Ladang Kelahi di Media Sosial
SEBUAH utas cuitan seorang pengguna media sosial Twitter tentang bahaya omnibus law segera disambar dengan sumpah serapah. Cuitan pendek dengan info grafis data-data itu tidak mengundang diskusi sehat yang diharap-harapkan, tapi dihujani kecaman seolaholah di sana sedang dibagi sebuah ide yang hina. Ini tentu bukan kali pertama atau satu-satunya, dan hampir-hampir mustahil berhenti di sana. Kita dapat merunut kejadian serupa dengan pola yang sama: Anda tak bisa lagi bicara atau menulis dengan tenteram tanpa mengkhawatirkan serbuan kalimatkalimat beringas.
Demikian tajamnya orang menghambur-hamburkan caci maki yang tak perlu di media sosial menampakkan perkembangan yang penting dalam bermedia. Kita harus menjelaskan mengapa di hadapan layar tubuh dan pikiran kita terpaku tiba-tiba dan didikte oleh amarah yang menginterupsi akal sehat. Media sosial disulap sebagai ladang perkelahian baru, yang dengan sewenangwenang dipakai untuk menghakimi, mengatur isi pikiran dan sikap politik orang. Orang hanyut oleh keasyikan perang makian dan perdebatan tak tentu sambil melupakan hal-hal substansial di sana: penghormatan atas martabat dan perbedaan.
Maka, gagasan media sosial dan internet sebagai ruang publik yang mengantarai kesetaraan dan penghormatan mendadak lesu.
Akrobatik sumpah serapah di ruang media sosial kita tak pernah bisa diramal hingga serunyam ini. Moore (2018) menyadari risiko ini dengan memperhatikan kemunculan tiga tren penting dalam ekosistem teknologi informasi kontemporer.
Pertama, ilusi kebebasan absolut dalam internet telah melahirkan budaya mencerca (lulz culture), yang diwujudkan dalam wujud pesan-pesan agresif dan beracun (menghina ras, gender, fisik, ideologi, orientasi seksual) yang mengejek, dan menjadikan penderitaan orang atau kelompok lain sebagai dosis kesenangan sehari-hari. Tren ini bermula dari forum-forum diskusi daring yang menjamur dan menghadirkan kebebasan mengemas pesan, yang pada gilirannya menularkan gaya tertentu dalam berkomunikasi di internet. Pada konteks sekarang, kita melihat dengan vulgar bagaimana akun Instagram seorang selebriti yang dihajar dengan hinaan atas apa pun yang melekat pada dirinya, kekurangan fisik, pakaian, atau karirnya. Tren ini juga membawa kecenderungan untuk melucuti identitas orang tertentu dalam rangka mempermalukannya. Belakangan kita mengenal hal ini dengan sebutan ’’doxing’.’
Kedua, budaya mencerca yang masif itu selanjutnya menciptakan bahan baku penting dalam membentuk pasukan hiper-partisan yang dipakai oleh elite politik dalam memolarisasi pendapat di dunia maya. Maka, kini kita tak perlu heran dalam melihat perang makian dalam dukung-mendukung idola politik tertentu. Tujuan besarnya: menarik perhatian seluas-luasnya netizen atas isu dan kekurangan yang sedang diekspos.
Ketiga, sikap hiper-partisan itu lalu mengundang orang ke tahap lain yang tak pernah diduga-duga sebelumnya: disinformasi. Konsep ini secara singkat berarti upaya untuk memalsukan informasi tertentu untuk secara sadar melukai atau merugikan orang lain. Moore (hal 80) mencatat, usaha pertama dan sistematis dalam memainkan disinformasi ini justru datang dari agensi pemerintah Rusia, yang menciptakan robotrobot internet otomatis untuk memelintir fakta dan membakar amarah melalui media sosial.
Tiga tren itu kini menghampiri kita. Celakanya, kita tak pernah punya bekal yang cukup dalam mengantisipasi perkembangan seekstrem sekarang. Kita tak bisa berbuat apa-apa di hadapan sepasukan pendukung fanatik tanpa identitas yang menyerang membabi buta apa pun yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Segala peristiwa politik diperbincangkan di sana dengan titik berat emosional dan fanatisme kelompok masing-masing, sambil meninggalkan fungsi akal sehat.
Negara memang berusaha memadamkan perkelahian kata-kata itu lewat perangkat norma. Orang mulai dituntut atas ujaran kebencian, atau penghinaan, atau pencemaran nama baik. Tapi, perdebatan tetap masif dan sampah-sampah virtual tak henti-hentinya terus dibagi. Ada kecenderungan untuk memelihara kekeruhan situasi itu atas nama politik, dan ilusi bahwa internet berarti kemerdekaan telah demikian dalam membius kita. Ilusi itu membuat kita semua mengira tak akan ada tekanan dan paksaan di sana, serta bahwa kita semua adalah unit individu yang merdeka sepenuh-penuhnya. Imajinasi ini membawa kesadaran bahwa satu manusia dapat menempatkan dirinya di atas yang lain, atas nama kemerdekaan. Tak ada yang melarang orang untuk bicara nama-nama penghuni kebun binatang yang dimuntahkan untuk menyerapahi satu peristiwa politik, sebagaimana tak ada yang protes tatkala yang satu melawan yang lain dengan argumentasi dangkal tetapi beringas. Semuanya terjadi begitu saja tanpa kita pertanyakan lagi.
Adakah kita menuju sebuah fase anomie politik dengan pesan-pesan palsu yang mengepung –masa di mana tak ada pegangan prinsipil apa pun yang dapat dirujuk?
Kita memang masih bisa berharap pada kredibilitas sumber-sumber intelektual. Tapi, polarisasi pendapat yang tajam telah melukai intelektualisme: menghinanya dengan sebutan buzzer. Orang menjadi waspada dan tak percaya pada sikap ilmiah. Data dan statistik mudah dimanipulasi dan analisis dapat digiring sesuai dengan pesanan narasi macam apa pun.
Kita lupa bahwa kita sedang menyiapkan bahan baku paling vital bagi pasar politik yang dikendalikan elite: konflik. Konflik dan fragmentasi macam ini diidam-idamkan sebagai kondisi yang mendorong pembajakan suara di akar rumput untuk kepentingan tertentu. Perbedaan sengaja dibakar karena destabilisasi sosial akan bermanfaat besar ketika digunakan sebagai peluru politik. Pendeknya, kita yang saling membakar diri ini adalah tumbal cuma-cuma yang dijual dengan harga mahal. Dan media sosial mendemonstrasikan itu dengancaranyayangpalingtelanjang: kebebasan yang menipu pikiran siapa pun dan membelokkannya menjadisenjatayangsalingmenikam. Pelantapipasti,kitatelanjurmengimanibahwaagresiadalahpertahanan terbaik, demi memenangkan hasrat masing-masing.
Mendamba media sosial sebagai ruang publik yang independen pada akhirnya tampak sebagai cita-cita yang terlalu lugu. (*)
*) Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya