisa hadir. Namun, dua-duanya tetap memakai jasa kantor pos.
Trump menolak desakan Partai Demokrat untuk menyuntikkan dana kepada kantor pos karena menganggap praktik vote by mail memungkinkan adanya kecurangan. Sebaliknya, Demokrat menuduh Trump mengganggu pelaksanaan pilpres karena khawatir kalah.
Yang menarik dari pilpres AS ini adalah hasil akhir pemilihan. Seperti menonton pertandingan sepak bola, kita tidak bisa memastikan siapa yang menang –bola itu bundar, begitu banyak orang mengatakan. Karena kesebelasan yang kuat pun belum tentu menang. Demikian juga di pilpres AS, agak sulit kita mengatakan bahwa calon yang elektabilitasnya tinggi akan memenangi pertandingan. Saat ini Joe Biden dalam polling mengungguli Trump yang pamornya menurun. Tapi, saya ingat ketika menyaksikan sendiri pilpres AS pada November 2016, berkeliling ke beberapa negara bagian di AS, waktu itu Hillary Clinton dari Demokrat unggul dalam polling dibandingkan Trump. Tapi, di ’’injury time”, Trump mampu membalikkan keadaan dan dia menang.
Apakah pada pilpres November 2020 ini kejadian seperti itu terulang.
Wallahu a’lam. (*)
Pemerhati politik internasional, alumnus University of London