Sinergi TNI-Polri Harus Sampai di Level Prajurit
JAKARTA, Jawa Pos – Aksi ratusan personel TNI-AD di Jakarta Timur akhir pekan lalu memang sudah ditindaklanjuti Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan panglima TNI J
Namun, itu dinilai belum cukup untuk menyudahi perselisihan yang kerap terjadi antara TNI dengan Polri pada tataran prajurit.
Pakar militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyatakan, kejadian serupa yang sebelumnya terjadi harusnya menjadi bahan evaluasi. Harus ada perubahan besar yang dapat meminimalkan potensi terulangnya kejadian serupa. Menurut dia, pimpinan TNI maupun Polri tidak bisa hanya menunjukkan sinergitas di level atas.
Fahmi menyebutkan, pimpinan TNI dan Polri tidak boleh terjebak pada cara-cara penyelesaian masalah lewat aksi simbolis seperti berfoto bersama dan menyampaikan pidato bertema sinergitas. ”Mana bisa (cara itu) diharapkan dapat menuntaskan masalah,” ungkap dia kemarin (31/8). Mereka harus memastikan kekompakan TNI dan Polri sampai ke level personel di lapangan.
Apabila tidak dilakukan, kata Fahmi, bukan tidak mungkin hal serupa akan terulang. Menurut dia, harus ada pembenahan kurikulum terkait doktrin di lembaga pendidikan militer. Selain itu, harus dilakukan pembenahan praktikpraktik kepemimpinan perwira. Dengan begitu, bisa menjadi teladan bagi seluruh jajaran di bawah.
Ketua SETARA Institute Hendardi juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, langkahlangkah yang dilakukan KSAD dan panglima TNI sudah baik. Kedua pucuk pimpinan di TNI-AD dan Mabes TNI itu sudah tegas menyampaikan bahwa semua personel TNI yang terlibat dalam insiden di Jakarta Timur bakal diproses hukum. Itu menunjukkan sudah ada perubahan. ”Sebelumnya, ketegangan TNI – Polri selalu diatasi dengan langkahlangkah artifisial, simbolis, dan tidak struktural,” beber Hendardi. Misalnya, aksi gendong-gendongan antara TNI dengan Polri atau apel bersama. ”Yang sama sekali tidak mengatasi persoalan yang sesungguhnya,” kata dia.
Hendardi menyebutkan, keputusan yang diambil KSAD dan panglima TNI bukan sebatas menunjukkan iktikad baik. Tapi, turut menjadi cara untuk mencegah kejadian serupa. Namun demikian, dia menilai tetap harus ada upaya mereformasi TNI. ”Presiden Joko Widodo bisa memprakarsai perubahan UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” kata dia.
Menurutnya, aturan tersebut sudah harus diubah. Tujuannya, memastikan adanya kesetaraan di hadapan hukum. ”Khususnya anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum,” beber dia. Menurut dia, setiap personel TNI yang berbuat melakukan tindak pidana mestinya diadili lewat peradilan umum. Tidak sebatas peradilan militer.
Langkah lain yang bisa dilakukan TNI dan Polri untuk mencegah insiden serupa di Jakarta Timur terulang, sambung Hendardi, TNI bersama Polri harus mendesain mekanisme sinergi kelembagaan yang konstruktif sampai ke level petugas di lapangan. ”Sinergi kedua institusi selama ini hanya direpresentasikan oleh elit TNI – Polri,” imbuhnya.
KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa memang sudah membantah penyebaran informasi bohong yang memicu pengrusakan Polsek Ciracas dan Pasar Rebo ada hubungannya dengan perselisihan di antara TNI dengan Polri. ”Kalau soal kerja sama kami dengan Polri, nggak perlu diragukan lagi,” ungkap Andika.
Orang nomor satu di TNI-AD itu mengatakan, insiden di Jakarta Timur tidak berhubungan dengan masalah sinergitas TNI dengan Polri. Dia menilai, itu merupakan persoalan yang muncul akibat oknum personel TNI-AD yang tidak bisa menahan diri akibat terhasut berita bohong. Untuk itu, yang menjadi konsentrasi TNI-AD adalah menghukum para pelaku.