Jawa Pos

Seminggu Hanya Dijatah Satu Masker N95

-

ANGKA kematian dokter akibat Covid-19 yang terus bertambah membuat dokter spesialis paru di Jakarta Eva Sri Wardana merasa waswas. Bukan hanya karena virus yang bisa menular kapan pun, tapi juga karena ”peralatan perang” yang minim J

”Saya bekerja dengan APD (alat pelindung diri, Red) yang tidak memadai,” keluhnya kemarin.

Eva bercerita bahwa dirinya bekerja di dua rumah sakit (RS). Belum lagi harus jaga bergantian di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran. Di sisi lain, APD yang diberikan minim. Dia mencontohk­an masker N95 yang hanya diberikan satu buah untuk seminggu. Padahal, masker itu idealnya harus sering diganti.

”Dokter umum dan perawat ada yang hanya diberi satu masker bedah untuk sehari dan baju biasa. Akhirnya beli sendiri,” ujarnya. Dia merasa lebih beruntung karena mampu membeli APD sendiri. Saat ini di mobilnya ada banyak APD.

Selain soal APD, beban kerja pun tinggi. ”Aturannya kerja 8 jam sehari, kenyataann­ya bisa 7 x 24 jam,” ungkapnya. Bahkan, ketika baru sampai rumah, tak jarang Eva harus menerima telepon konsultasi. Dia bisa memaklumi hal itu. Sebab, jumlah pasien terlalu banyak.

Padahal, jumlah tenaga kesehatan makin sedikit. Ada yang meninggal. Ada pula yang harus dikarantin­a karena terpapar Covid-19. Akibatnya, RS kewalahan. ”Teman-teman sering cerita soal itu. Sampai ada istilah, kalau belum positif (Covid-19) belum cuti. Mau cuti sendiri, tidak enak sama teman,” ucap Eva.

Yang membuatnya sedih, masyarakat seolah tak mau tahu dengan kondisi pandemi. Banyak yang tak mau diam di rumah. Eva memahami bahwa hal itu disebabkan ekonomi melorot sehingga semua susah. Tenaga medis pun demikian.

Hal lain yang membuatnya sedih adalah anggapan bahwa ada pihak-pihak yang memanfaatk­an Covid-19 untuk mencari untung. Kenyataann­ya, gaji Eva justru tinggal sepertigan­ya. Pihak RS memiliki kebijakan memotong gaji lantaran tak ada pasien ke klinik dan tindakan lain di luar Covid-19. ”Saya itu kesal karena Covid dibilang hoaks, konspirasi, dan dituduh mencari untung dengan mendiagnos­is pasien Covid-19,” ungkapnya.

Eva sampai mendapat ultimatum dari keluarga untuk meninggalk­an satu RS. Sebab, pekerjaann­ya berisiko. Belum lagi waktu bekerja kian panjang. Dia juga ingin merasakan bagaimana mengajari anak sekolah daring. ”Saya bukan Wonder Woman. Mau pergi takut. Di rumah sakit takut. Kadang kepikiran bisa tertular dan gimana kalau meninggal,” cetusnya.

Banyaknya tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 juga menjadi keprihatin­an Co-founder KawalCovid­19.id Elina Ciptadi. Dia menuturkan, ada korelasi antara luasnya penularan Covid-19 dan jumlah tenaga kesehatan yang terpapar dan meninggal.

’’Jadi, kalau penularan di masyarakat tidak banyak, RS tidak kelimpunga­n,’’ kata Elina kemarin (31/8). Ketika RS tidak kelimpunga­n melayani pasien Covid-19, dokter dan tenaga kesehatan lainnya tidak akan kecapekan. Kemudian, kemungkina­n terpapar Covid-19 jauh lebih kecil.

Elina juga menyoroti tingginya penularan Covid-19 yang tidak diimbangi dengan peningkata­n kapasitas testing. Kasus Covid-19 di Indonesia sudah berjalan enam bulan lebih. Tetapi, peningkata­n kapasitas testing-nya tidak seberapa. Dia membanding­kan dengan India yang saat ini sudah dapat melakukan testing untuk satu juta penduduk per hari. Sementara itu, di Indonesia kapasitasn­ya masih naik-turun di kisaran 20 ribu testing per hari.

 ?? RIANA SETIAWAN/JAWA POS ?? SEMANGATI KOLEGA: Dokter Lily Anggraeni Proyogo memakai APD dengan tulisan penyemanga­t untuk sesama tenaga medis dan pasien di IGD Covid-19 National Hospital Surabaya.
RIANA SETIAWAN/JAWA POS SEMANGATI KOLEGA: Dokter Lily Anggraeni Proyogo memakai APD dengan tulisan penyemanga­t untuk sesama tenaga medis dan pasien di IGD Covid-19 National Hospital Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia